Langsung ke konten utama

tentang cinta yang aneh

NAMAKU CINTA ketika kita bersama, bahkan ketika tidak bersama pun, nama cinta itu makin semerbak menguar. Sebetulnya, kalau dipikirkan baik-baik, cinta itu bukan tentang kebersamaan yang akrab. Ketika dua manusia mengarungi hari-hari dengan kisah romantis. Di kala pagi dihiasi kicauan sayang satu sama lain. Sementara malam menjadi bintang-bintang dari kasih yang indah untuk dipandang. Tidak seperti itu juga, barang kali cinta itu tentang apa-apa yang tidak melulu membersamai. Bisa jadi cinta itu tentang rindu yang kemelut, tentang temu yang berkalut. Namun, apa pun itu, bahwa cinta bukan perihal bersama atau tidak bersama, cinta itu perihal ketidakadaan yang ada dan nyata.

Biar kuceritakan tentang cinta tanpa temu yang terjadi. Ketika klausa menjadi perantara, ketika jarak menjadi sekat, tetapi bisa-bisanya cinta itu terajut pelan-pelan. Dalam dunia yang serbamudah ini, ketika bicara dapat dihantarkan melalui sinyal. Namun, aku cukup beri perhatian, meski berujung tanda tanya besar. Setidaknya ads beberapa pertanyaan tentang cinta di dunia digital ini. Mengapa cinta bisa melipir, sementara tidak ada ruang tepat untuk aku dan kamu hadir? Bagaimana cinta mampu menelusuri jejaring tidak kasat, sementara tidak ada jalan yang tepay untuk kita sekadar bertatap.

Menurutmu, bagaimana cinta dapat terjadi dengan jenis seperti itu?

Ah, masf, aku lupa. Kamu tidak akan bisa menjawabnya karena kamu tidak merasainya—cinta itu. Sebab, di dalam kisah cinta yang aneh ini, hanya aku yang mencintai. Namun, itu bukan masalah yang harus kusedihkan saat ini. Ya, setidaknya aku sudah berdamai untuk kali ini. Walaupun dalam waktu-waktu tertentu, akan menemukan diri tersayat oleh sesuatu yang semu. Tentang apa-apa yang terlihat kemudian diramu dengan skenario terburuk dan terjadilah peristiwa mematahkan hati sendiri. Tenanglah, kamu tidak perlu risau untuk yang satu itu, itu hanya kebodohan yang sampai saat ini berusaha kuubah, berusaha kuminimalisir. Katakanlah itu sebagai proses yang menyenangkan—ya, kepatahan akan lebih baik jika dijalani dengan senang, ‘kan?

Apa tadi? Cinta, oh iya, kita sedang membicarakan bahwa cinta itu bukan perihal ketika kita bersama, bahkan di saat kita bersama pun cinta kadang-kadang akan lebih liar. Setuju tidak setuju, dari apa yang kualami saat ini, bahwa cinta itu tentang rasa yang tidak butuh kehadiran. Buktinya, aku dapat mencintaimu tanpa kehadiranmu, ‘kan? Kecuali, kalau kita mau memaknai kehadiran secara luas lagi. Hadir dalam arti sebenarnya dikatakan aku dan kamu sama-sama hadir dalam sebuah ruangan. Aku dan kamu sama-sama terasa nyata untuk dipandang, tetapi mungkin saja perasaan kita yang tidak bisa dinyatakan untuk satu. Namun, dalam arti yang lebih luas, hadir bisa saja tentang interaksi antara aku dan kamu, ketika kata-kata menjadikan kita seperti nyata untuk dirasakan, tetapi tetap saja cinta kita tidak bisa dinyatakan untuk menjadi satu.

Setelah ditelaah dan ditelisik, bentuk hadir yang berbeda-beda itu, ternyata tetap memiliki satu kesamaan—hanya aku yang mencintai. Mungkin, kita nyata di pijakan masing-masing, tetapi kita semu perasaan masing-masing. Cinta itu benar-benar aneh, ya? Atau bisa jadi aku yang aneh, ya? Ah, iya, aku yang aneh! Ketika cinta seharusnya membutuhkan wujud nyata untuk dirasakan, tetapi aku dapat mencintaimu tanpa wujud nyatamu. Eum, entah masuk di akal atau tidak, tetapi kalau boleh aku membela diri. Cinta itu soal rasa! Terserahlah kamu menuduhku si terlalu terbawa perasaan, nyatanya aku telah menutup hati lama sekali, benar-benar lama sampai-sampai aku menolak bicara soal cinta—aku serius. Jadi, ya, aku mencintaimu.

Sebut saja aku ini orang aneh yang mencintaimu dengan aneh. Namun, dari mencintaimu dengan aneh itu aku dapat tahu bahwa cinta itu tidak melulu butuh temu untuk dihadirkan. Kehadiranmu dalam duniaku yang tanpa temu itu telah berhasil merubuhkan benteng bertulisan ‘Pemilik Hati Ini Sedang Tidak Ingin Mencintai Siapa Pun!’. Ah, mungkin kamu hadir hanya mengetuk dan mengenalkan diri, tetapi aku sendiri yang meruntuhkan benteng itu demi menyapa dan berkenalan denganmu. Ya, lagi-lagi itu kebodohanku, tidak apa-apa. Paling tidak, aku kembali mengarungi hidup yang seru. Dimulai ketika gundah gulana untuk mencintaimu atau tidak, kemudian mulai memutuskan dengan mantap untuk mencintamu sekaligus menerima risiko dan konsekuensinya, kemdian meramu harapan dan ekspektasi seraya mewanti-wanti diri, kemudian memasang tanggal untuk memberanikan diri bahwa aku mencintaimu, kemudian menikmati patah hati dengan senang hati sampai saat ini, dan dari situ aku belajar hati-hati dengan hati.

Jadi, namaku cinta ketika kita bersama, tidak bersama. Kalau kamu, siapa namamu?


Komentar