Langsung ke konten utama

di sisi jembatan, menatap air sungai yang tenang

MENCINTAI orang yang tidak mencintaimu, bagaimana rasanya? Tidak, aku sedang tidak bertanya, aku hanya ingin mencari teman yang sekiranya senasib denganku. Aku heran, teman-temanku tidak susah-payah merasakan cinta sepihak, tetapi aku satu-satunya perempuan yang dipercaya oleh takdir, katanya aku akan kuat menghadapi cinta yang sepihak ini. Aku hanya mengangguk-angguk saja seperti orang bodoh yang membodohi diri sendiri. Kebingungan sejak tadi bertengger dalam diri, tidak melakukan apa-apa, bertanya-tanya, “Bagaimana cara bahagia merasakan patah hati?”

Di dinginnya malam, angin bersiul kencang sekali. Mengibarkan kaos kebesaran yang dibungkus hoodie tebal—tetapi, angin kali ini lihai memasuki diriku. Kaki berjalan saja, entah ke mana, yang terpenting menghirup udara segar dan harapannya patah hati ini hilang. Orang-orang bilang mereka akan menangis ketika patah hati saking perihnya. Aku bukan tidak ingin menangis, melainkan apa aku harus menangis untuk kedua kalinya karena hal sama? Lagipula, patah hati kali ini aku tidak begitu cengeng. Mungkin belum, entah kapan.

Akhirnya langkahku berhenti di sisian jembatan dengan pegangan setinggi dada. Jalanan malam kali ini sudah sepi, meskipun masih menunjukkan pukul delapan malam. Namun, untuk kota kecil seperti ini—apalagi di pelosok, masyarakat sibuk bercengkrama dengan keluarga di dalam rumah. Mungkin seharusnya aku melakukan hal yang sama seperti malam-malam sebelumnya, tetapi suasana hatiku sedang tidak boleh dicium baunya oleh keluargaku. Biarlah malam ini mereka senang-senang tanpaku. Kubilang pada Ayah, “Mau keluar, entah sebentar atau lama, yang jelas aku akan pulang.”

Orangtuaku bukan tipe-tipe orangtua yang over protektif, mereka percaya pada anak-anaknya, terutama aku. Jadi, aku mulai bertumpu pada pinggiran jembatan, melongokkan kepala ke bawah, air sungai di bawah sana amat tenang. Pantulan cahaya bulan setengah yang tidak begitu terang menjadi lukisan menenangkan malam ini. Huft, kubuang napas yang terasa panas, kueratkan tali hoodie yang membungkus kepalaku agar rambut tidak berkibar ke sana kemari. Bagaimana cara menghilangkan patah hati dengan cepat? Apa angin sekuat ini bisa membawa patah hati yang meremukkan?

“Pengganggu.”

Sedang asyik-asyiknya menikma ketenangan air dan ketenangan alam, tiba-tiba suara seorang lelaki berdecih di sampingku. Aku menoleh, ada lelaki jangkung dan tinggi. Menurutku dia mau mati, pakaian kaos oblong tanpa lengan, celana jeans sobek-sobek. Lihat saja tubuhnya kurus kering, tetapi kalau dilihat-lihat wajahnya dari samping cukup manis—hanya kurasa dia sedang terbebani. Aku tidak mempedulikan sungutan lelaki berambut gondrong yang dikuncir tersebut. Aku hanya mengedikkan bahu dan kembali fokus pada semula.

“Ketiga kalinya gagal mati.” Lelaki itu mendesah. “Mau mati aja kenapa susah banget sih?”

Baiklah, aku merasa bersalah tiba-tiba, jadi kuubah perhatian sepenuhnya hanya untuk lelaki itu. Kubuat tubuhku benar-benar menghadap tubuh bagian kirinya. Aku tidak menyangka kalau dia mau mati, asumsiku tadi hanya asumsi belaka karena pakaiannya itu mengundang penyakit di saat angin lagi seru-serunya. Aku mulai bertanya, “Kamu benar-benar mau mati?”

Dia menoleh dan menunduk ke arahku yang tingginya hanya satu senti di bawah pundaknya. Manis, mata kecilnya tidak begitu baik, selain bulatan gelap, sorot matanya begitu tajam, tetapi rasa sakitnya sampai mengetuk mataku. Hidungnya juga kecil, napas yang tenang sekali, tetapi seakan-akan menantikan sesuatu. Bibirnya juga tipis, bergaris segaris, tidak ada lengkungan yang bisa kusebut senyuman. Sedikit saja tersenyum, mungkin akan menjadi bukti bahwa lelaki ini memang manis, aku tidak membual.

“Harusnya,” jawabnya sangsi, “gue mau mati tanpa ada siapa pun yang jadi saksi. Gue mau menemukan diri tenggelam, tanpa ada orang lain berteriak nolongin gue.”

Refleks aku mendekat lelaki itu, memasang tatapan was-was. Daripada air sungai yang tenang, aku mesti lebih memusatkan perhatian ke lelaki yang punya niat untuk menjatuhkan diri di bawah sana. Ayahku bilang, jika ada orang yang berniat bunuh diri harus dicegah karena itu tindakan penyelamatan yang baik. Meskipun lelaki ini baru saja kutemui beberapa detik lalu, aku punya tanggung jawab untuk menjaganya.

“See?” Lelaki itu tertawa sinis tanpa melihat ke arahku. Namun, dia tidak menjauh.

“Kenapa mau mati?” tanyaku. Ini pertanyaan aneh sekaligus mencekam yang pernah kuutarakan kepada orang lain. Di situasi malam sepi seperti ini, ditambah rasa patah yang masih memukul. Kurasa, entahlah, pertanyaan itu lumayan menghiburku.

“Hidup berantakan. Keluarga ribut. Temen munafik. Pacar selingkuh. Dipecat dari kerjaan. Menurut lo, buat apa gue hidup?”

Itu terdengar miris dan membuatku bersyukur karena meskipun patah hati, aku masih punya keluarga dan teman yang baik hati. Daripada itu, ada keputus-asaan yang kentara sekali dari nada bicaranya.

“Kenapa sebelumnya bisa gagal mati?” Asal kamu tahu, aku sama sekali tidak berpaling darinya hanya untuk memastikan dia tidak benar-benar terjun bebas. Aku juga ingin tahu, seberapa besar keinginan dia untuk mati.

Dia diam saja, sesekali wajahnya menoleh ke kanan memperhatikan jalanan kosong. Lima detik kemudian menoleh ke kiri dan menatapku. Tatapan mata itu masih tajam, tetapi kali ini sorotnya berbeda. Seperti, ada sesuatu yang ingin direngkuh. Dia menjawab, “Percobaan pertama gue masih ragu. Percobaan kedua gue enggak yakin. Percobaan ketiga, ada pengganggu.”

Pada kalimat terakhirnya diberi penekanan yang aku sudah tahu betul siapa di balik kata pengganggu itu. Akan tetapi, aku cukup terkesima dengan alasan-alasan yang entah mengapa membuatku lega. Bisa jadi kali ini dia punya keraguan yang sama sehingga tidak perlu terjun bebas meskipun aku tidak di sini, ‘kan? Tanpa sadar aku mengembangkan senyuman, itu baik sekali, serius. Setidaknya, senang sekali mendengar pria itu masih ada keinginan untuk hidup meski, ya, dia kembali lagi ke sini untuk percobaan ketiga kalinya.

“Lo seneng.” Itu pernyataan yang keluar dari mulutnya, tepat sekali. Aku memang senang, jadi aku mengangguk saja. Dia bertanya, “Kenapa? Kenapa lo seneng?”

Aku menaikkan bahu. “Seneng aja kamu masih punya keraguan dalam hal ini.”

Aku kembali mengubah posisi tubuh menghadap air sungai yang masih tenang. Kemudian aku memilih untuk menjawab pertanyaan lelaki itu sebelumnya, “Untuk diperbaiki.”

“Maksudnya?” tanya lelaki itu tidak mengerti. Aku menoleh sebentar. Dia juga sudah kembali menghadap ke arah sungai dan menatap air di bawah sana. Mungkin dia tengah bergidik ngeri bila membayangkan tubuhnya kaku tenggelam di sana. Aku pun kembali memandang sungai.

“Ya, tadi kamu nanya, untuk apa kamu hidup? Ya, untuk diperbaiki.” Benar, ‘kan? Sesuatu yang berantakan bisa dirapikan kembali. “Aku memang enggak tau rasanya di posisimu. Tapi, selama kamu masih hidup, kamu punya kesempatan untuk memperbaiki hidup kamu. Kalau orang lain enggak bisa diperbaiki, cukup perbaiki diri kamu. Perhatikan diri kamu. Kamu mungkin punya keinginan mati, tetapi sesuatu dalam diri kamu tidak akan pernah menginginkannya.”

Dia diam saja, kuharap dia mendengarku dengan baik. Sebelum benar-benar mengakhiri kalimat aku melanjutkan berkata, “Mungkin semua orang di hidup kamu enggak begitu baik sama kamu, tetapi kamu? Masa kamu mau berbuat enggak baik juga sama diri kamu sendiri? Ya, seenggaknya kamu adalah orang baik dalam hidup kamu sendiri.”

Aneh memang, sejak sering merasa patah hati aku jadi lebih bijak. Bahkan, aku tidak tahu bagaimana kalimat-kalimat itu muncul dengan sendiri dari mulutku ini. Mendadak terselip rasa senang karena berhasil mengeluarkan kalimat tersebut di hadapan orang yang ingin—tidak jadi mati.

“Jauh banget ya lo mikirnya?” desisnya, tetapi aku mendengar sedikit kekehan, “Gue yang mungkin lebih tua dari lo aja enggak mikir ke sana. Ya, seenggaknya lo makin menguatkan keraguan gue untuk mati.”

See? Aku berhasil membuatnya tidak mati. Sebagai reaksi senangnya aku tertawa-tawa. Sementara, lelaki itu masih bersikap tenang dan lebih terasa hangat dibanding tadi. Lagi pula, aku tidak rela air tenang di bawah sana dirusak dengan berisiknya tubuh lelaki itu yang tenggelam di sana. Aku tidak rela tempat ini akan menjadi menyeramkan karena esok hari ada berita ditemukan tubuh seorang lelaki mengambang.

“Kalau lo? Lo ngapain ke sini malam-malam?” tanyanya.

Aku hampir saja melupakan kejadian yang membuatku patah hati tadi siang. Pertanyaan lelaki itu sukses membuat suasana senang hatiku menjadi sendu kembali. Namun, aku akan merasa kurang ajar kalau tidak menjawab pertanyaannya. Sementara aku sudah melemparkan dua pertanyaan yang cukup tragis pada lelaki yang hampir saja mau mati malam ini.

“Patah hati. Cinta sepihak. Jadi ke sini nyari ketenangan,” jawabku seadanya. Jujur, aku tidak ingin membahasnya secara dalam. Aku ke sini hanya ingin mengubur dalam-dalam kenangan yang sulit dilupakan.

“Baguslah.”

Aku mengernyit mendengar jawaban lelaki itu. Aku memang tidak ingin pembahasan patah hatiku berlanjut. Akan tetapi, jawaban itu cukup menyinggung perasaanku. Jadi kutanya, “Apa maksudnya?”

Dia menatapku dan alisnya naik sebelah. Mungkin dia heran karena tiba-tiba aku sedikit memberi penegasan pada pertanyaanku.

“Ya, bagus lo ke sini enggak ada niatan buat mati. Lagian muka kayak lo enggak pantes punya niat mati.”

Oh, jadi itu maksudnya. Salah dia juga tidak menjelaskan secara detail. Kemudian kami berdiam lama sekali. Satu menit? Bahkan sekarang sudah jalan hampir dua menit. Angin sudah tidak begitu kencang, air di bawah sana pun masih tenang.

“Gue juga patah hati soal asmara kok.” Lelaki itu tiba-tiba berkata, mungkin dia tidak nyaman dengan keheningan. “Hm, dipertemukan di sini apa takdir meminta kita untuk belajar saling mencintai?”

Spontan aku menoleh dan menatapnya tidak mengerti. Yang benar saja, aku tidak mungkin memulihkan patah hati dengan mencari lelaki lain sebagai gantinya—itu namanya pelampiasan dan timbul masalah baru.

“Hei, itu enggak masuk akal!” seruku sedikit kesal.

Dia menatapku, kali ini tatapan tajamnya sudah hilang. Berganti keteduhan yang penuh harapan. “Itulah cinta. Ketika kita sama-sama patah hati di sini, orang yang kita cintai lagi senang sama orang yang mereka cintai dan nahasnya mereka saling mencintai. Sementara kita di sini jelas-jelas senasib, tapi enggak bisa menyembuhkannya patah hati satu sama lain karena kita enggak saling cinta.”

Dia benar. Andai saja patah bati semudah jatuh cinta. Tidak butuh waktu lama untuk mencintai, tetapi butuh waktu lama untuk pulih dari patah hati.

“Dan itulah cinta, misterius. Kali ini gue merasakan cinta yang baru terhadap orang yang berhasil bikin gue enggak mati hari ini.”


Komentar