HARI INI kamu telah memantapkan hati untuk mengakui apa yang selama ini tersembunyi. Bersama waktu-waktu yang membuat uring-uringan. Tatkala hari yang melaju menjadi saksi akan merebaknya persembunyian yang sudah tidak dapat menampung rahasia tersebut. Pada akhirnya, pengakuan menjadi satu-satunya solusi daripada harus meledak dan memborbardir ruangan—sungguh kamu tidak kuasa menghadapi situasi tersebut. Dengan segala pertimbangan, menarik napas dalam-dalam, ditahan beberapa detik, kemudian dibuang pelan-pelan. Itu yang kamu lakukan ketika merasa gugup di kala pacuan jantung meledak-ledak.
Sementara, hari pengakuan itu masih beberapa jam lagi. Matahari pun masih bersolek di belahan dunia lain. Namun, kamu masih tampak gugup di bawah jam dinding yang menunjukkan pukul empat pagi. Kamu sama terpakunya dengan letak jam tersebut. Kamu sama seperti jam itu, sama-sama berkalut dengan waktu. Hanya saja, jam menuntun waktu sampai hingga di titik dua puluh empat kemudian kembali mengulangi siklus yang sama. Kalau kamu menunggu waktu sampai menemukanmu pada titik pukul di saat pengakuan akan terjadi.
Dimainkannya satu per satu jemari yang mulai letoy dan terasa nyeri karena terus dimainkan tanpa henti sejak kamu mulai membuat keputusan untuk menandakan akan terjadi hari pengakuan. Kira-kira itu terjadi pukul tujuh malam sebelumnya. Itu tadi malam. Tentu saja kamu tidak tahu sudah berapa jam yang kamu habiskan untuk berkutat pada sensasi luar biasa tidak enak, tetapi menyenangkan itu—tentu kamu menikmatinya. Jadi, ya sudah, pastilah itu hal yang wajar-wajar saja jika ingin menemui hari pengakuan. Lebih-lebih kamu adalah seorang perempuan.
Ngomong-ngomong soal perempuan, sempat kamu menanyakan terkait mengakui pengakuan ini kepada teman-teman perempuanmu. Sebetulnya, kamu hanya ingin mereka menguatkan apa yang kamu lakukan itu akan berjalan lancar. Alih-alih sesuai keinginan, kamu berakhir menelan dongkol sampai ke ulu hati.
“Aku sendiri yang akan memulai, bagaimana menurutmu?” tanyamu sore tadi ketika akhirnya menemui dua teman perempuanmu di kantin kampus.
Kedua temanmu itu saling berpandangan, beradu tutur batin yang kamu sendiri masih menanti-nanti jawaban mereka. Namun, kamu cukup telaten dalam berlaku sabar apalagi menanti. Jadinya kamu akan menahan kesal karena perempuan dengan wajah cokelat manis itu menatapmu dan melengos. Seraya menggeleng-geleng dia menjawab, “Kamu itu perempuan! Tidak seharusnya memulai. Di mana-mana, lelaki yang seharusnya seperti itu!”
Belum-belum kamu menjawab, temanmu satunya dengan kulit seputih susu sapi melanjutkan, “Betul itu, kamu jangan aneh-aneh, deh. Mau ditaro mana muka kamu?”
Pada akhirnya kamu hanya bisa mengangguk saja dan tersenyum masam saja. Ternyata, memang kamu harus meyakini dirimu sendiri, dibanding harus menelan argumen mereka dan akhirnya yang harusnya diakui jadi sia-sia terkubur bersama ketidaktahuan. Kamu tidak mau itu terjadi, kamu tidak mau hari pengakuan itu tidak terjadi, kamu tidak mau apa-apa yang harus diakui menjadi sia-sia karena tidak terjadi. Jadi, tanpa dukungan teman-temanmu, kami akan berjalan sendirian saja, kamu akan membuat hari itu terjadi.
Dan, hari itu benar-benar terjadi. Belum, sebentar lagi. Kamu sangat siap hari ini, hari yang amat spesial yang menjadi se####jarah bahwa kamu akan mengakui. Jadinya kamu menulis surat semalam suntuk untuk kemudian dimasukkna ke dalam loker melalui celah setipis kertas. Kamu masih punya akal untuk tidak membobol bar-bar pintu loker milik orang spesial di hatimu. Cepat-cepat kamu pergi dari sana sebelum#### pemilik loker itu datang. Jadinya kamu menjadikan warteg yang tidak jauh dari kampus sebagai pelarian untuk menormalksasiydetak jantung yang tidak normal.
Kira-kira tiga puluh menit berlalu, dari beberapa meja yang tadinya penuh kini hanya menyisakan dia dengan dengan wanita paruh baya di Bali etaalse makanan. Dari piring yang tadinya penuh nasi beserta lauk pedas-pedas, kini telah bersih tanpa tersisa. Namun, rasa yang sejak semalam tidak juga pergi, tidak tersisa sama sekali, malam-malam makin membuncah. Tiba-tiba kamu menjadi cemas dan khawatir, apakah dia sudah membaca suratmu? Pasti sudah! Kamu tahu betul pukul berapa orang spesial itu membuka lokernya. Lantas, apa yang orang itu lakukan dengan surat semalam suntukmu?
Ah, bagaimana kalau dia merobek kemudian menjadikan surat semalam suntukmu sebagai bagian dari sampah non organik? Sial, ini tidak baik, kamu raih segelas es teh manis yang sudah tidak manis lagi karena es batunya mencair, tetapi kamu habiskan juga. Diketuk-ketuknya meja kayu yang kokoh, memantulkan bunyi tidak beraturan seperti suasana hatimu. Tiba-tiba untaian satu paragraf di surat semalam suntukmu menari-nari di kepalamu, mempermalukanmu,mengolok-olokmu.
Hai, ini adalah surat cinta yang kubuat semalam suntuk. Tolong jangan kabur atau bahkan membuang surat penuh perasaan ini. Kalau kamu tidak suka, sederhana, cukup kembalikan padaku saja. Namun, sebelum melakukan itu, ada yang harus kamu ketahui bahwa ini adalah hari pengakuan. Pengakuan dari hati yang selama ini memberi ruang luas untukmu singgah. Tenanglah, aku hanya menuruti perintah hati karena aku tidak mau apa-apa yang seharusnya diakui ini menjadi ketidaktahuan yang sia-sia. Jadinya, aku membuat hari ini sebagai hari pengakuan bahwa aku jatuh cinta padamu. Baiklah, kamu pasti tiba-tiba merasa geli dan tidak suka, jadi aku minta maaf. Terima kasih banyak!
Kamu menutup wajahmu yang sudah menerah dan memanas. Mengapa untaian itu terasa membuatnya geli dan menjijikan? Tidak heran kalau-kalau orang itu akan segera membuangnya di tempatnya, sampah. Benar-benar sampah!
“Peemisi, ini ada surat untuk Mbak.”
Seseorang menyapa pundakmu dan meletakkan surat putih di atas meja depanmu. Kamu tudak sempat bertanya karena orang tadi sudah pergi. Namun, itu tidak penting, kali ini kami tahu betul karena pikiranmu tersasar pada satu orang. Hal itu diperkuat dengan tulisan rapi yang tertera di depan surat bertuliskan ‘untuk Gina'. Kamu kenal tulisan itu. Kamu tahu betul bahwa tulisan itu adalah milik orang yang selama ini memenuhi ruang hatimu dan menyibukkan isi pikirmu.
Tadinya kamu takut, tetapi rasa penasaran lebih mencuat. Jadinya kamu membuka surat itu. Kamu mulai melakukan olah nalas ketika gugup. Kemudian matamu mulai menyentuh kata pertama.
Halo, ini adalah surat termanis yang tidak pernah kudapatkan. Jadi, tidak mungkin kubuang surat ini ke dalam kotak yang kotor. Rasanya, tidak etis yang manis-manis dibuang begitu saja, ‘kan? Akan kusimpan ini.
Itu paragraf pertama. Kamu tersenyum lebar.
Kamu benar-benar perempuan yang keren. Sebelumnya aku tidak oernah menemui perempuan sekeren kamu yang melakukan ini padaku. Ini menyenangkan.
Ah, dia memujimu! Kali ini kamu menggigit bibir bawahmu menahan rasa senang. Apalah ini pertanda baik?
Akan tetapi, maaf, kamu adalah teman terbaik yang merangkap sebagai perempuan keren yang lernah ada di dalam hidupku. Perasaanmu, kuharap jangan lama-lama membuatku singgah di sana. Aku tidak mau kamu menjadi kecewa karenaku. Seribu maaf untukmu, Gina.
Keningmu berkerut, perlahan-lahan kembangan bibirmu mulai mengempis berubah lekukan yang amat tipis. Tubuhmu tadi menegang, kini letoy meregang. Napas yang tadinya memburu, kini mulai pelan-pelan saja. Tidak mau berlama-lama di paragraf tersebut, kamu melanjutkannya lagi.
Kuharap, kita masih bisa berteman, ya? Berkomunikasi seperti biasanya. Bukankah teman-teman lain akan menatap Gina aneh karena tanpa Riza di sekitarnya? So, have a nice day, girl!
Jadi, bagaimana caranya berteman dengan seseorang tahu bahwa kamu mencintainya? Bagaimana caranya menutupi apa yang sebenarnya terjadi, tetapi mesti ditutupi? Seraya melipat kertas dan kembali memasukkan ke dalam surat. Kamu tersenyum tipis, getir. Entahlah, kamu masih bingung dengan situasi ini. Matamu seakan-akan kekurangan air untuk meloloskan air terjun. Jadinya, kamu duduk diam saja di tempat. Kemudian ingat dengan perkataan dua teman perempuanmu tadi. Bukankah seharusnya kamu tidak usah membuat hari pengakuan ini? Namun, bukankah itu artinya perasaan menjadi sia-sia marena ketidaktahuan? Akan tetapi, akhirnya memang berakhir sia-sia karena ketidaksamaan rasa. Ya, rasamu dan rasa dia tidak sama.
“Nasi ayam kremes seperti biasa, ya, Mbok!”
Tiba-tiba suara seorang lelaki membuyarkan kebingungan yang mulai merajut luka. Kamu mendongak dan menemukan seorang lelaki yang kini tersenyum ke arahmu dan duduk di sampingmu. Lihatlah, bagaimana caramu tetap menjadi teman untuknya?
“Siap, Mas Riza, pelanggan setianya Mbok!”
Komentar
Posting Komentar