Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2022

di sisi jembatan, menatap air sungai yang tenang

MENCINTAI orang yang tidak mencintaimu, bagaimana rasanya? Tidak, aku sedang tidak bertanya, aku hanya ingin mencari teman yang sekiranya senasib denganku. Aku heran, teman-temanku tidak susah-payah merasakan cinta sepihak, tetapi aku satu-satunya perempuan yang dipercaya oleh takdir, katanya aku akan kuat menghadapi cinta yang sepihak ini. Aku hanya mengangguk-angguk saja seperti orang bodoh yang membodohi diri sendiri. Kebingungan sejak tadi bertengger dalam diri, tidak melakukan apa-apa, bertanya-tanya, “Bagaimana cara bahagia merasakan patah hati?” Di dinginnya malam, angin bersiul kencang sekali. Mengibarkan kaos kebesaran yang dibungkus hoodie tebal—tetapi, angin kali ini lihai memasuki diriku. Kaki berjalan saja, entah ke mana, yang terpenting menghirup udara segar dan harapannya patah hati ini hilang. Orang-orang bilang mereka akan menangis ketika patah hati saking perihnya. Aku bukan tidak ingin menangis, melainkan apa aku harus menangis untuk kedua kalinya karena hal sama? La

what should I do?

DARI TEMPATKU DUDUK saat ini, kuperhatikan kepala belakangnya lekat-lekat. Di balik masker putih yang menyembunyikan setengah wajahku, aku bebas tersenyum mesem-mesem karena tidak akan ada yang melihatku melakukan hal konyol ini. Memangku dagu rengan kedua tangan, sementara kepala kutelengkan ke kanan. Dalam waktu-waktu menikmati pemandangan ciptaan Tuhan yang super manis itu, membuat duniaku hanya berpusat pada lelaki yang berada duduk barisan kiri nomor tiga dari depan. Sementara, aku sengaja memilih bangku paling belakang dengan tujuan menekuni kegiatan memandang lelaki yang sudah lama kusukai. “Andai aja lo sefokus itu ketika matkul Pak Ridwan.” Suara seorang perempuan di sampingku ini layaknya kaset rusak yang menembus dan menyerang duniaku saat ini. Namun, seusaha mungkin kuabaikan. Bukan apa-apa, aku paling tidak suka kalau ada yang mengganggu ritual memandang pemandangan Tuban Mahesa untuk dikagumi dan diharapkan untuk dimiliki. Meski pada kenyataannya, manusia yang kupandan

hati yang jatuh

SEJAK AWAL ini sudah keputusanku. Menyalahkanmu adalah fibdakan egois dan jahat yang kalau-kalau kulakukan. Menyalahkan diri sendiri juga sama sekali tidak membawaku pada akhir yang selayaknya. Akan tetapi, aku pernah, aku pernah menyalahkan diri sendiri karena telah membuat keputusan untuk menjatuhkan hati di depanmu. Kupikir kamu sebaik itu untuk mau mengambil hati yang jatuh itu dan kamu bawa ke mana-mana. Namun, hati itu dibiarkan jatuh dan kwmudian diselimuti debu. Hati yang baru saja kubenahi, hati yang baru saja pulih, hati yang baru saja bisa untuk kembali jatuh di hadapan seseorang. Dalam satu kali jatuh pula, hati itu benar-benar jatuh, tanpa dibuat melayang. Pada akhirnya, aku sendiri yang sedari awal menjatuhkan. Aku ingat, banyak pertimbangan dan pikiran-pikiran yang membuatku akhirnya menjatuhkan hati di hadapnmu. Aku tahu, ada kemungkinan aku gagal ksmbali. Namun, kala itu aku tidak mengendalikan harapan tentang berharap kamu menyukaiku dan ekspektasi bahwa kamu pasti

the answer

JAWABAN selalu menjadi akhir dari sebuah pertanyaan. Namun, aku tidak pernah cukup pada satu jawaban. Kadang-kadang aku membuat  satu jawaban menjadi beberapa pertanyaan yang bercabang. Kemudian masing-masing pertanyaan kubuat jawaban-jawaban—tentu saja menarik pertanyaan baru. Apa pun itu, selama jawaban-jawaban mesti selalu ada. Jawaban harus selalu ada sampai aku benar-benar menemukan jawaban yang tepat. Tidak, itu bukan tentang perfeksionis, melainkan aku hanya ingin jawaban yang msmuaskan dan membuatku paham bahwa aku harus menerimanya. Jawaban tanpa akhir itu bermula di kala kuberi kamu sebuah pernyataan. Ya, ada jawaban yang berangkat dari sebuah pernyataan. Lebih-lebih ini tentang hati, hati tidak boleh dibuat terluka diam-diam. Jadinya kubuat pernyataan hati yang telah lama menyimpan harapan dan ekspektasi bahwa cinta ini akan sampai kemudian saling mengikat. Namun, jawaban selalu memiliki dua sifat yabg kontradiktif, antara iya atau tidak, antara menerima atau melepaskan. J

Dua Garis Biru: Pemtingnya Sex Edu yang Masih Tabu

 DUA GARIS BIRU setidaknya pernah menjadi film yang digadang-gadang tidak layak tayang karena mengangkat isu hamil di luar nikah. Padahal film tersebut belum tayang, tetapi banyak orang-orang merasa resah. Aku pribadi waktu melihat video trailer-nya di YouTube dan aku merasa tidak ada yang salah. Justru di dalamnya terdapat pesan mendalam terkait sex education yang sayangnya masih tabu di tengah-tengah masyarakat. Jadi, alih-alih dikecam, film ini mesti diapresiasi karena menjadi wadah edukasi bagi anak-anak muda bahkan orangtua. Selama promosi film berlangsung, aku tidak pernah absen untuk menonton karena aku benar-benar excited menantikan film ini tayang di layar bioskop. Gina S. Noer selaku sutradara dan penulis naskah ini juta gencar menentang apa yang menjadi kontroversi terhadap film ini. Beliau mengatakan kalau cerita ini murni memberikan pesan, bukan tentang sebaliknya. Namun, untungnya film ini tetap bisa tayang dan di luar dugaan karena berhasil meraih lebih dari 2 juta penon

mau tertawa bersamaku?

“TUH, LAH! Temennya udah pada sidang, kamu masih nangis-nangis enggak jelas!” Itu adalah kata-kata pendukung yang benar-benar membuatku termotivasi untuk tidak merasa makin terpuruk. Bayangkan saja, ketika harus menunggu waktu lama tentang kepastian sidang proposal. Dosen tersayangku tiba-tiba mengundurkan diri. Sedikit lagi, sedikit lagi impianku untuk sempro akan terwujud. Akan tetapi, takdir begitu mulia dan baik hati karena memintaku untuk bersabar lebih lama. Hari ini adalah hari paling menyengsarakan dari hari-hari senang lainnya. Sedari tadi aku tertawa-tawa saja di sudut kamar seraya berbalas peean dengan salah satu temanku. Aku membeberkan kabar bahagia yang kudapatkan hari ini. Betapa nikmatnya perjuanganku selama ini, melawan air hujan, menempa waktu-waktu yang mendukung, dan, ya, tentu saja! Jangan lupakan si paling mendukungku, ayah dan bunda yang tidak pernah berhenti memberikan motivasi beserta saran membangun. Mereka akan membandingkanku dengan teman-temanku yang sebe

Isi hati

, entah kamu yang tidak peduli atau memang akunyabyabg terlalu takut untuk membuat keterdiaman di antara kita mencair. Bahkan aku merasa saat ini kita tidak secair dulu. Entahlah, memang benar-benar entahlah. Daripada entah ini dan entah itu, aku lebih suka kepastian. Misalnya, tentang rasa yang tidak sama. Itu benar-benar kepastian yang sudah pasti dan nyata adanya. Namun, memang aku suka sekali menyiksa diri dengan beberapa pertanyaan yang akhirnya menyakiti diri sendiri.  “Mungkin suatu saat.” “Tidak sekarang, bisa saja espk, lusa, atau mungkin di masa depan.” “Saat ini rasa kita memang tidak sama, tetapi sebentar lagi, rasa kita akan sama.” Aku tahu berharap setelah kepastian terungkap itu tidak baik. Lebih-lebih apabila kepastian itu tidak berpihak pada perasaan yang kumiliki. Akan tetapi, aku berusaha untuk menekan harapan. Bagaimana caranya? Sederhana, tetapi sebenarnya tidak semudah itu juga. Awal-awal aku sulit untuk menerima sehingga meraskan patah hati yang begitu dalam. Aku

tenda

MAU BAHAS soal tweet dari salah satu akun twitter bernama txtdarimedia. Menarik untuk dibahas karena memang terdapat pro dan kontra. Mendapat 16k like, lebih dari 1k untuk retweet dan kutipan retweet. Di sana pemilik akun mengunggah potongan foto yang menampilkan artikel judul sebuah media ternama milik asumsi. Di sana tertera judul Korban Gempa Cianjur Bikin Tenda Sakit untuk Penuhi Kebutuhan Biologis. Sebagai orang awam yang tidak pernah menjadi korban bencana apa pun, hal tersebut cukup menarik perhatian. Keningku berkerut, benak mulai bertanya-tanya, segala persepsi mulai mengarus sampai terangkum menjadi satu pertanyaan, “Kok bisa?” aku pun punya pikiran yang sama dengan kebanyakan warganet yang berkomentar di sana. Seperti mana mungkin bisa masih memikirkan kebutuhan biologis di saat segala harta benda rusak parah. Namun, sedikit-sedikit mulai memahami karena terdapat beberapa komentar yang justru memberi pengetahuan baru soal SOP relawan dalam membantu para korban. Salah satu

lomba lari

AKU SUDAH SIAP-SIAP untuk bergerak, melangkah untuk menuntaskan apa yang sudah kupilih. Kulihat baik-baik orang-orang di sisi kanan dan kiriku. Mereka memasang ancang-ancang di pijakannya. Tatapan mata mereka menyorot ke depan seakan-akan menantikan garis ujung. Ada sesuatu di sana yang mesti mereka raih, tepatnya aku juga bagian dari mereka. Kuambil napas kuat-kuat untuk kemudian dibuang perlahan. Kukembalikan arah wajahku ke depan. Jujur saja, jantung sejak tadi sudah bergedup tidak karuan. Kali ini ketika pertandingan akan dimulai, gerak jantung menjadi tidak beraturan. Belum lagi suara riuh orang-orang di tribun yang tidak terdengar dengan jelas nama siapa yang disebut. Itu benar-benar distraksi yang mengganggu fokusku. Sebetulnya, bukan itu yang menjadi permasalahan. Aku hanya mencari-cari namaku di antara suara riuh yang bergema memantul di ruang terbuka ini. Setidaknya, satu saja, tetapi mengapa tidak ada namaku di sana. Kali ini kulayangkan pandangan ke arah tribun. Menatap

miss

UNTUK YANG TELAH PERGI , apa kabarnya? Entah kamu menyaksikan atau tidak, tetapi aku ingin angin membawa betapa beratnya harapan tentang ingin bertemu padamu. Aku ragu kalau-kalau saat ini kita memandang langit yang sama. Apakah bulan di sini dengan di sana sama utuhnya seperti apa yang kulihat? Apakah bintang-bintang di sana tengah bersolek di depanmu? Jika iya, pantas saja, bintang-bintang itu tengah menemuimu. Lagi-lagi aku berharap bintang membawakan kabar tentang rasa sesak yang berlabuh di dalam diri ini. Aku tahu, sia-sia rasanya menimbun perasaan rindu. Terlebih pada kamu-kamu yang telah mengepakkan sayap kemudian terbang di balik awan-awan. Entah ke mana, tetapi mataku selalu memandang langit kalau-kalau rindu ini menyapa. Aku tidak peduli jika tengkuk ini terasa keram, aku hanya peduli tentang manakala sosokmu akan menyembul dari balik awan. Tidak lupa senyuman manis dan lambaian tangan yang dahulunya meniadi penghangat diri dalam rengkuhan. Dalam bayangan saja semua itu ter

masa lalu: pelajaran yang sulit diterapkan

MASA LALU katanya biarlah berlalu, dia hanya akan mengganggu seperti benalu. Masa lalu hanya menorehkan warna-warna gelap pada kehidupan yang putih. Masa lalu memberi noda pada kehidupan yang bersih dari segala masalah. Masa lalu akan kembali datang sebagai luka yang tersisa di masa depan. Masa lalu,sudah sepatutnya disudutkan di sudut ruangan yang tidak akan dijamah. Kalau perlu, masa lalu mesti diremukkan kemudian diharapkan menguap tanpa sisa. Itu anggapan orang-orang dengan masa lalu yang tidak baik-baik saja. Tidak ada yang salah sebenarnya, hany saja ketika berusaha untuk meniadakan masa lalu, bukankah itu hal yang mustahil? Seperti kita berusaha menghilangkan bagian dari diri kita yang juga ikut lahir dan tumbuh bersama. Tidak masalah juga untuk membenci masa lalu, setiap dari kita punya cara menghadapi yang sesuai dengan kemampuan kita sendiri. Namun, bukankah amat disayangkan apabila masa lalu yang begitu susah payah kita lalui kemudian dienyahkan? Kadang-kadang aku juga in

adik kita

KATANYA adik kita memang kelakuannya sudah tidak bisa ditolerir lagi. Adik kita ingin hidup bebas, dia telah menjadi anak liar di luar sana. Menikmati hidup tanpa aturan dalam suatu keluarga. Menjadikan temannya sebagai tempat mengemban kebahagiaan dan meramu kenyamanan. Sementara keluarga hanya tempat adik kita nerasa jengah, jenuh, marah, dan tidak ada patuh-patuhnya sama sekali. Adik kita memang sudah remaja dan akan beranjak dewasa. Kita menjadi lepas tangan, bahkan melambaikan tangan untuk merangkul dan mengayominya kembali. Segala cara dan upaya telah dikerahkan demi membuat sdik kita nyaman bersama kita. Entah kita yang kurang telaten dalam mendidik atau memang adik kita yang sudah tidak lagi ingin kita didik. Kita memang marah karena adik kita tidak tumbuh seperti apa yang kita harapkan, kita ekpektasikan. Adik kita tetap menjadi adik kita yang tidak kita inginkan. Sejatinya, hati kita penuh kasih dan belai sayang untuknya. Namun, kita sudah lelah, sudah benar-benar menyerah.

cintai cinta bersama dengan lukanya

 Aku jatuh lagi Setelah kian lama mengurung diri Dari apa-apa yang pernah melukai Namun, kali ini aku kembali Bersenandung dalam elegi Dari malam sampai temu pagi Tidak jua hilang patahnya hati Sementara kuharus menyinari Namun, kali ini aku redup sendiri Ini tentang hati Awalnya aku hanya jenuh Akhirnya aku terjatuh Tadinya aku mampu dan patuh Kali ini aku sampai-sampai luruh Pertama-tama aku mengayuh Makin lama kian terasa ingin mengeluh Harusnya aku tidak dikejutkan karena runtuh Namun, kamu membuatku runtuh Sepertinya ruang hatiku tengah keruh Ini masih tentang hati yang tengah berteduh Kemudian apa aku harus marah? Nyatanya aku masih tersenyum padamu Lagi pula kamu tidak bersalah  Sejatinya, rasa itu aku sendiri yang meramu Aku sadar betul, aku yang berulah Sementara kamu hanya singgah sebagai tamu Aku sendiri yang membiarkan rasa itu makin parah Kamu hanya menikmati apa yang kujamu Mungkin aku seperti kehilangan arah Sebab, di hatiku mulai kehilanganmu  Tunggu dulu, aku sedang ti

hopes and expectations

PADA AKHIRNYA , segala sesuatu ditentukan bagaimana cara kita meramu harapan dan ekspektasi sebetulnya, tidak ada yang benar-benar keliru dengan apa-apa yang diharapkan, apalagi diekspektasikan kita sama-sama tahu, semua itu murni timbul dengan sendirinya, hanya saja, berjalan lurus dengan perasaan Sementara, perasaaj manusia itu unik Pun, sementara kita lupa untuk membarengi pikiran sebagai salah satu cara logis dalam merakit solutif Akan tetapi, kadang-kadang kita terlalu memanjakan rasa sampai-sampai kita patuh untuk memupuk harapan dan ekspektasi Tanpa sadar, kita menjadi abai terhadap apa-apa yang akan dihadapi di depan sehingga melupakan bahwa ada langkah-langkah yang ditinggalkan di belakang sana Akibat terlalu sibuk merajut harapan sampai cantik, menjahit ekspektasi begitu apik. Kita jadi lupa bahwa tidak semua yang terjadi akan sesuai dengan apa yang dirajut dan dijahit Ibaratnya, bahan kain yang halus dan lembut kemudian dibuat menjadi pakaiaj untuk dipakai. Kita sebagai penj

hari pengakuan

HARI INI kamu telah memantapkan hati untuk mengakui apa yang selama ini tersembunyi. Bersama waktu-waktu yang membuat uring-uringan. Tatkala hari yang melaju menjadi saksi akan merebaknya persembunyian yang sudah tidak dapat menampung rahasia tersebut. Pada akhirnya, pengakuan menjadi satu-satunya solusi daripada harus meledak dan memborbardir ruangan—sungguh kamu tidak kuasa menghadapi situasi tersebut. Dengan segala pertimbangan, menarik napas dalam-dalam, ditahan beberapa detik, kemudian dibuang pelan-pelan. Itu yang kamu lakukan ketika merasa gugup di kala pacuan jantung meledak-ledak. Sementara, hari pengakuan itu masih beberapa jam lagi. Matahari pun masih bersolek di belahan dunia lain. Namun, kamu masih tampak gugup di bawah jam dinding yang menunjukkan pukul empat pagi. Kamu sama terpakunya dengan letak jam tersebut. Kamu sama seperti jam itu, sama-sama berkalut dengan waktu. Hanya saja, jam menuntun waktu sampai hingga di titik dua puluh empat kemudian kembali mengulangi si

trying to move on

 AKU BOSAN, tetapi hati ini butuh tempat untuk membicarakan apa-apa yang mengganggunya. Ada luka yang butuh segera dipulihkan, meski hanya dengan tulisan. Namun, itu lebih baik daripada harus memendam sampai menjadi sia-sia. Hanya saja aku merasa seperti manusia dusun, terlalu berlebihan. Akan tetapi, memulihkan hati bukanlah yang mudah. Aku serius, rasanya aku ingin dia tahu, apa yang kurasakan saat ini. Seperti saat aku ingin dia tahu apa yang kurasakan. Namun, itu hanya membuatku seperti orang bodoh dan norak. Biar apa? Lagipula luka ini yang membuat, ya, ya, hanya aku sendiri. Aku yang memikirkan skenario terburuk. Aku yang mematahkan hatiku sendiri dengan bsrharap. Aku yang msnyakiti diri sendiri dengan membuat ekspektasi tinggi. Jelas aku yang salah di sini. Kalau boleh aku mengatakan aku menyesal telah memutuskan untuk jatuh cinta. Namun, mencintaimu adalah hal paling menyenangkan dalam hidupku yang terlalu monoton. Akan tetapi, aku tidak menyukai rasa patah hatinya. Aku tid

seniman cinta yang menyerah pada lelah

AKU SUDAH LELAH , tidak, tidak ada aktivitas apa pun yang kulakukan hari ini. Aku hanya berdiam diri, rebah dalam senyap, mata menatap lurus ke depan, sesekali bergerak untuk memenuhi kebutuhan sebagai manusia. Namun, kadang-kadang aku lupa untuk memanusiakan diri sendiri. Maksudku, bagaimana bisa, ada manusia yang tega menyakiti dirinya sendiri? Kamu tidak bisa melihat siksaannya secara nyata, tetapi dalam diri ada kekerasan yang terus-menerus dilakukan. Aku tidak sedang membicarakan isu kekerasan dalam rumah. Bukan pula tentang diri yang membuat luka pada kulit-kulit. Tidak, semua itu tidak terjadi, tetapi sesuatu yang besar dan menyayat terjadi di dalam diri. Ini tentang pikiran dan hati yang saling msnyerang satu sama lain. Ini tentang cinta, bukan gara-gara cinta, melainkan karena cinta. Ini kisah cinta yang akhirnya harus meramu pulih dengan merajut luka menjadi seindah mungkin. Bukan cinta yang menyebalkan, melainkan cinta yang menyenangkan. Ini kepatahan paling menyenangkan ya

ketika hidup sedang berbaik hati

DI SUATU HARI di kala hidup sedang berbaik hati memberikan waktu untuk membiarkan penghuninya memilih kebahagiaan. Ketika semua manusia bersorak-sorai, melompat-lompat, berbondong-bondong meraup porsi sebanyak mungkin, menari-nari merayakan kebebasan berbahagia. Dunia seakan-akan penuh dengan warna-warni cerah yang saling bertumburan di udara. Hingar bingar yang terdengar terasa memyenangkan, dibandingkan hari sebelum-sebelumnya. Ternyata, hidup memang benar-benar sedang berbaik hati. Namun, daripada menjadi salah satu dari pada manusia-manusia itu, kamu ditemukan berpijak mematung layaknya orang aneh—nyatanya, mereka memang benar-benar memandangmu aneh. Bagaimana bisa kamu menyia-nyiakan kesempatan, mengabaikan kenaikan hati hidup saat ini, begitulah pertanyaan-pertanyaan mereka yang berbisik keras di sekitarmu. Akan tetapi, kamu masih diam saja, mulutmu merekat satu sama lain, bola matamu lihai menyaksikan lalu lalang yang sibuk, tubuhmu hanya diam terpaku. Telingamu sesak dengan k