Langsung ke konten utama

aku tidak bisa

AKU JUGA maunya berhenti, kalau bisa pergi jauh-jauh saja darimu. Pun, aku maunya mengempaskan saja dirimu ke arah yang raib dari pandanganku. Namun, aku ini siapa sampai-sampai berani bertindak layaknya punya kuasa atasmu? Jika kupegang kendali kuasa tersebut, aku tidak mungkin bisa menghunusmu dengan api kemarahanku. Nyatanya, ketika aku yang bukan siapa-siapamu, ketika aku yang tidak akan pernah memiliki kuasa atasmu, aku tidak punya nyali untuk mengusirmu. Bukan, maksudku, aku yang tidak mau kaujauh dariku. Ternyata aku sendiri yang tidak mau melakukan semua itu. Sederhananya, keberadaanmu di sekitarku itu sudah lebih dari cukup.

Namun, aku menghadapi sebuah keputusan yang membutuhkan pertahanan diri lebih besar. Sering kali aku menjadi perempuan yang lara seorang diri. Dalam lara itu, aku membentuk pikiran-pikiran yang entah terjadi atau tidak sama sekali. Akan tetapi, aneh memang, rangkaian otak ini memilih untuk mengumpulkan asumsi buruk. Ia selalu menggertak pada hati yang ujung-ujung menjadi imbasnya. Selalu menghardik, kemudian membidik dengan senjatanya sendiri. Aneh, tetapi itulah yang terjadi. Ketika otak dan hati dalam satu tubuh manusia saling beradu—seperti diri menyakiti diri.

“Jangan lemah! Kendalikan dirimu, kalau tiba-tiba nanti kamu patah, aku juga repot nantinya!” gertak otak dari atas tempatnya singgah. Sesekali dia berdecak ketika menemukan hati yang mulai mengeluh.

Dalam postur kecilnya, si rapuh yang dipaksa kuat itu berkata, “Bahkan pikiran burukmu yang belum tentu nyata itu sudah lebih dahulu membuatku patah. Justru dirimulah yang mematahkanku.”

Setidaknya seperti itulah perdebatan antara otak dan hati yang terjadi di beberapa kesempatan. Jujur, sulit sekali untuk mengendalikan dua organ itu. Mereka tidak bisa menyatukan pikiran dan perasaan yang semestinya saling berkaitan. Entahlah, bisa jadi aku tidak bisa mengendalikannya. Justru aku takut kalau ternyata akulah dalang di balik otakku sendiri, dalam kata lain akulah yang mematahkan hatiku sendiri.

Fyuh, mencintaimu begitu sulit bagiku. Orang sebaik kamu memang sudah sepantasnya kucintai. Meskipun, kadang-kadang kuharus menekan ego, kamu baik untuk semua orang, termasuk aku. Aku mesti sadar diri, aku hanyalah segelintir dari orang-orang yang kamu amat baikkan itu. Di matamu, aku sama saja seperti mereka. Tidak spesial, bukan satu-satunya yang memiliki tempat spesial di hatimu. Semua itu diperkuat dengan sebuah jawaban yang keluar dari mulutmu sendiri.

Aku sudah tiba di bangku taman yang tidak jauh dari kampusmu berada. Sepertinya aku tidak salah memilih tempat untuk bertemu, sore kali ini tengah menjadi senja yang siap menjadi saksi akan peristiwa besar dalam hidupku hari ini. Ya, meskipun aku tidak boleh terlalu percaya diri, sedikit saja, sedikit saja kurasa tidak apa-apa. Aku hanya perlu msmpersiapkan diri akan dua kemungkinan, iya atau tidak. Dan apa pun itu aku hanya perlu melakukan satu hal, menerimanya.

“Lama, ya?”

Suaramu membuatku tersentak, ketika kamu datang selalu mengetuk-ngetuk hati menjadi terombang-ambing. Ditambah hari ini adalah hari spesial bagi sang hati. Aku sedikit merapikan rambut pendekku, itu kebiasaan kalau aku menjadi salah tingkah. Kamu tahu itu, tetapi kamu tidak tahu maknanya.

“Iya, lama banget. Aku udah nungguin hampir lima msnit!”

Kamu tertawa dan duduk di sampingku. Aku selalu suka membuatmu tertawa karenaku. Aku selalu suka ketika kamu tersenyum dan bahagia ketika kamu ada di sampingku. Entahlah, aku hanya mencoba membuatmu nyaman untuk terus ada di sekitarku.

“Jadi, ada apa nih?” tanyamu, tubuhmu dibuat miring hingga berhadapan denganku, bahkan matamu tidak segan-segan menyapa mataku. Kurapikan rambutku, fyuh, kurasa akan sering-sering merapikan rambut.

Kutarik napas dalam-dalam, katakan. Sudah tiga bulan aku memendam perasaan ini dan dia harus mengetahuinya. Jadi, aku berucap, “Aku enggak memintamu untuk jadi kekasihku atau apalah itu, tapi aku hanya ingin kamu tahu kalau aku suka sama kamu.”

Selesai. Seketika dunia berhenti berputar, suara orang-orang lalu lalang seakan-akan dibawa pergi oleh angin menjauh dariku. Tiba-tiba aku menunduk, tidak berani merapikan rambut, tidak berani menyahut tatapannya, tidak berani mendengar ucapannya, tiba-tiba aku menciut.

Dalam bayanganku, kamu tidak akan membalas permagaanku, tetapi kamu memelukku sebagai bentuk bahwa kamu juga menyukaiku. Namun, kali ini aku berada di realitas yang tidak pernah kutahu bagaimana alur cerita semenit kemudian. Bisa saja serupa, bisa pula berbalik.

Kurasakan tanganmu mengelus puncak kepalaku pelan-pelan. Aku mendongak malu-malu. Kamu tersenyum tipis, aku mengerutkan kening. Kamu tahu itu dan kamu berkata, “Aku senang mendengarnya, tetapi kamu peremouan yang tulus. Maaf, tapi aku masih menganggapmu sebagai teman.”

Aku diam sejenak, mendengarkan baik-baik tiap-tiap frasa yang keluar. Aku terhenyak, aku tahu maksudnya apa. Hanya saja, aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Namun, tiba-tiba saja bibir menyunggingkan senyuman. Menarik selebar-lebarnya dua sudut bibir hingga mengisi ruang pipi. Aku mengangguk-angguk paham, ya aku msmang paham, lebih tepatnya aku berusaha memahami dan menerimanya.

“Ah, begitu, ya?” Akhirnya hanya itu yang keluar dari mulutku.

“Enggak apa-apa, ‘kan? Jangan menjadi canggung karena hari ini, ya? Kita masih bisa berinteraksi seperti biasanya, kok!”

Ya, msmang itu rencananya—apa pun jawabanmu aku akan tetap menjadi biasa-biasa saja denganmu. Untuk saat ini, tiba-tiba aku ingin pulang. “Pastinya! Oh, iya, urusanku kan udah selesai nih, aku pulang dulu, ya! Besok kita ketemu lagi! Da-dah!”

Cepat-cepat aku beranjak, melambaikan tangan, dan berbalik. Melangkahkan kaki menjauh darimu, pulang lalu menobatkan diri menjadi perempuan patah hati hari ini. Dalam perjalanan, aku memang masih tersenyum, tetapi aku tidak bisa menahan air yang akhirnya lolos dari sisian mata. Senyuman sebagai bentuk aku menerima kenyataan, tangisan zebagai bentuk aku merima kepatahan. Tidak apa-apa untuk yang satu ini, sudah risiko.

Besok akan menjadi biasa-biasa saja seperti hari kemarin. Tenang saja, aku ahli dalam melakukannya. Yang berbeda hanya, kita sama-sama tahu ada hati yang tidak terikat di antara kita. Yang berbeda hanya, kita sama-sama memiliki peristiwa kemarin dengan makna masing-masing. Aku dengan maknaku, kamu dengan maknamu. Namun, aku tidak akan pernah berhenti untuk membuatmu tertawa dan bahagia di sekitarku. Aku akan menjadi pendengar paling tajam untuk semua ceritamu. Aku siap menjadi bahu untuk keluh kepalamu. Namun, aku tidak bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku kalau kamu tidak mau. Jadi, aku tidak mau memaksamu mencintaiku.

Awalnya memang sulit untuk berdamai dengan saat-saat seperti ini, tetapi semua itu akhirnya tentang terbiasa. Mungkin aku akan terbiasa dengan patah hati ini, tetapi kuharap keterbiasaan ini akan msmbawaku pada cinta yang tidak akan pernah pupus dariku. Semoga.


Komentar

Posting Komentar