Langsung ke konten utama

kamu yang membenci dirimu sendiri

SAMPAI kapan pun kamu tidak akan pernah bisa menerima dirimu sendiri. Tatkala mereka masih terus berkeluh dan mengumpat, sementara kedatanganmu tidak pernah bisa dielak. Aneh memang, kadang-kadang suka berpikir, mengapa mereka dapat dengan mudah mempengaruhimu? Di sisi lain, kamu adalah kamu yang tidak akan bisa disanggah. Daripada disanggah, kamu adalah sosok yang singgah di waktu-waktu tertentu seperti saat ini.

Orang-orang bersungut bahwa kamu adalah sosok paling menyebalkan. Beberapa aktivitas menjadi runyam, bahkan banyak dari mereka yang harus menepi. Kehadiranmu selalu membawa sakit-sakit yang menular. Parahnya, kamu menyebabkan rusaknya bangunan, fatalnya kamu mengakibatkan seseorang merenggang nyawa.

Memikirkan semua itu sepanjang hari, selama itu terus-menerus menangis dalam diam. Ketika lelah menyergap, kamu akan berkeluh, “Mengapa aku diciptakan untuk menyusahkan manusia?”

“Bersiaplah, sebentar lagi kita akan bergegas!”

Suara komando sontak membuat pikiran berlebih menjadi buyar. Serentak, kamu dan teman-temanmu bangkit dari permukaan air laut. Suara berisik mulai terdengar, tetapi perlahan-lahan tubuh-tubuh itu mulai menguap. Selama proses menuju sebuah persinggahan di atas sana, tubuhmu menjelma menjadi kristal-kristal.

“Rautmu tidak pernah enak dipandang jika dalam kondisi seperti ini.”

Kamu menengok sebentar dan menemukan salah satu temanmu yang tidak pernah berbicara denganmu. Untuk pertama kalinya dia berbicara padamu, itu artinya sesuatu yang penting. Daripada membalasnya, kamu berjalan memasuki persinggahan bernama awan.

“Dengar-dengar kamu tidak suka hujan, ya?” Dia kembali bertanya dan mengekorimu. Perlahan-lahan resah mencuat, tetapi masih bisa dikendalikan.

Kamu tetap diam sampai berpijak di tepian seraya menanti ruangan penuh. Jika perlu, tidak usah sampai membludak karena akan makin membuatmu jatuh.

“Kurasa ini akan ramai. Wah, bumi makin subur kalau begini.”

Ah, sosok itu bebal juga ternyata, parahnya dia tidak segan-segan untuk berdiri di sebelahmu. Jangan harap dapat berpindah ke tempat lain, nahasnya kamu benar-benar sudah terkepung. Menengok ke belakang tempat pintu masuk berada. Ribuan kristal berhamburan tertib dan berbaris. Menghela napas dan pasrah, hanya bisa menunggu dan menyabarkan diri. Selanjutnya keheningan terjadi, bersyukur dia tidak lagi membuka suara. Perlahan-lahan suhu ruangan makin hangat diiringi dengan meluasnya volume ruang. Akibatnya tubuh kristalmu mencair.

“Apa kamu—“

“Bisa diam tidak?” potongmu dengan suara dibuat sejudes mungkin berharap dia akan mengerti. Namun, rasanya dia tidak akan mengerti.

“Eh, bisa berbicara ternyata.” Kali ini dia mengejekmu. Jelas sekali tanpa harus melihat rautnya. Baru saja kamu akan menimpal, suara gemuruh menggelegar dari komando memenuhi ruangan. Itu artinya lantai yang dipijak akan terbuka.

Saat ini ruangan sudah berubah total menjadi air yang mulai terjun membasahi bumi. Dalam beberapa detik, kamu akan menyapa manusia. Sebentar lagi, kamu akan mendengar sumpah serapah para manusia. Artinya, kamu akan makin membenci dirimu sendiri.

Ketika lantai mulai terbuka, memejamkan mata dan mengatur napas sebaik-baiknya. Sebelum benar-benar menyentuh bumi, sebelum kamu berpijak di tubuh-tubuh mamusia. Sebelum semua itu tejadi, kamu berharap tidak kembali mendengar caci makian. Namun, harapan tidak selamanya bisa sesuai. Sayangnya, harapan-harapanmu selalu dipupuskan kenyataan.

Dengan kecepatan cahaya kamu terjun membiarkan tubuhmu bergerak turun. Inginnya langsung saja jatuh ke tanah. Akan tetapi, takdir membawamu mendarat di muka daun. Di sebelah daun ada sebuah halte yang dipenuhi manusia-manusia saling berimpitan demi menghindar dari setitik air hujan. Dalam situasi mengintimidasi ini, kamu mengutuk daun yang masih betah membiarkanmu di sana. Melihat wajah-wajah suntuk para manusia itu. Mereka memang tidak berbicara, tetapi kamu tahu betul isi pikiran mereka.

“Jangan ke utara, di sana banjir parah!”

Suasana seketika riuh, para manusia tadi berhamburan dari tempatnya. Tidak mempedulikan ribuan titik hujan mengenai tubuh mereka. Kamu meringis dan ingin hilang saja saat ini. Sampai seseorang berdiri di sampingmu, membiarkan tubuhnya basah seutuhnya. Kamu diam saja, sudah siap untuk mendengar segala amarah dari mulut orang itu. Wajah orang itu menatap lurus ke arah jalan raya di depan. Orang itu tidak ikut pergi bersama yang lainnya, satu-satunya ll yang hertahan hanya dia. Orang itu menghela napas.

“Kadang-kadang aku ingin menjadi hujan.”

Disaksikannya baik-baik wajah orang yang tengah menunduk itu. Di saat kamu membenci dirimu sendiri karena manusia, tetapi ada manusia yang justru ingin menjadi seperti dirimu. Kamu yakin, kamu tidak salah dengar. Hanya saja, ini pertama kali dalam hidupmu. Kamu diam saja, menanti orang itu kembali melanjutkan bicaranya.

“Aku ingin tertawa ketika menjadi hujan. Paling tidak memberi pelajaran pada manusia-manusia tidak tahu diri itu.”

Kali ini wajah orang itu mendongak, titik-titik air sudah terlukis di sana. Ada yang bertengger di ujung rambut cepaknya, ada yang runtuh di ujung bulu mata lentiknya. Jika saja ada bahasa yang dapat mengomunikasikan antara bahasa manusia dengan bahasa hujan, banyak sekali pertanyaan yang ingin kamu layangkan. Namun, dari banyaknya pertanyaan, kamu sontak membuka pertanyaan, “Apa enaknya menjadi hujan sepertiku? Bukankah aku hanya membawa bencana?”

Orang itu terkekeh, hal yang membuatmu terlonjak adalah ketika dia menatapmu. Ajaibnya, kamu dan dia saling bertatap, memberi tatapan sendu satu sama lain. Dia menggeleng dan berkata, “Bagaimana bisa kamu menyalahkan dirimu sendiri atas kesalahan yang jelas-jelas milik para manusia?”

“Kemudian untuk apa aku diciptakan kalau hanya membuat para manusia terbebani? Kamu tidak pernah tahu rasanya harus membiasakan diri mendengar umpatan manusia ketika aku datang. Kamu tidak tahu bagaimana rasanya harus menenggelamkan para manusia ketika aku bersatu bersama yang lainnya menjadi banjir. Kamu tidak pernah tahu bagaimana rasa bersalahnya ketika aku memporak-porandakan tempat hidup dan singgah para manusia. Kamu tidak mengerti.”

Kamu berteriak, mencoba memberi pengertian kepada orang yang kamu klaim tidak pengertian itu. Sebagai setitik air yamg malang, kamu hanya bisa berteriak berharap dapat memukul gendang telinga orang itu.

“Ah, ya, pantas saja.” Orang itu mengangguk seakan-akan menjadi manusia si paling mengerti hujan. Yang benar saja, kamu ingin mengutuk orang satu itu saking songkaknya. “Apakah Tuhan memintamu merusak alam ciptaan-Nya?”

Kamu diam lagi. Menutup rapat-rapat mulut yang tadi berkoar. Dia masih dalam posisinya, menatapmu, bahkan matanya menyiratkan makna yang kamu tidak bisa memahaminya.

“Kamu tidak pernah tahu betapa berharganya dirimu bagi manusia, ya? Bahkan bagi para tumbuhan yang saat ini kamu pijaki. Lihat kucing itu, dia membutuhkanmu.” Orang itu membawa penglihatanmu pada kucing yang baru saja lewat di hadapan kalian. “Kurasa kamu tidak pernah tahu bahwa bencana yang terjadi itu karena tumpukan sampah-sampah yang menghalang kalian—para bujan—untuk kembali perairan?⁰

Perlahan-lahan orang itu memotong tangkai daun tempatmu berpijak. Orang itu berjongkok dan kembali berkata, “Hujan itu anugrah, berhentilah membenci dirimu sendiri. Berhentilah mendengar tutur tidak sopan dari para manusia itu. Cukup dengarkan aku kali ini, sekarang pergilah sebelum kembali nerproses dan jatuh lagi ke dunia ini. Esok, kita akan bertemu lagi dan kamu akan menerima dirimu sendiri.”

Dia menuntunmu turun hingga menyentuh tanah. Sebelum benar-benar menyatu dengan tanah, kamu telah menjadi dirimu yang baru. Dia adalah manusia yanh membuatmu sadar bahwa kamu telah melupakan dirimu sendiri sebagai hujan yang baik. Sejatinya, yang tidak baik hanyalah hujan yanh selalu dirundung manusian#ya sendiri.


Komentar