Langsung ke konten utama

rencana kabur dari rumah

SEBENARNYA aku mau-mau saja sih diajak kabur dari rumah. Kusimak baik-baik wajah serius adik di depanku ini. Dekil karena main layangan terus dan muram karena dimarahi habis-habisan sama bapak. Awalnya kesal, lama-lama kasihan juga. Aku mendengkus, tetapi gara-gara dia juga akhirnya aku kena damprat bapak.

“Nanti lu ambil tuh pisang goreng sama bakwan di meja yang tadi dibeli sama bapak, buat pasokan aja sehari dua hari, Mbak.” Kali ini anak laki itu mulai berbisik dengan tajam seperti sorot matanya.

Kuputar bola mata. “Gorengan mana kenyang sih? Nyangkut di tenggorokan doang.”

Dia kembali terdiam, disapunya seisi kamar yang gelap, hanya ada cahaya lampu dari luar jendela. Kira-kira kami sudah terdiam di kamar sekitar setengah jam. Tidak berani untuk keluar kamar karena pasti akan disambut dengan pelototan bapak yang siap-siap menghunus kami. Aku tahu isi pikiran bocah tengik itu, menyelami sekiranya barang apa saja yang mesti dibawa untuk rencana kabur nanti.

“Lagian ngapain sih kabur? ‘Kan ini lu juga yang salah, udah tau magrib bukannya balik malah main mulu,” omelku masih dengan mode bisik-bisik.

Kalau dipikir-pikir kejadian tadi petang berasa bodoh sendiri. Tahu begini, tidak akan capek-capek kucari adikku ini karena akhirnya aku tergoda diajak main sama teman yang tiba-tiba melintas di perjalanan mencari adikku. Selanjutnya aku terjerembab dalam dunia permainan dan lups untuk melanjutkan pencarian. Begitu azan berkumandang, aku tersadar bahwa peristiwa besar akan terjadi. Cepat-cepat kubalik pulang dan berdiri depan rumah. Benar saja, peristiwa itu sudah menimpa adikku, kini tinggal menunggu giliranku.

Adikku mendelik dan melayangkan tatapan sinis. “Lah lu nyalahin gue nih? Enggak nyadar lu sendiri malah main karet sama Wati!”

Baiklah, tidak ada gunanya saling menyalahkan. Bagaimanapun aku tidak bisa membiarkan adikku kabur seorang diri. Bagaimana kalau terjadi sesuatu yang berbahaya di luar sana menimpa sdik keras kepala ini? Percayalah, tidak ada gunanya menahan anak bebal ini untuk tidak kabur. Dia sama seperti bapak, nekat!

Tidak lama dia beranjak dan turun dari kasur. Dihidupkannya lampu dan meraih tas ransel bergambar Spiderman—tokoh film kesayangannya. Aku sendiri diam saja, memperhatikan aksinya itu. Dibukanya lemari plastik dengan gambar Spiderman—tentu saja—dan mengambil beberapa pakaian lalu dimasukkan ke dalam tas.

Namun, gerakannya itu terhenti, tubuh kurus tengil itu berbalik dan menatapku. Dia melengos dan berujar, “Lu ngapain diem aja? Kalo mau ikut kabur siapin baju-baju lu!”

Yak, selain keras kepala dan tengil, dia juga kurang ajar. Lama-lama aku memiliki keinginan kuat untuk mendamprat dia juga. Akan tetapi, kuurungkan karena tidak mungkin aku mendamprat anak yang habis kena damprat bapaknya. Cepat-cepat kuikuti tingkah anak itu, turun dari kasur, membuka lemari plastik bergambar doraemon yang terdapat di samping lemari adikku, ah, iya, cepat-cepat kusambar tas ransel pink bergambar barbie. Sejenak aku termenung beberapa detik, memperhatikan tumpukan bajuku.

Adikku berdecak sebal, “Bawa aja dua baju sama celana!”

Entah mengapa adikku terlihat gapah dan lihai dalam urusan kabur-mengabur ini. Aku curiga dia sering kabur dari kelar dan memakan pisang goreng Buk Jumi di kantin. Tahu betul aku kelakuan anak itu, setiap istirahat dan aku pergi ke kantin, Buk Jumi akan menyodorkan tagihan gorengan yang dibeli adikku. Ah, setahun lagi aku bakal lulus SD dan tidak akan dihadapkan dengan tagihan dadakan itu.

“Ini serius lu mau kabur?” tanyaku mencoba meyakinkan yang kutahu itu hal sia-sia.

Anak yang lahir enam belas bulan lebih muda dari aku itu tidak menggubris. Dia tengah menyelimuti tubuh cekingnya dengan jaket corak tentara. “Ya udah kalo lu nggak mau ikut, gua sendirian aja! Bilang sama bapak, gua capek kena damprat mulu tiap hari!”

Itu anak kecil, tapi sok gede! Ah, otak dia memang masih terlalu kecil untuk berpikir baik. Namun, mau tidak mau kuambil beberspa baju kesayangan dan kusumpal ke dalam tas. Fyuh, ini akan menjadi perjalaman panjang.


Komentar