Langsung ke konten utama

seniman cinta yang menyerah pada lelah

AKU SUDAH LELAH, tidak, tidak ada aktivitas apa pun yang kulakukan hari ini. Aku hanya berdiam diri, rebah dalam senyap, mata menatap lurus ke depan, sesekali bergerak untuk memenuhi kebutuhan sebagai manusia. Namun, kadang-kadang aku lupa untuk memanusiakan diri sendiri. Maksudku, bagaimana bisa, ada manusia yang tega menyakiti dirinya sendiri? Kamu tidak bisa melihat siksaannya secara nyata, tetapi dalam diri ada kekerasan yang terus-menerus dilakukan.

Aku tidak sedang membicarakan isu kekerasan dalam rumah. Bukan pula tentang diri yang membuat luka pada kulit-kulit. Tidak, semua itu tidak terjadi, tetapi sesuatu yang besar dan menyayat terjadi di dalam diri. Ini tentang pikiran dan hati yang saling msnyerang satu sama lain. Ini tentang cinta, bukan gara-gara cinta, melainkan karena cinta. Ini kisah cinta yang akhirnya harus meramu pulih dengan merajut luka menjadi seindah mungkin. Bukan cinta yang menyebalkan, melainkan cinta yang menyenangkan. Ini kepatahan paling menyenangkan yang paling kusenangi.

Namun, aku lelah. Akhirnya aku lelah setelah menumpuk harapan sampai-sampai hampir menyentuh langit, tetapi akhirnya runtuh juga ke ataa pijakan. Tidak, kamu tidak meruntuhkannya, apalagi angin. Tenanglah, tidak ada yang salah di sini. Hanya saja, percuma, untuk apa kupamerkan tumpukan harapan yang tinggi, tetapi tidak ada satu pun yang kamu ambil? Awalnya, aku optimis, paling tidak, kamu mau mencicipi salah satu harapan saja, tetapi kamu hanya berdiri dan memandang kerajinan tangan yang kubuat layaknya karya paling mengagumkan yang pernah kautatap. Tidak, aku tidak butuh senyuman mengagumkanmu, aku hanya butuh kamu membawa pulang harapan-harapanku. Hei kamu, itu bukanlah karya seni, itu karya hati!

Aku masih mencintaimu, tetapi aku mulai lelah. Aku tidak niat untuk kembali menumpuk harapan yang jatuh karena terus-menerus dilandang tanpa direngkuh olehmu. Kalau dipikir-pikir, itu adalah hal sia-sia yang pernah kulakukan. Aku membuang waktuku untuk menumpuk harapan, tetapi aku menghargai waktu-waktu ketika aku mencintaimu. Bedanya, kali ini aku lelah. Aku sudah tidak bergairah untuk memilikimu, ya, biarlah takdir yang berbicara.

Maka aku merebahkan diri saja di tengah-tengah puing-puing harapan yang sudah tidak lezat di mataku. Aku terkekeh, apakah tatapan kagummu ke arah karya hatiku itu hanya ilusi? Apakah senyum simpulmu atas karya hatiku itu hanya delusi? Atau apakah kamu yang berdiri dan menatap karya hatiku itu hanya imajinasi? Apakah pada akhirnya aku hanya terjebak dalam kenyataan yang mengintimidasi? Kemudian, segalanya menjadi pucat pasi lalu dihantui akhir buruk tanpa antisipasi.

Aku masih mencintaimu, tetapi maaf kalau aku berhenti untuk berjuang kembali. Aku berpikir, apalah aku akan terus seperti ini dalam kisah romansa? Bukan, bukannya aku menyerah, aku hanya ingin berserah. Aku takut menumpuk harapan lagi, ada sesuatu dalam diri yang terasa nyeri. Mungkin, mungkin tubuhku kuat dan tangguh untuk menjadi seniman cinta yang bekerja keras tanpa kenal waktu. Akan tetapi, tubuh ini tidak akan hidup tanpa jantung yang berdetak, tanpa hati yang berdesir. Aku pun berpikir, sudah cukup untuk membuat jantungku berdetak tidak nyaman, berhenti untuk membuat hati tidak nyaman berdesir karena terluka.

Aku hanya ingin menikmati detak jantung dan desir hati yang bertempo dengan indah. Menyatukan harmonisasi seraya merajut luka-luka yang berhamburan. Sebab, kusadari, mencintaimu itu semudah ketika aku tidak mengharapkan apa pun. Sejatinya, harapan-harapan itu sendiri yang membuatku hancur sehancur-hancurnya. Aku tidak mau melihatmu sebagai sosok yang berdiri saja ketika menatap karya hatiku, itu hanya akan menuai harapan baru yang hanya akan terus-menerus kamu tatap. Jadinya, aku mundur, aku akan mencintaimu sewajarnya, mencintaimu tanpa harus menyakiti diriku sendiri, mencintai tanpa mengharapkan kamu mencintaiku.

Tidak apa-apa, ternyata itu lebih baik daripada harus menantimu untuk mencintaiku. Mencintai seseorang, kadang-kadang terlalu serius untuk berpikir sedemikian rupa untuk membuat cinta yang sempurna agar dimiliki olehmu, tetapi luput untuk memanusiakan diri. Berat, tetapi cinta juga kadang-kadang tidak harus memiliki.


Komentar