Langsung ke konten utama

pelajaran dari cinta

SIAPA yang tidak mau merasakan rasanya dicintai oleh seseorang yang kita cintai? Akan ada kebahagiaan yang membuncah ketika ekspektasi dan harapan berjalan lurus dalam tujuan yang sama. Menikmati perjalanan yang panjang, dari datar, mulus, berliku, menanjak, menurun, semuanya dilalui dengan jemari yang saling bdrkaitan. Sebab, ada komitmen yang menahan untuk tetap bersama. Komitmen yang didasari cinta dan sayang yang tulus. Hingga akhirnya, keduanya bersatu dalam sebuah ikatan yang menandakan tujuan itu telah tercapai dan mengembara ke bahtera yang lebih berisiko lagi.

Setidaknya itu impian semua orang dalam mencintai. Merancang masa depan bersama orang terkasih, berikrar janji untuk tetap bersama-sama, bahkan sampai di kehidupan selanjutnya. Itu impian semua orang, itu impian aku akhir-akhir ini. Setelah lama menutup mata dalam roman percintaan. Setelah bertahun-tahun memandang remeh sosok cinta. Dahulunya bergidik ngerti apabila mendengar kata cinta, mengingat cinta pernah membuat luka di dalam hati. Membuat yang utuh jadi hancur berkeping-keping, sehingga butuh waktu lama untuk mengutuhkannya kembali.

Namun, setelah kupikir-pikir, apa iya hidupku akan terus melulu tanpa cinta? Bukankah cinta itu hak siapa pun? Bukankah siapa pun itu berhak untuk mencinta dan dicintai? Namun, dalam hak-hak tersebut tidak menuntut paksaan. Artinya, ketika aku mencintai, aku tidak memaksa dkriku untuk mencintai. Pun, ketika aku dicintai, aku tidak memaksa untuk dicintai. Bahkan, aku tidak bisa memaksa dia untuk mencintaiku, meskipun aku mencintainya. Sebab, aku tahu dia tidak mencintaiku dan itu hak dia. Sementara, aku mengenyam hakku dalam mencintainya untuk segera dikikis.

Ya, aku kembali dikecewakan oleh cinta. Tidak ada yang salah di sini. Aku ssndiri yang memutuskan untuk mulai mencintai, dengan memikirkan segala risiko dan konsekuensinya bahkan mempersiapkan hal tersebut. Namun, patah hati tetaplah patah hati yang rasa payahnya tidak bisa dielak. Kecewa sudah pasti, tetapi memangnya aku bisa apa? Kembali lagi, bahwa keputusan telah kubuat dan kuterima.

Namun, apakah aku harus kembali membenci cinta? Sebenarnya itu tindakan yang kekanak-kanakkan. Cinta hanya menyuguhkan, sementara kita mau menyantap atau tidak itu keputusan kita. Cinta memang indah untuk dirasakan, tetapi kadang-kadang kita mudah terbuai sampai lupa kalau cinta juga bisa berakhir busuk. Siklus cinta akan selalu seperti itu, pelajaran bagiku—untukku bahwa harus lebih memahami cinta luar dan dalam. Cinta bukan hanya perihal suka-suka, melainkan duka-duka yang mesti dihadapi juga. Apa oun itu yang didapatkan, ya, kita hanya bisa menerima.

Cinta memang butuh untuk diperjuangkan, tetapi sekadarnya saja, jangan berlebihan. Memang, apa enaknya berjuang seorang diri? Itu melelahkan dan menguras energi. Mencintai itu jangan berlebihan, nanti kita tersesat terlalu jauh dan terjebak, akhirnya tidak tahu-menahu soal jalan pulang. Lantas, apakah dia yang kita cintai dan tidak mencintai kita itu dapat membantu kembali pulang? Mungkin bisa, tetapi dia hanya bisa mengantar kita kembali, dia tidak ikut bersama kita. Artinya kita mesti menerima bahwa kita dan dia tidak bisa bersama. Perjuangan kita sudah cukup sampai di situ.

Selama bertarung dalam percintaan, aku banyak belajar. Belajar untuk tidak menaruh harapan, belajar mengatur ekspektasi, belajar jujur, belajar untuk menerima hal-hal yang tidak sesuai dengan apa yang kuinginkan, belajar untuk tidak menyakiti diri sendiri, belajar untukmengatur pola pikir, belajar untuk menikmati patah hati, belajar untuk berdamai. Banyak sekali memang pelajarannya, tetapi hidup memang selalu tentang pelajaran yang harus dengan jeli kita pelajari, ‘kan?

Jadi, merdekalah dalam mencintai. Merdeka untuk jujur dengan perasaanmu. Merdeka untuk tidak memakaa dia mencintai kita. Mereka untuk membiarkan diri mengaku kalau tengah patah hati. Merdeka untuk kembali pulih dari patah hati. Jadi, semangat!


Komentar