Langsung ke konten utama

when fall in love with the good human

HERAN ketika orang-orang menyia-nyiakan orang baik dengan alasan, “Maaf, kamu terlalu baik buat aku.”

Entah karena mereka tidak menyukai orang baik atau memang menjadikan alasan basi itu sebagai penolakan atas alasan yang sebenarnya? Tidak ada yang salah juga sebenarnya, kadang-kadang daripada menyakiti hati orang lain lebih baik membual. Namun, bukankah dengan melakukan bualan tersebut secara tidak langsung akan menyakiti orang tersebut, ya? Ah, kalau membahas perkara cinta dari segala sisi memang rumit dan perlu pikiran jernih untuk berasumsi. Namun, ya, sudahlah, aku memakluminya karena cinta suka jatuh di orang-orang yang tidak pernah kita duga, ‘kan?

Walaupun sebenarnya ada sisi beruntungnya juga kalau kita tidak mencintai seseorang yang terlalu baik. Jangan berpikir yang kontradiktif dahulu, hei, ayo luruskan lagi berpikirmu. Maksudku, orang baik pasti akan berlaku baik ke semua orang, ke siapa pun itu. Biasanya orang baik akan mudah disukai oleh orang-orang di sekitarnya, bisa jadi hal itu yang membuatnya memiliki banyak teman. Masalahnya adalah, apakah aku berani mengambil risiko untuk menahan diri supaya tidak cemburu kalau-kalau dia baik ke semua orang? Ya, aku memang seperti anak kecil, maka dari itu aku berusaha untuk menjadi dewasa di sini. Sadar diri juga, aku bukanlah siapa-siapa untuk dia yang super baik hati ini. Aku hanyalah segelintir orang yang sama-sama diperlakukan baik seperti orang-orang di sekitarnya itu.

Menurutku, itu tantangan terbesar dalam mencintai kali ini. Sering kali aku mengutuk diri yang terlalu melibatkan perasaan kepada orang sebaik dia. Namun, itu sudah berlalu dan saat ini tengah menjalani fase-fase yang ... pasrah, mengais pelajaran dari apa yang sudah berlalu. Aku akan selalu melakukan hal mulia itu untuk menghibur diri karena menyalahkan diri sendiri bukanlah solusi. Dari situ pun aku menyadari bahwa semua orang itu pada dasarnya baik, ada juga yang memang amat baik. Sepertinya aku memang lagi apes saja jatuh di hadapan orang amat baik yang mengulurkan tangannya untuk menantuku berdiri. Serius, aku ingin menoyor kepalaku sendiri, bukankah itu hal wajar kalau orang jatuh dibantuin—apalagi orang se-amat-baik dia akam punya hati malaikat untuk menolong? Bodohnya aku melenceng menjadi jatuh ke makna yang berbeda, benar, jatuh cinta—sorakin saja aku yang super alay ini, tidak masalah.

Mencintai orang amat baik itu sama saja seperti memacu adrenalin. Bagaimana kalau ada orang lain yang suka sama dia? Bagaimana kalau ternyata dia punya sisi baik spesial yang hanya ditujukan ke orang lain yang spesial bagi dia? Bagaimana kalau ternyata dia sudah memiliki orang amat baik yang juga pantas untuknya yang amat baik itu? Kemudian, bagaimana dan bagaimana, jikalau dan jikalau? Rasanya aku ingin memaku diri di sudut ruangan dan menjadi patung dengan makna perempuan galau yang sedang patah hati karena mencintai seseorang yang amat baik. Baiklah, itu terlalu dramatis, tetapi perasaan ini memang sedrama itu kalau kamu-kamu mau tahu. Aku berusaha menahannya agar tidak meledak hingga menjadi si ratu drama yang siap.mendapat pandangan jijik, sini, bahkan mualan muntah pun siap.

Awalnya aku memang heran, tetapi kini aku memahaminya—terlepas dari apa pun alasannya. Namun, perkataan ‘maaf, kamu terlalu baik buat aku’ itu bisa jadi langkah awal yang membawa diri pada kepatah-hatian yang hakiki. Kalau begitu sejak awal aku harusnya membentengi diri dari orang-orang yang terlalu baik. Ah, tetapi aku tetap tidak setuju dengan itu—aku memang plin plan. Bukankah orang amat baik memang pantas untuk disukai dan dicintai? Ya, daripada dihindari, mengapa tidak dicoba untuk mendekat dengannya? Yeah, dianggap sebagai teman lebih baik daripada tidak dianggap sama sekali atau bahkan dianggap, tetapi dianggap sebagai perempuan malang yang sedang patah hati—baiklah, itu kekonyolan yang membuatku makin bodoh. Pada akhirnya, lebih baik menjadi orang yang diperlukan baik, daripada dihindari oleh orang amat baik. Meski tidak ada cinta yang berbalik, setidaknya dapat akhlaknya yang baik-baik. Memang harus seperti itu, segala hal yang tidak sesuai keinginan, mesti dihibur dengan pola pikir bijak seperti tadi—bukankah aku sudah dewasa? Meskipun hati memberontak seperti anak kecil yang menendang-nendang angin seperti ingin meminta permen. Ah, dalam kondisi seperti ini (baca: perempuan galau yang sedang patah hati) aku tidak mau menuruti kata hati dahulu. Bisa-bisa aku makin tidak terkendali dan berakhir menjadi perempuan gila karena patah hati. Eum, itu hiperbola yang gelap, itu ... maaf.

Akan tetapi, cinta memang seperti itu, ‘kan? Tidak hanya terjadi kepada orang baik seperti aku yang kemudian mencintai orang amat baik seperti dia. Nyatanya, hal itu bisa terjadi kepada siapa pun itu—ingat, kubilang semua orang itu baik, kebetulan saja dia ini orang yang amat baik. Ketika siapa mencintai siapa akan selalu dihadapkan oleh dua kemungkinan sesuai keinginan atau tidak. Pun, tidak ada yang perlu disedihkan juga apabila tidak sesuai keinginan, ya, meskipun amat sangat tidak apa-apa juga menyambut patah hati dengan menangis tersedu-sedu di sudut kamar kemeja menjadi orang galau ya—aku mulai ngaco dengan kalimat adiktif ini. Bersedih sebagai meladeni perasaan hati yang tidak baik-baik saja, tetapi kita mesti berbahagia sebagai diri yang setidaknya sudah berusaha dan menerima kenyataan—ah, aku benar-benar sudah dewasa bukan?

Pada akhirnya aku memutuskan untuk jangan mudah mencintai lagi. Bukan berarti tidak lagi mencintai—bagaimanapun juga aku ini masih butuh suami, tahu!—hanya saja memang lebih berhati-hati dengan hatiku yang super lemah gemulai nan alay ini. Jadi, menxintailah sekalian dengan risiko dan kepayahannya. Kadang-kadang orang lupa kalau mencintai itu ada duka-duka yang bisa membuat kita menjadi orang galau yang sedang patah hati—serius ini terakhir kalinya kalimat ini berdengung. Kuingatkan untuk hati-hati dengan hati!


Komentar

  1. Jangan takut mencintai orang baik. Ingat aja, orang baik tercipta untuk orang baik pula

    BalasHapus

Posting Komentar