Langsung ke konten utama

like sad ending story

AKHIR-AKHIR ini aku suka menonton film dengan akhir menyedihkan. Dahulunya, sama sekali tidak kusukai akhir alur cerita yang membuang air mataku. Bahkan, sampai-sampai rela membeli beberapa paket tisu sebagai pelipur tangis—meski tidak mempan juga. Parahnya, kubeli beberapa kaset dengan syarat cerita mesti memaksakan air mata keluar. Anehnya, kalau tidak ada uang untuk membeli kaset terbaru dengan indikasi tadi—film akhir menyedihkan—akan kuputar ulang film-film yang kulabeli paling menyedihkan.

Percayalah, dahulunya aku bukan penikmat film, apalagi penggila alur cerita sedih. Sama sekali kubenci film drama romantis, tetapi kini menobatkan diri sebagai salah satu pencinta film-film yang dahulunya tidak kusukai. Tidak segan-segan, aku melempar tatapan sinis dan ... jijik—bukan dalam konotasi buruk, melainkan itu reaksi spontan. Namun, kurasa aku meyakini bahwa roda tidak melulu di atas, nyatanya saat ini aku tengah berada di posisi sebaliknya. Posisi yang dahulunya kupandsng aneh, kali ini aku menjadi si aneh itu sendiri.

Aku tahu pasti kapan itu terjadi, hanya saja aku butuh keterbiasaan untuk mengakuinya. Tadinya aku malu, tetapi makin bodoh amat, makin tidak peduli untuk mengungkapnya. Bahwa aku telah jatuh cinta, kemudian patah hati, pada akhirnya aku menjadi perempuan yang sedang patah hati. Bisa dikatakan menonton film sedih menjadi pelampiasan paling ampuh. Dengan memilah-milah alur cerita yang mirip dengan ceritaku, memastikan pemeran utamanya memiliki nasib yang sama denganku. Setidaknya aku mendapati diri tidak merasa patah sendirian, ada tokoh pemeran-pemeran yang juga merasainya.

Seperti tokoh bernama Vana, seorang perempuan yang mendapati pernyataan bahwa pujaan hatinya, Rian, tidak memiliki perasaan yang sama dengannya. Nada benar-benar memiliki keberanian untuk membeberkan isi hatinya langsung kepada sosok yang berhasil membuat hatinya jadi lebih produktif.

“Kamu suka menonton film apa?” tanya Vana esok harinya setelah seharian kemarin dibuat menangis karena patah hati. Kali ini, dengan mata sembab di balik kacamata hitam, Nada kembali menemui Rian di kantin kampus.

Rian tersentak dan dia sedikit salah tingkah, tetapi pria itu kembali menormalkan perangainya. Aku tahu betul, kalau dia berusaha untuk melenyapkan suasana canggung. Dia sejdiri yang mengatakan pada Vana untuk tetap berinteraksi seperti biasanya dengan Vana. “Oh, kamu sudah datang ternyata. Eum, film, ya?”

Kemudian hening, aku tertawa hambar. Itulah risiko ketika keduanya sama-sama tahu bahwa ada rasa yang tidak bisa disatukan di antara mereka, tetapi dipaksa untuk baik-baik saja demi membangun hubungan yang baik seperti sebelum-sebelumnya, bukan se#w,p PT PLNperti yang di bayangan Vana. Sejujurnya, situasi seperti tidak identik dengan mereka, biasanya Vana akan banyak bertanya dan Rian akan aktif menjawab semua pertanyaan Vana. Namun, kali ini dua-duanya sama-sama sibuk dengan pikiran yang membawa mereka pada hari kemarin.

“Ah, aku tidak ada ide untuk itu,” jawab Rian setelah membisrkan diam menguasais waktu beberapa detik.

Vana mengangguk paham, aku tahu peremouan malang itu hanya basa-basi. Dia pun tidak tahu-menahu tentang film terkini, film terdahulu pun perempuan itu sama sekali tidak tahu. Dia tidak pernah punya ketertarikan dengan dunia perfilman, tetapi kali ini dia hanya ingin menonton film dengan akhir yang menyedihkan. Sebab itulah, ini menjadi film favoritku karena memiliki kisah yang sama persis denganku.

Bayangkan saja, ketika Vana harus melalui hari-hari seperti biasanya yang baik-baik saja dan menyengkan bersama Rian. Namun, besoknya dia harus berusaha keras untuk menjadi baik-baik dan menyenangkan di sekitar Rian, sementara dia tahu bahwa tidak sda hsrapan baginya untuk memiliki Rian—untuk mendapatkan cinta yang berbalas itu sudah pupus. Vana sudah tahu akan zeperti apa akhir ceritanya, tetapi Vana tidak ingin menghilangkan Rian dari hidupnya. Vana sadar betul, mungkin dirinya akan kembali jatuh dan jatuh lagi. Namun, hatinya sama sekali tidak bisa diajak bekerja sama untuk menghilangkan Rian dari hati.

“Basa basi itu,” kata Vana seraya terkekeh. Bahkan dia tidak seaktif biasanya. Kalau dipikir-pikir tidak baik rasanya menonton film sedih bersama dengan Rian. Untuk apa? Agar Rian tahu betapa patahnya dia saat ini? Rasanya ingin kutoyor saja kepala bulat milik Vana. Jangan seperti anak kecil! Sudah bagus dia tidak menjauh dan ilfeel denganmu! Lebih baik pulang dan saksikan film sedih seorang diri, menangis menghabiskan pasokan tisu, itu lebih baik daripada harus menahan tangis di hadapan Rian. Percayalah, itu tidak bagi hatimu, Vana!

Kadang-kadang aku pula merasa harus memarahi tokoh pemeran satu itu, sampai-sampai membuatku naik pitam. Namun, untungnya alur cerita ini berpihak padaku. Membayangkan Vana harus menjadi lemah di hadapan Rian. Ayolah, Van, baiklah aku memahami bahwa kamu merasa patah hati, tidak ada salajnya untuk sedikit berusaha, setidaknya kamu sudah berusaha kuat untuk memberanikan diri menyatakan suka kepada Rian. Aku tahu betapa teman-temanmu peduli dengan menjulukimu si bodoh karena masih bertahan pada rasa yang sudah tidak berarti. Namun, aku tidak akan menjadi teman-temanmu—ingat, bahwa aku adalah perempuan dengan kisah yang sama denganmu, Vana. Aku tahu kamu tidak sebodoh itu, bahkan kamu sadar betul kalau sedikit harapan untuk hidup bersama dengan Rian. Aku pun tahu betul, kamu hanya meladeni mau hatimu yang kadang-kadang suka menyakiti dirimu sendiri. Kamu selalu mengatakan tidak apa-apa ketika hatimu remuk dibuat asumsi pikiran yang semu. Untuk saat ini, kali ini saja, tidak apa-apa untuk berjuang—kembali.

Ah, tunggu sebentar, tiba-tiba aku ingin menangis lagi. Rasa sesak mulai mengumpul karena ingatan kembali memukulku bahwa aku tidak bisa memaksa dia untuk memiliki perasaan yang sama denganku. Kadang-kadang aku harus bersyukur karena setidaknya dia masih mau menjadi teman terbaikku, setidaknya aku masih bisa melihatnya, ketidaknya aku masih punya kesempatan untuk membuatnya bahagia, meskipun aku tidak bisa membuatnya jatuh cinta kepadaku.

“Vana! Kamu menangis lagi? Sudah kubilang jangan suks menonton film bodoh itu lagi!”

Sialan!

Crush on u like sad ending story. I know the ending of a story and I know I'll crying. But, I love the storyline running until the end. As my feel for you. I know I'll crying 'cause u don't. But, I love the process how I like u.

Komentar