Langsung ke konten utama

TRAGEDI

KANJURUHAN tengah menebar berita duka. Awalnya datang dengan sukacita, tetapi siapa yang menyangka bahwa mereka akan pulang dengan dukacita? Awalnya beberapa dari mereka pamit untuk memberi dukungan, tetapi siapa sangka itu adalah pamit untuk pulang?

Namun, dari banyaknya simpatik yang beredar di laman media sosial, aku merasa bahwa ada beberapa yang sebaiknya ditahan lebih dulu. Itu tampak meresahkan, bisa jadi duka mendalam bagi para keluarga korban. Seperti contoh nyata ada pengguna yang menyalahkan oknum sekaligus korban atas pemicu kejadian tersebut. Tutur diksinya pun engga etis untuk dibaca.

Kalau begitu, oknum tersebut tidak salah? Enggak juga, tetapi kita salah tempat dan salah waktu untuk menghujat—apalagi di media sosial.

Memangnya siapa yang mau hari itu menjadi hari akhir mereka? Mungkin, mungkin mereka melakukan sesuatu yang salah sehingga membahayakan orang lain, bahkan diri mereka sendiri. Namun, dalam situasi yang enggak baik-baik saja seperti ini, apa pantas bagi kita mengutarakan kekesalan dan kata-kata enggak etis terhadap mereka?

Ketika banyak para korban yang berjatuhan, hingga harus merenggang nyawanya. Kadang-kadang kita mesti membuka sudut pandang yang lebih luas lagi. Menyingkirkan sebentar ego dan amarah ke sudut ruangan. Setelah itu, tidak ada salahnya untuk duduk di samping pembelajaran yang bisa ditelisik.

Saat ini, coba ubah posisimu menjadi keluarga para korban. Tekan dulu ego dan resahnya. Coba deh, ketika kita menjadi keluarga mereka, tahu enggak hsncurnya hati kita ketika tahu salah satu bagian dari diri mereka pergi tanpa pamit? Yang akan kita pikirkan bukan tentang kesalahan mereka, tetapi tentang betapa menyesalnya kita membiarkan mereka pergi—mungkin.

Kalau enggak bisa, coba deh ubah posisi jadi orang yang punya simpatik kepada para keluarga korban. Mungkin enggak diutarakan secara langsung di mukanya, tetapi bagaimana kalau mereka membacanya? Bagaimana kalau mereka membacanya postingan kita yang mencaci-maki kesalahan anak/kakak/adik mereka? Bagaimana perasaan kita kalau kita membaca postingan caci makian atas kesalahan dari anak/kakak/adik kita?

Kalau masih belum bisa juga, coba kamu ubah posisimu jadi pengguna media sosial yang bijak. Seenggaknya ucapkan bela sungkawa. Seenggaknya bertutur ketik yang sopan santun, nanti dulu, jangan menyalahkan siapa pun dulu, bukan waktunya. Kita harus memahami situasi dan kondisi.

Kalau masih belum bisa juga? Jadilah orang yang diam saja. Lebih baik diam daripada mengujar yang enggak baik, kan? Sesederhana itu sebenarnya, tetapi miris masih ada beredar hal serupa di media sosial.

Terus kalau waktu sudah berlalu, berarti boleh dong posting tentang ‘kesalahan-kesalahan’ mereka ini, kan buat pembelajaran ke depannya? Aku mau tanya, memangnya pelajaran seperti apa yang disampaikan dengan diksi enggak etis? Bukannya hal baik harus diaksikan dan diverbalkan secara baik pula, ya?

Mengambil pelajaran enggak serta-merta dengan menghardik orang lain, tetapi tentang mendidik dengan baik dan benar. Untuk saat ini, cukup jaga jari aja, minimal punya perasaan terhadap keluarga korban. Coba untuk doain yang terbaik, semoga para korban tenang di sisi-Nya, semoga para keluarga korban ditabahkan, dan semoga ke depannya enggak ada kejadian seperti ini lagi.

be wise netizen.


Komentar