Langsung ke konten utama

lomba lari

AKU SUDAH SIAP-SIAP untuk bergerak, melangkah untuk menuntaskan apa yang sudah kupilih. Kulihat baik-baik orang-orang di sisi kanan dan kiriku. Mereka memasang ancang-ancang di pijakannya. Tatapan mata mereka menyorot ke depan seakan-akan menantikan garis ujung. Ada sesuatu di sana yang mesti mereka raih, tepatnya aku juga bagian dari mereka.

Kuambil napas kuat-kuat untuk kemudian dibuang perlahan. Kukembalikan arah wajahku ke depan. Jujur saja, jantung sejak tadi sudah bergedup tidak karuan. Kali ini ketika pertandingan akan dimulai, gerak jantung menjadi tidak beraturan. Belum lagi suara riuh orang-orang di tribun yang tidak terdengar dengan jelas nama siapa yang disebut. Itu benar-benar distraksi yang mengganggu fokusku. Sebetulnya, bukan itu yang menjadi permasalahan.

Aku hanya mencari-cari namaku di antara suara riuh yang bergema memantul di ruang terbuka ini. Setidaknya, satu saja, tetapi mengapa tidak ada namaku di sana. Kali ini kulayangkan pandangan ke arah tribun. Menatap beberapa orang yang bisa kujangkau. Tidak ada yang menatapku, tidak ada yang berteriak memyeru ke arahku, tidak ada yang memberi semangat kepadaku. Msnyapu segala sisi tribun, hanya mwmbuatku makin ciut dan tiba-tiba aku menyesal berada di sini.

Aku menunduk, tetapi aku tetap pada posisi yang tepat. Pikiran mulai berkecamuk, segala tuduhan mulai memyalahkan diri sendiri. Mengapa aku harus di sini, sementara tidak ada seorang pun tangysekadar meneriakkan nsmaku? Aku menoleh ke belakang, apa aku mundur saja, ya? Daripada berlari oe depan, bukankah lebih baik aku bergerak lari mundur dan keluar dari sini? Bukankah semua akan sia-sia, kalau-kalau aku mencapai garis terakhir tidak akan ada yang menyambutku, ‘kan?

“Bersedia!”

Suara petugas telah mendominasi lintasan. Suara riuh tadi mulai teredam, tetapi gejolak dalam diri makin membuncah. Tidak, tidak bersedia, maksudku tiba-tiba aku tidak bersedia. Sejak awal sebetulnya aku tidak begitu bersedia, tetapi saat ini aku amat sangat tidak bersedia. Ada nyali yang mengerut, ada api yang mulai padam, ada diri yang ingin segera berlari kembali dan melupakan hari ini. Namun, ada rasa malu yang lebih besar jika mendapati diriku berlari keluar lintasan disaksikan seluruh pasang mata.

Jadinya, kupasang sikap bersedia. Mengikuti yang lain, aku bergerak merendahkan tubuh. Lutut kaki belakang kuletakkan pada ujung kaki depanku. Kedua telapak tanganku mendarat di atas pijakan sejajar dengan kedua bahuku. Kuperhatikan sebentar posisi tangan yang berada di belakang garis start. Mulai, sebentar lagi aku akan memulai apa yang sudah kupilih. Sejenak aku memanjakan keraguanku dan membatin, apakah pilihanku tepat? Namun, kali ini pilihan kembali terjadi seraya menatap fokus ke depan. Ya, mau tidak mau aku mesti bersedia.

“Siap!”

Tidak, aku benar-benar tidak siap. Akan tetapi, kupaksa menaikkan panggulku hingga lebih tinggi dari posisi bahuku. Tanganku yang berpijak di tanah mulai bergetar. Namun, aku tetap mengambil napas sekuat mungkin dan mengolahnya sedemikian rupa. Bagaimana kalau ternyata aku berada di paling belakang? Bagaimana kalau aku tersendat di tengah lari? Bagaimana kalau ternyata pertahananku runtuh? Sudahlah tidak ada yang mendukung, memalukan, mengkhawatirkan. Tidak sengaja aku menggenggam tanah sampai-sampai selanjutnya suara starter mulai memberi aba-aba selanjutnya.

“YAK!”

Aba-aba tersebut sigap membuatku mulai berlari. Aku seperti tidak berlari, daripada itu, aku menemukan pikiranku berlari ke mana-mana. Melalang buana, dari satu titik ke titik lainnya. Sampai detik ini pun aku masih tidak mengerti, mengapa aku bisa ada di sini? Ikut berlari di antara para pelari andal. Sementara aku adalah pelari kemarin sore yang hanya sekadar suka berlari. Segala macam lari telah kutempuh sendiri. Lari dari kenyataan, lari dari masalah, lari dari apa-apa yang mematahkan hati. Aku memang lihai dalam pelarian semacam itu, tetapi berada di lintasan ini bukanlah tempat yang tepat untuk pelari ingusan semacamku. Ah, ya, sekarang aku mengerti. Pantas saja tidak ada yang mendukungku di sini. Aku memang tidak sebaik itu. Aku memang si bodoh yang tidak pernah bisa menjadi andal.

Apa sebaiknya aku berjalan kaki saja? Berhenti saja sekalian, bila perlu berlari mundur dan keluar dari pilihan yang bodoh ini. Kulirik ke belakang, tidak sda siapa pun di sana. Hanya aku. Aku pelari terakhir. Pelari ingusan sepertiku memang pantas berada di akhir. Pelari tidak andal sepertiku memang seyogyanya berada di paling belakang. Aku terkekeh. Entah menghibur diri atau merasa miris pada diri sendiri. Pelari-pelari lain sudah jauh dari pandangan mataku. Entah sudah di meter ke berapa. Kurasa, aku belum sampai pada seratus meter.

“Hei, kejar mereka!”

Aku menoleh, aku tidak tahu siapa dia. Namun, dia ikut berlari di sampingku. Seingatku, aku tidak melihat manusia ini di antara pelari-pelari lain. Aku yakin sekali aku satu-satunya pelari terakhir di sini. Tunggu-tunggu, memangnya boleh ada penonton yang masuk ke lintasan? Mengapa manusia ini ada di sini? Mengapa para petugas membiarkannya? Sibuk dengan pikiranku, dia masih menatapku dan mengatakan hal yang sama.

“Kejar mereka!” Dia berseru kepadaku.

Aku menggeleng, tetapi aku tetap berlari pelan-pelan saja seraya berkata, “Percuma. Aku tidak akan menjadi yang pertama.”

Benar, ‘kan? Dari tadi sudah kukatakan bahwa berada di sini adalah pilihan yang salah, keputusan yang bodoh.

Manusia itu tertawa kecil. “Hei, aku tidak memintamu untuk menjadi yang pertama. Kubilang kejar mereka.”

Kali ini aku berhenti. Hebat memang manusia ini. Berhasil mengalahkan keraguanku untuk berhenti. Aku tidak mengerti maksud pertanyaannya jadi aku bertanya, “Apa maksudmu?”

“Jangan berhenti, hei, jalan!” Kali ini manusia itu memerintahku. Aku mengdengkus, tetapi kuikuti saja.

“Kautahu, lintasan ini bukan perlombaan. Lintasan ini hidup. Hidup itu bukan tentang siapa menang dan siapa kalah. Lintasan ratusan meter ini hanyalah sebagai jalan sejauh mana kita melangkah. Bukan tentang siapa cepat, tetapi siapa tepat.”

Aku diam saja seraya memposisikan tubuh senyaman mungkin untuk berlari. Entahlah, aku mengikuti larinya manusia itu yang menurutku cukup cepat.

“Ah, ya, hidup itu memang sebuah pilihan. Apa pun keputusanmu, tidak pernah ada yang salah. Sebuah keputusan akan menjadi tepat jika kamu mau menepatkannya.”

Benar. Eh, benar juga. Mungkinkah keputusan yang kuanggap salah ini aka msnjadi sia-sia karena kulalui dengan tidak sepenuh hati? Kurasa ada benarnya juga manusia ini atau kurasa dia tepat.

“Lintasan ini—hidup ini tidak perlu jadi yang pertama, yang terpenting adalah memastikan dirimu tetap berlari dan berusaha untuk menjadi yang terbaik itu lebih bernilai daripada diam saja dalam keraguan. Yang pertama belum tentu yang terbaik, tetapi yang terbaik dialah yang utama.”

Aku tersenyum simpul. Kalimat itu membuat kecepatan berlariku makin melaju. Kali ini di pikiranku tidak terpaku pada garis finish. Aku hanya ingin menjadi pelari yang berlari, bukan berdiam diri. Aku hanya akan memastikan diriku berlari, tidak tertinggal jauh. Aku tidak ingin jadi yang pertama, aku hanya ingin jadi yang terbaik.

“Hei, aku akan pergi. Jangan menunggu orang lain untuk menjadi dukungan terbaikmu. Akan tetapi, pikirlah, hanya kamu pendukung terbaik dirimu sendiri. Jadi kejarlah mereka untuk jadi yang terbaik.”

Kemudian aku berlari, berlari saja. Aku ingat, aku melewati beberapa pelari. Namun, pandanganku kembali fokus saja. Kubiarkan riuh penonton meneriakkan nama para pendukung mereka. Aku hanya fokus pada diriku yang sibuk meneriakkan diriku sendiri. Sebentar lagi, sebentar lagi, dan, ya, aku memang tidak menjadi tiga pelari terbaik. Mendapati diri pada lima terbaik dan berhasil memijaki garis finish. Ternyata inilah pencapaian paling menyenangkan. Bukan, bukan tentang aku di garis finish, melainkan tentang aku yang berhasil melalui berbagai lintasan hingga sampai di garis finish. Aku bahagia sekali, setidaknya aku tidak membuat kesia-siaan pada keputusan yang kupilih sendiri. 


Komentar