KITA duduk bersisian di atas rumput hijau yang mulai menguning. Ini sore yang dirimu janjikan untuk bersua, setelah kian lama kunanti-nantikan sore ini. Dalam skenario yang tersusun apik di kepala, bak proyektor yang memiliki perasaan. Dialog kita di sana bersahutan tanpa kendala, ekspresi kita sama sekali tidak padam, bahkan angin sungkan untuk sekadar bernapas di sekitar. Kita seperti dua manusia yang memendam cinta, tinggal tunggu tumbuhnya saja. Skenario yang kuciptakan memang indah sampai-sampai aku melupakan bahwa itu hanyalah skenario belaka.
Lama sekali kita berkutat pada keterdiaman yang memakan waktu bermenit-menit. Sejujurnya, aku khawatir sekali waktu kita akan habis, sementara kata-kata belum juga memberontak keluar dari mulut yang terkatup rapat. Skenario yang kubikin tidak berjalan semulus yang kubayangkan. Hanya ada kita berdua, tidak ada sutradara yang mengendalikan skenarioku. Baiklah, tidak ada salahnya jika aku bertindak sebagai sutradara sekaligus pemeran, 'kan?
Aku bergumam sebentar, kuharap ini adalah awal yang baik untuk skenarioku sendiri. Setidaknya, ada suara untuk dapat menarik perhatiannya, perhatianmu dari udara kosong di depanmu. Entah apa yang kamu tekuni di sana, sementara aku bagai angin yang ikut menari-nari, kebetulan kamu tidak menyukai tarian angin. Ah, kali ini aku pesimis, rasa menggebu sebelum kita bertemu pandang tadi luruh seketika. Sepertinya, aku sama sekali tidak menarik di matamu, ya?
“Akhirnya kita di sini, maksudku kita bertemu.” Aku berusaha keras untuk memperbagus tatanan kalimat dan suaraku yang orang-orang mengatakannya cempreng—fyuh, itu membuatku benar-benar malu sendiri.
Aku menoleh dan menemukanmu hanya mengangguk-angguk, sesekali melipat bibir ke dalam. Tidak ada suara yang menyambutku dari lipatan bibir itu, bahkan pandangan matamu tetap fokus di titik yang sama. Bolehkah aku cemburu terhadap sesuatu yang bahkan sama sekali tidak hidup? Jika perlu, aku akan punya impian besar untuk menjadi udara kosong favoritmu. Sepertinya manusia sepertiku sama sekali tidak memiliki titik fokus yang menarik di matamu.
Apa aku pulang saja, ya?
Skenarioku gagal penuh, tidak ada satu pun yang sesuai. Satu dialog pun tidak terjadi, yang terjadi hanya dialog keheningan. Di skenario, kita menjadi hening karena menikmati kebersamaan yang enggan usai. Di sini, kita menjadi hening karena—kurasa kamu ingin segera pertemuan ini usai, ya? Jika aku egois aku akan berseru, “Pertemuan ini tidak ada usainya!”
Jika perlu, akan kusekap waktu agar tidak usah bergerak sekalian. Matahari akan kupanah agar mati hingga bumi menjadi sore selamanya, tanpa ada pergantian hari, tanpa ada pertemuan yang akhirnya memisahkan kita. Sebagai manusia egois, akan kubuat skenario seorang pahlawan melawan segala bentuk ancaman yang meruntuhkan kisah cintanya. Namun, skenario itu akan berakhir kepedihan yang menyayat. Sebab, sang pahlawan tidak msmpu melawan pujaan hatinya yang tidak memujamu. Pujaan hati yang meminta sang pahlawan untuk membuat bumi kembali normal karena dia harus menjadi manusia seutuhnya.
Ah, kali ini skenarioku terlalu buruk, membuat suasana semakin mencekam saja. Aku tidak mau menjadi seperti pahalwan yang berakhir mengenaskan karena cintanya kandas. Aku pun tidak mau menjadi sosok yang harus menghambatmu sebagai Manusia selebihnya. Dalam makna lain, aku tidak ingin menjadi egois yang menyedihkan. Dalam skenario lain, aku harus menjadi pahlawan bagi diriku bahkan dirimu, menyelamatkan diri dari cinta yang sejatinya tidak terikat. Ya, aku memiliki ikatannya, tetapi kamu tidak.
“Kalau begitu, kita sudahi saja pertemuannya.” Berat sekali untuk mengatakannya, dalam lubuk hati yang mencaci-makiku ingin tetap bersamamu, tetapi punya nurani untuk tidak mungkin membuatmu berlama-lama dengan ketidaknyamanan ketika bersamaku, ‘kan? Tenanglah, aku sadar diri, kok.
“Bahkan kita belum berdialog satu sama lain.” Kamu berujar, akhirnya, itu melegakan. Meskipun kamu sama sekali tidak membuat gerakan berarti, tetapi itu lebih baik. Suara beratmu menenangkanku dari pikiran rumit tentang skenario yang telah hangus.
*Kamu, tidak mendengarkanku ternyata.”
Lama-lama aku makin tahu diri bahwa diriku tidak berkepentingan sama sekali. Seharusnya aku tahu diri lebih awal, jika seperti itu aku tidak perlu repot-repot merancang skenario yang kuharap menjadi nyata itu. Tidak, aku tidak menyalahkanmu, aku hanya sedang mengutuk diriku sendiri yang bodoh ini.
“Tidak juga,” kamu menggeleng—tentu tanpa melihatku, hanya aku yang tidak beralih dari sisi wajahmu, “aku hanya sedang berpikir.”
Aku mendengkus pelan, itu refleks, ya, sedikit kesal, tetapi aku sadar diri penuh dan aku yakin sekali kamu sedang berpikir keras untuk memyudahi pertemuan ini tanpa menyinggungku, ‘kan? Sebetulnya, itu tidak perlu, serius. Jadi, aku berkata, “Tidak perlu berpikir keras, aku yang akan menyudahi pertemuan ini. Sebenarnya, tidak usah merasa tidak enak hati. Justru, aku lebih tidak enak karena membuatmu tidak nyaman.”
Kuakui nada yang dikeluarkan lumayan ketus, tetapi skenario sudah pupus seperti rumput ini, kering dan rapuh. Tinggal tunggu waktunya saja dibawa terbang sempoyongan ke sana kemari tanpa arah kemudian berakhir disapu bersama tumpukan sampah tidak berarti. Aku benar-benar siap untuk skenario terburuk yang satu ini. Tadinya aku akan segera mengangkat diri, tetapi ditahan kembali ketika pandanganmu menyapaku lagi. Kali ini lebih intens, kali ini lebih dalam, kali ini lebih lama, kali ini lebih bermakna, kali ini aku tidak berani mmikirkan skenario apa pun.
“Di pikiranku terbentuk dua manusia yang menyatukan puzzle-puzzle tidak utuh, mereka mencari-cari bentuk dan memasang yang sesuai. Sampai akhirnya, dua manusia berhasil membuat puing-puing itu menjadi utuh, dipandangnya lsmat-lamat puzzle yang telah utuh itu. Sore itu—dalam pikiranku—menjadi saksi cinta yang utuh tanpa ada perpisahan yang mengacaukan.”
Aku mematung, terhenyak dalam kebisuan yang membungkam. Tidak ada yang bisa kupikirkan selain mencerna baik-baik untaian kalimat berisi skenario romantis dari mulutmu. Dalam hening yang lama tadi, apakah itu yang dirimu susun di kepalamu? Ah, itu benar-benar kisah romantis yang kudambakan. Lagi-lagi aku membayangkan kita adalah dua manusia beruntung itu. Namun, membayangkan diriku ada di kepalamu saja rasanya mustahil. Jadi, itu tidak mungkin terjadi.
“Itu baik—maksudku seperti skenario yang ciamik. Di kepalaku, itu adalah kisah romantis yang pernah kudengar seumur bidupku,” kataku berusaha untuk menjadi manusia sebaik-baiknya yang seakan-akan tidak tahu-menahu soal hati yang mulai retak.
“Mau berperan bersamaku sebagai dua manusia yang ada dalam kepalaku? Tidak, bukan berperan dalam sebuah skenario, tetapi berperan layaknya dua manusia nyata yang singgah di dunia nyata bersama cinta yang juga nyata.”
Baru kusadari, sore ini memang tidak berjalan sesuai dengan skenarioku, tetapi seperti skenariomu yang lebih romantis.
Aduh tulisannya lup lup deh, selembut itu masuk ke dalam diri. Kangen bgt trnyata aku sm tulisanmu😄
BalasHapus