Langsung ke konten utama

what should I do?

DARI TEMPATKU DUDUK saat ini, kuperhatikan kepala belakangnya lekat-lekat. Di balik masker putih yang menyembunyikan setengah wajahku, aku bebas tersenyum mesem-mesem karena tidak akan ada yang melihatku melakukan hal konyol ini. Memangku dagu rengan kedua tangan, sementara kepala kutelengkan ke kanan. Dalam waktu-waktu menikmati pemandangan ciptaan Tuhan yang super manis itu, membuat duniaku hanya berpusat pada lelaki yang berada duduk barisan kiri nomor tiga dari depan. Sementara, aku sengaja memilih bangku paling belakang dengan tujuan menekuni kegiatan memandang lelaki yang sudah lama kusukai.

“Andai aja lo sefokus itu ketika matkul Pak Ridwan.” Suara seorang perempuan di sampingku ini layaknya kaset rusak yang menembus dan menyerang duniaku saat ini.

Namun, seusaha mungkin kuabaikan. Bukan apa-apa, aku paling tidak suka kalau ada yang mengganggu ritual memandang pemandangan Tuban Mahesa untuk dikagumi dan diharapkan untuk dimiliki. Meski pada kenyataannya, manusia yang kupandangi itu sudah jelas-jelas tidak ingin dimiliki karena rasa ini hanya sepihak. Hanya aku yang merasakan rasa suka, dia tidak.

“Maaf, tapi aku enggak bisa membalas perasaan kamu. Tolong, jangan terlalu berharap sama aku, aku enggak mau kamu kecewa,” katanya kala itu, sekitar dua minggu lalu yang membuatku nyaris menahan napas lama sekali untuk menetralisir hati yang mulai retak. Kemudian dia lanjut berkata, “Kuharap kita masih bisa tetap berteman seperti biasanya, ya? Rasanya enggak enak kalau tiba-tiba hubungan baik kita jadi rusak hanya karena hal ini.”

Cepat-cepat aku mengangguk dan tersenyum lebar. Tidak, aku sedang tidak memaksakan senyuman. Itu hanya cara untuk menutupi hati yang sudah teroris-teroris dengan tajam hingga berserakan. “Benar. Itu benar. Kita masih bisa berteman!”

Ya setidaknya demgan memastikan eia berada di sekitarku. Dengan masih bisa berinteraksi baik padanya. Dengan masih bisa menjangkaunya dari kejauhan ataupun dekat. Kalau dipikir-pikir—menurutku itu lebih baik. Kalau menurut Ajeng—perempuan rusuh di sampingku ini—begini katanya, “Oon. Peak. Bodoh. Stupid. Orang udah ditolak masih juga dideketin.”

Sungguh aku marah dan tersinggung dengan sahabatku yang amat tidak suportif soal permasalahan hati. Jelas-jelas kubilang aku tidak memintanya untuk menjadi pacarku, aku hanya berkata jujur perihal perasaanku padanya. Soal perasaan dia yang tidak sama denganku, itu bukan masalah yang besar—yeah, bukan masalah besar, melainkan masalaj kecil. Berlari menemui Ajeng dan memeluknya, tidak lupa tangisan patah hati paling menyakitkan setelah mengungkapkan perasaan. Itu hanya masalah kecil bagiku, serius! Buktinya aku masih bisa bertahan sampai saat ini.

“Haduh,” keluh Ajeng yang sudah kuhafbetul maknanya. Tanpa melihat ekspresi wajahnya yang super Jawa, tapi kelakuannya tidak ada lembut-lembutnya, pasti putus asa sekali wajahnya saat. “Asal lo tau, Kin, gue selalu berdoa agar kebodohan dalam diri lo dibuka. Agar Tuhan membantu lo menemukan jalan keluar dari kebucinan yang parah.”

Baiklah, Ajeng pantang menyerah dan tidak bisa diabaikan. Aku menghargai kepeduliannya padaku, jadi kuputar bola mata, melengos, memusatkan tubuh berharapan dengannya langsung. Aku menyapa, “Selamat siang, Ajeng. Eh, ya ampun, dari tadi ada cuap-cuap mutiara kirain dari Mamah Dedeh enggak taunya dari Umi Ajeng?”

Kupassng wajah semanis mungkin, tidak lupa kedip-kedip manja sebagai bentuk persahabatan yang sudah amat erat. Yang pasti dia tahu, aku sedang menyalurkan kata-kata intimidasi serupa lo-beeisik!

“Sumpah, ya, Kin. Lo enggak ngerti kata menjauh, ya? Sementara aja gitu, enggak bisa? Apa bedanya dulu sama sekarang? Bedanya Cuma tau dan enggak taunya dia soal perasaan lo aja, ‘kan? Sisanya lo masih berharap!”

Aku melongo. Tiba-tiba saja perempuan itu berteriak dan melotot ke arahku. Lihat saja napasnya memburu tidak ksruan. Sampai-sampai aku harus beringsut ke belakang karena Ajeng memajukan tubuhnya. Kalau seperti di film kartun, pasti akan muncul asap-asap dari hidungnya, kalau beruntung dari telinganya. Tiba-tiba rajungan kelas hening, kuperhatikan sekitar dan baiklah, kami adalah pusat perhatian. Semua pasang mata menatap npa suara, tetapi aku tahu betul mata mereka bertanya-tanya. Sampai tatapanku bertemu dengan seorang lelaki yang menjadi sumber kemarahan Ajeng. Aku tersenyum masam dan cepat-cepat kembali menatap Ajeng. Ini tidak baik, apa yang ada di kepala lelaki itu tentang apa yang baru saja #####dikatakan Ajeng?

##“Jeng, please, jangan sekarang,” baikku memohon. Bukan karena rasa malu, aku orang yang dikenal seru dan asyik oleh teman sekelas, melainkan tentang lelaki itu. Bagaimana kalau dia menjauh? Aku benar-benar tidak siap untuk itu.

Ajeng kembali duduk di tempatnya, menyibukkan diri dengan novel yang entah dia benar-benar memahami bacaannya tersebut#########h. Yang pasti, kami banyak diamnya hari ini. Untunglah dosen sudah memasuki kelas dan membuat perhatian dari kami teralih. Namun, ketika kulirik kembali lelaki itu, dia masih menatapku. Kami berpandangan sejenak dan dia tersenyum tipis, tipis sekali, kemudian dia memalingkan wajah ke depan.

What Should I Do?


Komentar