Langsung ke konten utama

Isi hati

, entah kamu yang tidak peduli atau memang akunyabyabg terlalu takut untuk membuat keterdiaman di antara kita mencair. Bahkan aku merasa saat ini kita tidak secair dulu. Entahlah, memang benar-benar entahlah. Daripada entah ini dan entah itu, aku lebih suka kepastian. Misalnya, tentang rasa yang tidak sama. Itu benar-benar kepastian yang sudah pasti dan nyata adanya. Namun, memang aku suka sekali menyiksa diri dengan beberapa pertanyaan yang akhirnya menyakiti diri sendiri. 

“Mungkin suatu saat.”

“Tidak sekarang, bisa saja espk, lusa, atau mungkin di masa depan.”

“Saat ini rasa kita memang tidak sama, tetapi sebentar lagi, rasa kita akan sama.”

Aku tahu berharap setelah kepastian terungkap itu tidak baik. Lebih-lebih apabila kepastian itu tidak berpihak pada perasaan yang kumiliki. Akan tetapi, aku berusaha untuk menekan harapan. Bagaimana caranya? Sederhana, tetapi sebenarnya tidak semudah itu juga. Awal-awal aku sulit untuk menerima sehingga meraskan patah hati yang begitu dalam. Aku begitu menghayati luka yang mwnyayat sampai-sampai terperih sendiri. Sejatinya, kalau dipikir-pikir semu itu tidak akan pernah usai kalau kita terus-menerus memanjakan patah hati tersebut. Alhasil akan sulit bagiku untuk pulih. 

Pada akhirnya, aku mencoba untuk berpikir, msngapa tidak menjadikan yang sulit ke mudah? Ketika aku sulit untuk menerima, mengapa tidak mencoba untuk mudah dalam menerima? Menerima kenyataan, menerima luka, menerima patah hati, msnerima semua itu dengan ah iya tidak apa-apa. Tidak masalah kalau itu terjadi padaku, itu bukan takdir buruk, melainkan adalah pelajaran berharga. Artinya aku mesti belajar menata harapan dan eskpektasi. Arrinya aku mesti belajar untuk tidak bermudah-mudahan dalam mengambil keputusan untuk jatuh cinta atau tidak. Sebab, cinta adalah kita yang punya kendali. Namun, cinta akan mengendalikan kita kalau kita menjadikannya raja.

Kalau ditanya, “Sudah di tahap mana pemulihan patah hatinya?”

Dikatakan pulih, tidak juga. Percayalah, memulihkan hati tidak semudah itu. Mungkin aku dan kamu akan terasa baik-baik saja interaksinya, tetapi bagaimnna dengan hati? Mungkin aku bisa jujur tentang betapa aku menyukaimu, tetapi aku tidak akan pernah bisa mengatakan aku patah hati karena rasa kita tidak sama. Tidak, bukan karena kamu yang salah. Bagaimanapun, lagi-lagi, aku sendiri yang memutuskan untuk nukai menyukaimu. Bahkan, setelah patah hati, aku khawatir jadi mencintaimu. Aneh memang, ketika aku bisa menerima segala skenario terburuk, justru aku jadi mencintaimu. 

Entahlah, nah. 

Sebenarnya aku hanya ingin kita banyak berinteraksi. Aku ingin kita banyak berkomunikasi. Aku ingin kita banyak berdiskusi. Namun, aku tahu, bisa saja kamu tidak nyaman. Aku pun memahami, bahwa aku bukan orang penting yang pesannya harus selalu dibalas. Bahkan, sering kali berujung dibaca dan dilupakan sampai tenggelam di daftar terbawah. Memnag di situlah tempatku, di deretan orang-orang uang yang biasa saja dan tidak ada yang salah juga sebenarnya. Lagi pula, aku tidak punya hak untuk menjadi orang penting di hidup kamu. Aku tahu, itu terkesan kekanakan, egois, dan sinis. Itu bukan aku, itu hati aku yang bicara. Kamu tahu, ‘kan, kalau keluh kesah tidak baik ditahan di dalam diri. Apabila menumpuk, akan meledak juga nantinya. Jadi, aku membiarkan hati berbicara. 

Kadang-kadang aku tidak dapat menahan pikiran untuk tidak memikirkan kamu. Akan tetapi, sampai detik ini pun kamu masih singgah di sudut di ruangan spesial di hatiku. Jadinya, secara otomatis pikiran tentang kamu akan selalu terlintas di otakku. Aku tahu itu juga tidak baik, tetapi entahlah. Orang kalau jatuh cinta memang suka membuat dunianya sendiri di dalam kepala mereka. Sama seperti aku. Aku juga hampir setiap hari memikirkan kamu, berandai-andai bagaimana kalau kita bersama. Namun, aktivitas sia-sia itu akan selalu berujung pada aku yang tertawa. Tahu karena itu semua hanyalah delusi yang tidak akan pernah terjadi. 

Sebenarnya ada hal yang kutakuti. 

Aku tahu kamu tahu tentang perasaanku padamu. Aku hanya takut kamu menganggap remeh perasaan itu seperti, “Ah biarkan saja, nanti juga dia akan lupa sendiri dan tidak akan menyukaiku lagi.”

Ya itu mwmang, tetapi percayakah itu bukan hal mudah. Aku memahami bahwa cinta tidak selamanya harus berpihak. Akan tetapi, aku tidak ingin kamu meremehkan perasaan yang kumiliki. Selalu butuh usaha yang lebih untuk memulihkan patah hati, lebih-lebih ketika tetap harus berinteraksi baik dengan kamu. Tunggu, tidak, kamu menjauh juga bukan solusi bagiku, itu bukan keinginanku. Terserah kalau ada yang berkata, “Dengn menjauh, maka perasaan akan ikut menjauh.”

Aku tahu itu dan aku memahaminya. 

Hanya saja kita ini sudah terlalu jauh. Baik jarak maupun dari segi mana pun. Berinteraksi sebentar dan seadanya saja aku sudah cukup senang. Menemukan namamu ada di antara orang-orang yang melihat status media sosialku, senyumku selalu tersungging. Kebahagiaanku semudah itu. Kamu juga tenang saja, aku lihai dalam memulihkan hati. Aku tidak terlaku menghayati patah hati ini. Aku percaya ini akan berlalu, aku menerima semuanya baik masa kini dan entah bagaimana takdir merancang masa depan. Justru, aku kembali belajar banyak. Aku kembali tumbuh dewasa dengan permasalahan-permasalahan yang mematahkan hati. 

Jadi, kamu tetaplah menjadi kamu. Dan aku akan menjadi aku. Tidak apa-apa kalau aku dan kamu tidak menjadi kita. Yang terpenting adalah tentang bahaa aku dan kamu tidak berjarak. <3

          

Komentar