Langsung ke konten utama

Skripsialan & Perbandingan Anak Tetangga

BERJALAN gontai setelah turun dari mikrolet ugal-ugalan. Selama perjalanan tadi, tak henti-hentinya mengumpat dalam hati. Sudahlah hari ini penuh cobaan, harapan awal dapat menyelesaikan bimbingan. Namun, dosen yang mulia sama sekali tak menampakkan wajahnya.

“Pak, saya Eka, apa ada Bapak Sandi? Saya mau bimbingan, sudah membuat janji,” kata Eka tadi siang ketika memasuki sebuah ruangan berisi seorang pria paruh baya sibuk dengan laporan di meja.

Pria itu mendongak sebentar memperhatikan Eka yang sedikit membungkuk di ambang pintu. Sebagai sikap penghormatan, taklupa mengembangkan senyum. Sebetulnya, perempuan itu sudah celingak-celinguk ke seisi ruangan yang takbesar ini. Sampai pandangannya jatuh di meja sudut kanan berhadapan dengan meja bapak itu. Eka melengos, meja milik dosen pembimbingnya kosong, takada kehidupan.

Bapak itu menggeleng seraya kembali menatap laporannya. “Tidak ada, beliau sudah pergi beberapa menit lalu.”

Eka menarik napas dalam-dalam dan membuangnya pelan-pelan. Diliriknya jam tangan, semestinya pukul sebelas sudah menjadi titik temu antara dia dan dosen. Namun, dosennya itu selalu membuat janji yang selalu diundur tanpa mengabari lebih dulu. Harusnya Eka terbiasa dengan itu, tetapi sampai saat ini pun rasa dongkol yang mangkir di hati akan singgah.

Perempuan berambut pendek itu mengangguk dan mundur sampai keluar pintu. Seperti yang sudah-sudah, apabila dosen tak ditemukan batang hidungnya, menunggu—meskipun tanpa kepastian—adalah solusi. Dia duduk di kursi kayu yang mungkin memang disediakan untuk mahasiswa sepertinya menunggu. Seakan-akan tahu bahwa kursi itu tak akan pernah kosong kecuali tanggal merah.

Dikeluarkan gawai dari kantong jaket kebesaran yang membungkus tubuh mungilnya. Angin sepoi-sepoi menyapa sebentar, tetapi itu sedikit membuat siklus pernapasan jadi lebih baik. Bukankah, mengolah kesabaran dibutuhkan pengaturan napas yang baik? Eka yakin sekali, hari ini dia akan membutuhkan pasokan sabar sebanyak mungkin. Setidaknya itu hikmah dari pengalaman mengejar dosen, sedia payung sebelum hujan alias sedia kesabaran sebelum habis.

Sampai suara pintu tertutup dan terkunci membuat Eka bangkit dari duduknya. Bapak di dalam ruangan tadi tampak segera pergi tanpa mengacuhkan kehadiran perempuan yang berusaha optimis di sekitarnya itu. Sebelum si bapak benar-benar raib dari pandangan, dihampiri sang bapak dan buru-buru bertanya, “Pak, maaf, kok dikunci? Bukannya nanti masih ada Bapak Sandi?”

Bapak itu berdecak dan menggeleng-geleng. “Beliau mendadak ke luar kota barusan. Kemungkinan lusa baru kembali.”

Tanpa memberikan motivasi dan imunitas semangat, bapak itu pergi dari hadapan Eka seraya membawa pergi harapannya yang sudah pupus. Dipejamkan mata, kembali mengolah napas, dan pulang tanpa membawa keberhasilan yang diharapkan.

Apakah dosen itu tahu betapa susah dan lelahnya menyusun laporan untuk diajukan hari ini? Melakukan riset ke sana kemari, mencari referensi buku terkait, sampai-sampai menghabiskan uang jajanmya. Belum lagi lembar-lembar revisi mendekam tak berdaya di sudut kamarnya. Eka hanya ingin bimbingan lancar tanpa hambatan dan lulus akhir tahun ini. Artinya masih ada tiga bulan lagi.

Dibukanya pintu rumah, baru ingin mengucap salam, suara beo dari wanita paruh baya di dalam sudah menyambutnya.

“Loh, kok udah pulang? Memangnya bimbingannya udah kelar? Tadi ke kampus apa main kamu?” Wanita yang menjabat sebagai ibu dari Eka kini berdiri di depannya lengkap dengan celemek di tubuh.

 LBaru ingin menjawab, sang ibu sudah kembali bersuara. “Kalo kayak begitu terus, kapan lulusnya? Tuh, si Ajeng anaknya Bu Sari udah mau S2. Anaknya Bu Rita si Dwi udah kerja di kantoran. Loh, kamu skripsi aja belum kelar-kelar. Mau ditaro di mana muka ibumu ini?”

Ya, kesabaran takhanya digunakan dalam menghadapi dosen, bahkan dalam menghadapi ibu yang lebih suka menanya tanpa mendukung. Harusnya—lagi-lagi—ini sudah menjadi hal yang biasa untuk dirasakan. Namun, menerima serangan mental dari sang dosen pembimbing dan serangan verbal dari sang ibu pembimbing bukanlah hal mudah. Itu seperti sebuah intimidasi terselubung, sementara takada solusi yang diterima. Jika seperti ini terus, apa Eka akan kuat?

Baru saja Eka mau pergi ke kamar tanpa menjawab pertanyaan ibunya. Suara ketukan pintu terdengar. Seorang wanita paruh baya masuk dengan wajah berseri. Itu Bu Rita, yang tadi namanya disebutkan ibu Eka. Ah, panjang umur sekali tetangganya satu itu. Cepat-cepat dihampirinya sang ibu.

“Maaf mengganggu nih. Saya cuma mau kasih undangan, Dwi sebentar lagi mau menikah dengan teman kantornya,” seru Bu Rita sambil cengar-cengir, kali ini dia beralih menatap Eka, “sebagai teman satu sekolahnya pas SMA, kamu jadi panitia, ya?

Eka dan ibu bertatapan. Eka tahu betul tatapan menusuk sang ibu. Sebelum benar-benar ibunya mengeluarkan sepatah kata, Eka berbalik dan bergerak menuju kamarnya. Hari ini dia sudah siap untuk dibanding-bandingkan dengan anak tetangga, terutama Dwi.

Biodata Narasi:

Yuvina Zaharany, perempuan yang terdistraksi di usia 23 tahun. Mengecap asam garam kehidupan di Bandar Lampung. Dipersilakan hidup mulai 14 April 1999. Awalnya dia tidak percaya diri akan potensi menulisnya, tetapi dia belajar untuk meyakini dirinya sendiri de

Komentar