Langsung ke konten utama

mengusutkan tali yang kamu buat sendiri

KATAKU jangan lagi coba-coba, itu tidak akan baik untukmu. Kalau-kalau dikosongkan dua hari penuh untuk sebuah persiapan. Tentang apa-apa yang nantinya berakhir pada keputusan. Sebuah tali terulur memanjang, pada tiap yang melaju ada keinginan, harapan, ekspektasi, risiko, dan konsekuensi.

Kamu tahu, tali itu harus memiliki titik ujungnya. Jika tidak, dia akan tumbuh seiring waktu. Normalnya tali tidak akan pernah bisa tumbuh. Hanya saja, tidak dengan tali yang memberi garis-garis di permukaan hatimu. Itu tali yang kamu buat sendiri setelah keputusan dibuat dan dipastikan bahwa persiapan sudah siap seratus sepuluh persen. Begitu katamu, amat percaya diri.

Sebenarnya segala spekulasi sudah memenuhi bongkahan otakmu, ‘kan? Namun, dari sumpeknya spekulasi itu, dengan dorongan hati untuk menyingkirkan semua itu berhasil. Bilangnya, tidak ada salahnya untuk mencoba, bukankah itu hal wajar? Itu lagi, argumentasi dikemukakan seakan-akan dilarang menanggapi. Bila hati sudah bergejolak, maka akal logika tidak mampu menolak. Pada akhirnya, aku hanya bisa terpojok di sudut seraya melihatmu terbahak-bahak. Aku mendengkus, jika sudah merasa menang, kamu memang tidak pernah lupa untuk berlaku songkak.

Baiklah, mari kita nanti-nantikan saja waktu mainnya. Mungkin akan membutuhkan waktu lama, tetapi masa depan sudah memberi tahu akan dua hal. Tentang, apabila keputusanmu berhasil, kita akan menjadi perempuan paling bahagia di dunia ini. Namun, apabila kabar buruk itu meluluh-lantakkan harapanmu, kita akan menjadi perempuan yang berusaha untuk bahagia. Aku tidak berani untuk mengarungi kesedihan sekaligus kepedihan, aku maunya lebih baik berhenti sekarang juga. Akan tetapi, kamu jauh berkendali, kamu adalah pemaksa berdalih perempuan kuat. Sementara, aku tahu kamu juga khawatir akan menjadi lemah tatkala talimu menjadi kusut.

Kadang-kadang keningku berkerut, memperhatikan langkahmu membentuk pola lonjong di tempat uang sama di depanku. Selain kepalaku jadi pusing, aku dipaksa memikirkan apa maumu. Ada kalanya matamu menyapa mataku, tidak hanya sekadar menyapa, tetapi juga mengaliri kesemuan uang terasa nyata. Aku tahu itu, tetapi aku tidak msu bicara karena percuma saja, akhirnya kamu akan melangkah menjauh tanpa membuat diskusi intens denganku. Setidaknya itu terjadi berkali-kali, setidaknya itu membuatku lega karena ada kewarasan di tengah asmara yang melandamu.

Kamu datang lagi, kali ini jalau gontai dan terseok-seok. Aku prihatin dan iba, meringis pula ketika tali itu sakin memanjang keluar dari mulutmu yang terkatup perih. Tatapan itu menghunus sampai ke palung jiwaku. Tidak, aku memahami bukan kamu yang menghunusku, tetapi perasaan di dalam hatimu yang menyerangku dengan brutal. Kamu tidak lagi membuat pola lonjong di lantai yang sama, tetapi kamu terduduk lesu memeluk lutut. Kepala itu disembunyikan di dalam kaki yang terkatup rapat. Tubuhmu bergetar, mula-mula teratur, lama-lama tidak beraturan.

Hati nurani ikut bergetar, refleks kudekati kamu, pundakmu kutepuk-tepuk lalu kuelus-elus. Sesuatu terjadi, apakah waktu mainnya hari ini? Kurasa tidak, kamu belum juga menemukan titik ujung talimu, artinya keinginan-harapan-ekspektasi-risiko-konsekuensi masih ada di sana, masih mengikat hatimu hingga menjulur hampir-hampir menyentuh kakiku. Kamu masih pada posisi yang sama, tetapi aku masih juga melakukan yang sama. Kita sama-sama sibuk dengan apa yang kita pikirkan. Kamu dengan kepedihan kamu, aku dengan ketakutan untuk tahu apa yang menjadi pedihmu. Namun, apa pun itu, apakah dia membuat talimu menjsdi kusut seperti ini?

Akhirnya kamu menampakkan wajah sembab dan merahmu. Matamu bulat dan pinggirannya menyembul. Bibir itu melaju dan tertarik ke bawah. Tanganmu bergerak menyentuh hatimu, ditepuk-tepuknya dan ditekannya sejenak. Selanjutnya, tanganmu kembali bergerak menyentuh tali dan membuatnya semakin kusut tidak berbentuk. Kemudian tanganmu mengetuk-ngetuk kepalamu.

Itu memang salah, kamu sudah membuat keputusan sendiri bersama dengan keinginan-harapan-ekspektasi-risiko-konsekuensi. Parahnya, kali ini kamu kembali berasumsi dengan bongkahan otakmu yang sudah sepenuhnya teracuni asmara. Mengais tanpa validasi, menangis tanpa intimidasi, memutuskan tanpa opsi, itulah kamu. Apakah kamu menyadarinya? Ya, aku tidak butuh jawaban untuk itu karena aku tahu kamu tidak tahu. Bila kuberi tahu akan sia-sia karena kamu telah mengubah ekspresimu menjadi perempuan sebelumnya. Perempuan yang siap bertempur mengarungi asmara. Aku benar-benar terkesima sekaligus prihatin. Kamu kembali berdalih, ini adalah rintangan yang harus dilalui, tidak ada kata menyerah sampai kamu benar-benar unjuk diri di hadapannya.

Aku terhenyak, aku kembali mundur dan terpojok. Sementara kamu sudah berhambur meninggalkanku, tersisa talimu yang masih terjangkau pandanganku sampai tali itu akhirnya hilang di balik dinding. Apamkamu tidak sadar, baru saja kamu mengalami patah hati pertamamu pada tali yang kali ini kamu buat? Apa kamu tidak sadar bahwa itu menjadi pertanda akan kepayahan yang berkepanjangan? Ah, kamu tidak tahu itu, kamu saat ini sedang menyusun strategi, kisah asmaramu harus berhasil. Namun, aku tidak yakin, aku bukannya tidak mendukung, hanya saja itu terlalu naif. Aku hanya mewanti-wanti diriku—kamu tidak bisa diwanti—jika aku menemukan dirimu luruh di hadapanku bersama tali yang kusut dan semrawut. Aku hanya memikirkan bagaimana cara untuk membuatmu tidak lagi mengusutkan tali itu, meskipun mustahil rasanya.

Dalam hari yang bergerak dari satu waktu ke waktu lainnya. Kamu terlalu giat berjuang, sampai-sampai pola lonjong di depanku hampir pudar. Aku takut karena aku senang berpikir tentang keberhasilan perjuanganmu. Apabila ketakutan itu membawaku pada kekecewaan, maka aku telah terjerembab di palung terdalam. Jadi, kutekan segala kesenangan semu. Sampai akhirnya kamu datang lagi. Kamu berdiri di ambang pintu, terdiam menatapku. Bibirmu tersenyum, tetapi tali itu tidak begitu baik untuk disimak. Apa maksudnya? Aku berdiri dan bergerak maju hingga berhadapan denganmu. Hari ini kamu begitu menawan, cantik, tidak ada perempuan tercantik selain kamu. Namun, bagaimana dengan tali yang persis seperti buruk rupa? Kumel dan ikatannya begitu rumit. Ini amat kontradiktif.

Sampai kamu jatuh memelukku erat seerat-eratnya sampai tubuhku terasa remuk dan hancur sebentar lagi. Tidak, ternyata itu bukan karena pelukanmu yang terasa sesak, tetapi talimu mengikat kita sampai aku harus merasakan betapa hancurnya hatimu. Ah, ini waktu mainnya. Waktu yang kala itu membrri dua kemungkinan. Semakin tali ini mengikat kuat, semakin aku tahu bahwa kemungkinan satu telah terjadi. Kemungkinan yang membuatmu harus menjadi perempuan yang berusaha untuk bahagia. Ya, kamu cantik hari ini, kamu berdandan hari ini, kamu berusaha bahagia dengan hal itu, kamu susah payah menutupi tali sialan ini. Namun, tali ini tidak akan pernah bisa disembunyikan selama kamu masih belum juga menemukan titik ujungnya.

Ya, pada tali yang sampai saat ini tidak ditemui ujungnya, kamu lupa untuk memikirkan cara pulih dari kekecewaan atas keputusan yang kami buat sendiri. Maaf, aku melupakan hal itu karena aku sendiri juga tidak tahu bagaimana pulih yang baik selain menikmati kepatuhan itu sendiri.

Komentar