Langsung ke konten utama

KECIMPRING

KECIMPRING, bagi kebanyakan orang mungkin ia hanya keripik singkong biasa. Namun, itu tidak akan pernah menjadi biasa-biasa saja. Setidaknya hal itu terjadi ketika aku dan Ibuk tengah berbaring bersama di atas ranjang. Sementara layar teve menampilkan seorang bintang memerankan diri sebagai penjual kecimpring.

Tidak ada yang lucu dari kecimpring. Tidak ada yang lucu apalagi remeh dari penjual kecimpring. Aku dan Ibuk sama-sama tahu, itu adalah pekerjaan yang mulia. Bahkan amat mulia bagiku karenanya aku menjadi tertawa bersama Ibuk. Pemeran penjual kecimpring yang membuatku memiliki kenangan bersama Ibuk.

Aku sama Ibuk, meski memiliki perbedaan karakter, tetapi aku sama Ibuk sama-sama aneh. Mungkin otak aku dan Ibuk tidak sama, tetapi aku yakin ada satu jaringan yang persis terikat sampai bentukannya sama. Buktinya, aku dan Ibuk tiba-tiba saja menertawakan kecimpring.

Aku benar-benar mau minta maaf sama kecimpring. Aku dan Ibuk sama sekali tidak ada berniat menyudutkan, kami hanya tertawa di tengah-tengah badai yang memporak-porandakan rumah kami. Aku ingin mengatakan terima kasih, setidaknya tidak protes sama sekali ketika dijadikan bahan lelucon.

Aku lebih menyukai kecimpring dibandingkan kenangan itu sendiri. Kalau kamu tahu, bahwa aku punya ingatan yang buruk dalam menyimpan sebuah kenangan. Kapasitas memori ingatan yang kupunya benar-benad sempit. Bahkan aku hanya ingat sebagian kecilnya saja. Dan bahkan aku hanya ingat kecimpring, peran utama di cerita tertawaku bersama Ibuk.

Namun, malam ini akan kupaksakan ingatanku untuk pergi ke masa lalu. Setidaknya mengingat apa yang kubicarakan sampai membuat Ibuk tertawa. Setidaknya aku dapat mengingat jelas betapa menggemaskannya ledakan tawa Ibuk. Setidaknya aku merasa bangga dapat membuat Ibuk tertawa karena aku. Ya, setidaknya aku ada di samping Ibuk kala itu sampai di kala Ibuk harus meninggal.

Ah, ini yang kubenci dari kenangan bersama Ibuk. Ketika aku hanya ingin masa bahagianya, tetapi tetap saja bahwa ingatan akan menarikku ke ujung kenangan, tempat kematian Ibuk. Aku hanya ingin mengingat di kala aku dan Ibuk menertawakan kecimpring. Hanya itu saja.

Aku pulang sekolah waktu itu. Seperti biasa, Ibuk berbaring di atas ranjangnya. Ibuk tidak pernah bisa bangun lagi dari ranjang itu. Sudah lama sekali, aku tidak mau memgingatnya, serius. Aku tidak mau berganti pakaian, tetapi langsung rebahan di samping Ibuk. Ibuk hanya diam melihatku. Aku paham tatapan itu, aku pun ikut diam saja.

Sampai layar teve berisik suara teriakan penjual kecimpring. Aku lupa, bagaimana akhirnya aku dan Ibuk tertawa sampai terpingkal-pingkal. Aku dan Ibuk hanya menertawakan diksinya yang lucu. Aku tiba-tiba ingat, bahwa Ibuk pernah bercanda untuk membawakannya kecimpring. Ketika aku melempar diksi kecimpring dengan intonasi yang jenaka. Lalu, kami tertawa.

Sudah. Selesai. Benar-benar selesai di situ ingatanku. Namun, aku selalu mengingat sebagian kecil ingatan itu tentang akhirnya aku yang aneh dan Ibuk yang aneh menertawakan kecimpring yang aneh. Buk, Buk, kapan kita menjadi orang aneh lagi? Buk, Buk, kapan kita menertawakan kecimpring yang aneh lagi?

Buk, kita tidak pernah makan kecimpring bersama. Aneh, ya, Buk, kok kita bisa ya tertawa atas sesuatu yang sama sekali belum kita sentuh bersama-sama? Buk, nanti kita makan kecimpring sambil benar-benar tertawa, tanpa badai yang menghancurkan hidup kita lagi.

Buk, semoga jalanmu damai dan mulus. Aku hanya berusaha berdoa, Buk. Buk, Buk, aku capek kangen.


Komentar