Langsung ke konten utama

ketika hidup sedang berbaik hati

DI SUATU HARI di kala hidup sedang berbaik hati memberikan waktu untuk membiarkan penghuninya memilih kebahagiaan. Ketika semua manusia bersorak-sorai, melompat-lompat, berbondong-bondong meraup porsi sebanyak mungkin, menari-nari merayakan kebebasan berbahagia. Dunia seakan-akan penuh dengan warna-warni cerah yang saling bertumburan di udara. Hingar bingar yang terdengar terasa memyenangkan, dibandingkan hari sebelum-sebelumnya. Ternyata, hidup memang benar-benar sedang berbaik hati.

Namun, daripada menjadi salah satu dari pada manusia-manusia itu, kamu ditemukan berpijak mematung layaknya orang aneh—nyatanya, mereka memang benar-benar memandangmu aneh. Bagaimana bisa kamu menyia-nyiakan kesempatan, mengabaikan kenaikan hati hidup saat ini, begitulah pertanyaan-pertanyaan mereka yang berbisik keras di sekitarmu. Akan tetapi, kamu masih diam saja, mulutmu merekat satu sama lain, bola matamu lihai menyaksikan lalu lalang yang sibuk, tubuhmu hanya diam terpaku. Telingamu sesak dengan keberisikan di sekitar, tetapi dalam djrimu sesak dengan pikiran-pikiran yang berbalik dengan tuduhan manusia-manusia di sekitar.

Dalam diam yang menyumpal, ada pikiran yang menyumbat diri untuk menjadi seperti manusia-manusia yang tengah beringasan. Setidak-tidaknya dari banyaknya pertanyaan yang samar dan sulit untuk bahasakan, satu yang paling mewakili hanya, “Bukankah hidup yang aneh?”

Iya, tidak salah lagi, kali ini hidup bertingkah sangat aneh. Tidak perlu takut untuk merasa curiga, memang sudah sepatutnya dicurigai. Dari yang biasanya rutin memaksa para mnusia kerja paksa memikul apa-apa yang mereka tidak mampu dipikul. Namun, hidup seperti para penjajah yang tidak memiliki rasa peduli sama sekali. Pikul-pikul semuanya, meski terasa seperti pukul-pukul. Dari dulu, hidup msmang tidak punya rasa kemanusiaan terhadap manusia, membuat manusia akan bahwa dirinya juga butuh memanusiakan dirinya. Tidak akan pernah memberikan kebahagiaan secara percuma—betul, kecuali hari ini dan kali ini. Maka, di tengah-tengah keanehan yang mengurung, ada curiga yang membuat kurungan itu terlepas. Kamu hanya perlu kunci jawaban sebagai alasan mengapa curiga menjadi alasan kurungan itu terlepas.

Disimaknya baik-baik lingkungan sekitar—ini terlalu ramai, keramaian ini tidak wajar. Kebahagiaan yang terpancar di masing-masing wajah manusia itu. Tidak, kamu sedang tidak suka kalau mereka-mereka menjadi si manusia yang melepas rindu terhadap bahagia yang telah lama pergi. Kamu hanya merasa ini aneh, tidak ssmudah itu, ada sesuatu yang kamu yakin akan membuat wajah-wajah riang itu akan dibuat meriang kemudian hingar bingar menjadi kalang kabut. Seakan-akan ada sesuatu yang besar pasti terjadi, sesuatu yang membuat manusia-manusia itu menyesal dan kecewa terhadap hidup itu sendiri, hingga perlahan-lahan msreka menjadi tumbang satu per satu. Ya, itu tidak boleh terjadi.

Meminta mereka semua berhenti dan mendengarkanmu, itu tidak akan mungkin. Hanya membuang-buang waktu dan tenaga. Kamu lebih suka menyimpan energi dan tenaga baik-baik kemudian mulai berbicara semua kecurigaamu di depan—minimal satu manusia yang memiliki ketidaksukaan yang sama denganmu. Ya, kamu tidak menyukai hidup, kamu membenci hidup, kamu mengutuk hidup. Hidup membuat hari-harimu porak-poranda, memnuat ceritamu penuh dengan konflik yang berkepanjangan tanpa ujung, hidup telah menghapus warna-warni cerah di lukisan duniamu dengan warna gelap. Tidak ada lagi alasan lain untuk membuatmu membenci hidup. Pun, tidak ada alasan kuat untuk membuatmu menyukai hidup—kamu berjanji untuk tidak melakukan hal bodoh itu.

Jadinya, lem perekat di alas kakimu telah terlepas. Pertama-tama kaki itu melangkah pelan dan hati-hati, tetapi matamu diasah setajam mungkin untuk menemukan manusia yang berbeda dengan manusia-manusia lain—manusia yang memiliki prinsip yang sama denganmu. Melewati hiruk-pikuk para lautan manusia, mencari di tengah-tengah keberisikan manusia dan teriakan bahagia mereka. Itu tidak mungkin dan makin aneh, itu alunan yang membuat telingamu memanas. Akhirnya, disumpalnya telingamu dengan jari-jari tanganmu yang gegas dan tekad. Namun, kamu tidak boleh menutup matamu dari pandangan orang-orang yang melirik aneh ke arahmu sejenak di tengah-tengah ekspresi riang mereka. Kamu harus mengumpulkan kekuatan untuk memandang lamat-lamat wajah para manusia satu per satu. Hanya untuk menemukan satu manusia dengan kerutan penuh curiga. Kamu bersemangat.

Akhirnya langkahmu berhenti, Akhirnya kamu menemukan—tidak juga sebenarnya, tetapi itu lebih baik. Pasang wajah manusia yang kamu temukan itu berbeda, dia berdiri di atas pijakan, air mukanya datar, tidak ada ekspresi sama sekali. Kamu tidak bisa mendeteksinya, tetapi kamu sumringah, sebentar lagi ksmu akan menenun kecurigaan menjadi sesuatu yang dapat dilihat utuh untuk kemudian dipertunjukkan pada manusia bahwa hidup tengah menyusun skenario manipulatif. Sedang asyik mencari makna di balik wajah manusia yang kamu temui, sedang mencoba menelusuri titik matanya, akhirnya mata itu bertemu denganmu. Kamu hampir bergerak dari tempatku, tetapi kamu harus bergerak karena orang itu pergi dari tempatnya setelah menatapmu. Maka kamu mengejarnya, menitik fokuskan pandangan pada sosok itu. Dia tidak boleh lenyap dari ranahmu, dia satu-satunya yang dapat kamu harapkan untuk membantumu merajut kekuatan melawan hidup yang fana ini.

Setelah melakukan pengejaran, melalui jalan yang berliku, dari wilayah yang tadinya penuh dengan manusia-manusia tertipu itu, kini kamu telah berhenti di sisian danau, wilayahnya sepi hanya ada kamu dan manusia yang kamu kejar. Kamu dan dia berdiri berhadapan di sisian danau yang amat jernih, memantkan lukisan awan putih dan langit biru di sore yang tengah sejuk-sejuknya. Ditambah angin yang menyapa kulit kamu dan dia tanpa henti. Suara gemuruh angin lebih syahdu daripada gaduh. Tidak ada kicau burung-burung yang mendukung suasana menyenangkan ini, tetapi burung-burung berwarna putih itu saling terbang satu sama lain di atas sana, sesekali mereka singgah di ranting pohon dekat tempat mereka berdiri. Bahkan, daunnya yang banyak dan lebat menjadi atap dan pelindung dari paparan surya yang sebenarnya hangat untuk dibiarkan menguliti. Entah mengapa kamu merasa suasana ini tidak cocok untuk menyusun rencana membuat hidup terpojok, jadinya hening beberapa saat saking nyamannya suasana ini.

“Hidup sedang berbaik hati memberikan kebahagiaan pada para manusia.”

Dia berbicara di tengah-tengah sayup-sayup angin yang bergemuruh. Kamu hampir merasa terganggu denhan suara yang dibuat manusia di depanmu. Namun, kamu menyadari, kamu lebih ingin mendengarkan suara manusia itu dibanding suara syahdu angin milik hidup.

“Itu aneh, bukan?” tanyamu cepat-cepat, “kamu tahu hidup tidak akan berbaik hati kepada para manusia-manusia malang itu. Aku yakin—kamu pasti juga yakim kalau hidup tengah membuat sesuatu yang buruk terjadi setelah manusia-manusia itu dibuat bahagia. Ya, ‘kan?”

Daripada menemukan wajah antusia atau minimal anggukan, tetapi wajah manusia di depanmu ini membuat satu gerakan pasti di bibirnya. Dua sudut yang saling tarik-menarik, tetapi membentuk lengkungan sempurna yang manis. Ah, ya, mungkin itu reaksi setuju darinya karena kamu juga memahami bahwa setiap orang memiliki reaksi yang berbed dalam menanggapi sesuatu hal yang intinya satu pemikiran denganmu. Ya, benar, akhirnya sebentar lagi rencanamu akan berjalan!

“Kamu benar,” jawab manusia itu.

Kamu lega dan kamu makin percaya diri. “Mari kita selamatkan para manusia itu!”

“Kamu benar karena kamu membenci hidup, tetapi para manusia itu benar karena mereka menyukai hidup.”

Awalnya kamu seperti burung-burung yang melayang bebas di udara sana, tetapi kini kamu telah seperti daun yang melayang jatuh hingga menyentuh tanah karena perbuatan angin.

“Tidak ada yang perlu diselamatkan dari mereka di sana. Namun, aku merasa ada yang perlu diselamatkan darimu di sini.”

Kamu merasa tersinggung atas perkataan manusia itu. Gigimu saling bergemeletuk, tubuhmu menjalar hawa panas, kedua tanganmu mencengkram djri sendiri. Namun, kamu tidak bisa pergi dari sana. Bukan, bukan karena alas kakimu kembali merekat dengan pijakan tanah, melainkan suasana alam ini tidak ingin kamu hilangkan.

“Kamu benar hidup tidak pernah berbaik hati memberikan kebahagiaan, tetapi ada kebenaran yang luput dari prinsipmu yang menbenci hidup. Bahwa, hidup akan berbaik hati dan dermawan kepada mereka yang meminta kebahagiaan dengan baik tanpa tamak.”

Kali ini kamu tertegun, tenggorokanmu tercekat. Mulutmu merekat satu sama lain. Wajahmu yang mengeras kini luruh dan melunak. Rasa panas membara berubah menjadi kasih hangat yang dibawa angin dari matahari. Perlahan-lahan jarimu membuka satu sama lain dan melemah.

“Hidup akan membuka diri pada siapa-siapa yang menyukainya, tetapi hidup akan menanti-nanti diri pada siapa-siapa yang membencinya untuk kembali menyukainya.” Manusia itu mengulurkan tangan, menepuk-nepuk pundakmu pelan seolah-olah tengah membersihkan debu. Masih dengan senyuman lebar, dia lanjut berkata, “Beban-beban di pundakmu harusnya dapat kamu singkirkan, tetapi kamu sendiri yang menumpuknya hingga berlapis karena kamu membenci hidup.”

Kamu diam, tidak berkata apa-apa. Kalai dipikir-pikir, kamu baru saja menyadari banyak hari yang dilalui karena kamu terlalu banyak mengeluh dan mengumpat. Sementara, tidak ada solusi yang kamu ambil sebagai langkah awal.

“Aku tidak memintamu menyukai Hidup. Namun, kamu tidak akan pernah bisa bahagia jika terus-menerus menbenci hidup.” Manusia itu melepaskan tangan dari pundakmu, kemudian memandang kejauhan di mana para manusia itu masih berkutat pada bahagianya. “Mereka sedang mencari kebahagiaan karena mereka sudah sadar bahwa hidup ingin kita sendiri yang membuat dan menciptakan kebahagiaan itu.”

Pelan-pelan kamu mengikuti arah pandang manusia itu. Kali ini kamu yang merasa tertipu dan cemburu.

“Bukankah kebahagiaan itu diciptakan dan dibuat dengan cara sederhana?” tanya manusia itu.

Segala rencana tadi telah lenyap, ternyata angin tadi yang membawa pergi entah ke mana. Pijakan tanah memintamu untuk duduk dan menatap sisian danau yang amat jernih. Kali ini angin yang bergerilya tengah memelukmu, daun yang jatuh tengah merangkulmu, langit yang cantik tengah tersenyum padamu. Baru kali ini, kamu merasa bahwa hidup tengah menyambutmu datang. Hidup memanh berbaik hati, kamu yang tidak berbaik hati padanya. Hidup berusaha membuatmu mengerti, kamu yang tidak menoba mengertinya. Hidup tidak pernah membalas segala umpatanmu untuknya, dia hanya akan membalas uluran tanganmu untuk kembali menyukainya.

Kamu berpikir tidak apa-apa ingkar janji untuk menyukai hidup karena kamu sendirilah yang tidak mencoba mengerti hidup. Pada akhirnya, inilah kebahagiaan yang ksmu cari, duduk bersama alam, menenangkan diri dari apa-apa yang membuatmu runtuh. Bahagiamu amat sederhana dan menyenangkan. Jadinya, hidup memberi selamat padamu.


Komentar