Langsung ke konten utama

mau tertawa bersamaku?

“TUH, LAH! Temennya udah pada sidang, kamu masih nangis-nangis enggak jelas!”

Itu adalah kata-kata pendukung yang benar-benar membuatku termotivasi untuk tidak merasa makin terpuruk. Bayangkan saja, ketika harus menunggu waktu lama tentang kepastian sidang proposal. Dosen tersayangku tiba-tiba mengundurkan diri. Sedikit lagi, sedikit lagi impianku untuk sempro akan terwujud. Akan tetapi, takdir begitu mulia dan baik hati karena memintaku untuk bersabar lebih lama. Hari ini adalah hari paling menyengsarakan dari hari-hari senang lainnya.

Sedari tadi aku tertawa-tawa saja di sudut kamar seraya berbalas peean dengan salah satu temanku. Aku membeberkan kabar bahagia yang kudapatkan hari ini. Betapa nikmatnya perjuanganku selama ini, melawan air hujan, menempa waktu-waktu yang mendukung, dan, ya, tentu saja! Jangan lupakan si paling mendukungku, ayah dan bunda yang tidak pernah berhenti memberikan motivasi beserta saran membangun. Mereka akan membandingkanku dengan teman-temanku yang sebenarnya tidak seberuntung aku juga.#

“Dari kemarin itu ngapain aja? Diam-diam saja, tidak ada usahanya!”

Aku hanya tersenyum saja mendengarnya. Kadang-kadang aku mengangguk dan memasukkan kata demi kata dengan khidmat, membiarkan kalimat tersebut berjalan# beriringa menuju ruang hati. Kemudian kalimat-kalimat itu akan mengukir lukisan berupa luka yang manis dan indah. Aku senang-senang saja, kunikmati dengan khusyuk, ini benar-benar kalimat pendukung yang pamungkas. Selama mengerjakan skripsi luntang lantung dengan gembira, siraman motivasi itu benar-benar menguatkanku sampai titik ini. Bahkan, kepalaku sampai penuh dengan asap-asap yang menari-nari riang.

Di saat aku tengah terpukau dengan keadaan hari ini, ayah dan bunda tidak segan-segan menciptakan hari ini menjadi lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Aku lebih sering tertawa-tawa di sudut kamar. Tidak, tidak, jangan pernah mengira aku sudah gila, ya! Biar kuberi tahu, ini adalah solusi terbaik untuk mengekspresikan apa yang kurasakan. Menangis? Apa itu? Jarang sekali aku melakukan hal konol seperti itu.

Fyuh, mendalami apa yang dikatakan ayah dan bunda bahwa teman-temanku sudah lebih dulu sidang. Kalau dilihat-lihat mereka bergerak terlalu cepat. Perjalanan mereka cukup mulus. Tidak seperti aku yang dihadapkan dengan segala rintangan. Melalui takdir-takdir yang memintaku untuk mundur atau semacam diam di tempat. Namun, aku cukup cerdik, tidak mungkin kuikuti kemauan takdir mulia satu itu. Diam-diam aku pergi ke kampus meminta kwpastian, diam-diam aku mengurim yang oesan ke dosen hanya untuk meminta kepastian. Huh, dia pikir dia siapa? Dia boleh menjadi takdir yang bisa menengukan nasib siapa pun! Akan tetapi, aku tidak akan sebodoh itu untuk jatuh ke perangkapnya!

Orang lain boleh saja mencapai titik yang kuinginkan lebih dulu. Orang lain boleh saja hanya butuh waktu sedikit lebih cepat daripada aku untuk mencapai apa yang kuinginkan.orang lain boleh saja tidak mendukungku—ah salah, maksudku, orangtusku amat mendukung! Namun, aku punya aku yang menuntun diri untuk sampai pada apa yang kuinginkan. Mungkin aku akan butuh waktu tidak secepat orang lain. Akan tetapi, percayalah, akan kupastikan diriku sampai di titik tepat apa yang kuinginkan! Dan aku punya aku si pendukung paling terbaik. Aku tidak mudah menyerah karena aku adalah aku.

Jadinya, aku sudahi tertawaku. Lelah juga ternyata banyak terbahak-bahak sampai membuatku terpingkal-pingkal. Serbasalah memang, tetapi, aku mesti harus tetap hormat pada ayah dan bunda sang pendukung ulung. Aku tahu mereka ingin cepat-cepat melihat diri ini memakai toga. Aku tahu karena itu juga menjadi impian terbesarku saat ini. Namun, aku bahagia sekali karena ayah bunda tidak mengerti betapa perjuangan adalah proses paling menakjubkan dan melelahkan. Ayah dan bunda hanya melihat aku santai-santai saja, tetapi ayah dan bunda tidak tahu bahwa itu baru saja aku rehat setelah melalui hari yang sulit. Ayah dan bunda tahunya aku melamun saja, tetapi ayah dan bunda tidak tahu betapa kepalaku penuh dengan revisi yang menumpuk, ayah dan bunda tidak tahu betapa mulianya karakter doden yang sungguh sulit dihubungi dan ditemui. Ayah dan bunda tidak tahu betapa riset membuat isi kepala luruh, ayah dan bunda tahunya aku tidak becus untuk mengerjakan skripsi.

Namun, aku adalah anak yang baik dan pengertian. Aku tahu bahwa ayah dan bunda ingin aku cepat-cepat lulus. Aku tahu ayah dan bunda ingin aku cepat-cepat kerja. Akan tetapi, aku juga ingin ayah dan bunda tahu betapa aku juga menginginkan semua itu. Lebih-lebih ada satu keinginan terbesarku untuk ayah dan bunda. Aku hanya ingin ayah dan bunda tertawa bersama denganku, menertawakan betapa komedinya skripsi.

——

Didedikasi untuk Eka. Semangat, ya, Ka! Gue yakin lo bisa melalui semua ini. Dan ketika lo berhasil nanti, selamat karena sudah menjadi versi diri lo yang lebih baik!


Komentar

  1. Hati-hati kalau tawanya tanpa sebab dan tanpa batasan. Hehehe. Btw, salam buat Eka ya!

    BalasHapus

Posting Komentar