Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2022

when fall in love with the good human

HERAN ketika orang-orang menyia-nyiakan orang baik dengan alasan, “Maaf, kamu terlalu baik buat aku.” Entah karena mereka tidak menyukai orang baik atau memang menjadikan alasan basi itu sebagai penolakan atas alasan yang sebenarnya? Tidak ada yang salah juga sebenarnya, kadang-kadang daripada menyakiti hati orang lain lebih baik membual. Namun, bukankah dengan melakukan bualan tersebut secara tidak langsung akan menyakiti orang tersebut, ya? Ah, kalau membahas perkara cinta dari segala sisi memang rumit dan perlu pikiran jernih untuk berasumsi. Namun, ya, sudahlah, aku memakluminya karena cinta suka jatuh di orang-orang yang tidak pernah kita duga, ‘kan? Walaupun sebenarnya ada sisi beruntungnya juga kalau kita tidak mencintai seseorang yang terlalu baik. Jangan berpikir yang kontradiktif dahulu, hei, ayo luruskan lagi berpikirmu. Maksudku, orang baik pasti akan berlaku baik ke semua orang, ke siapa pun itu. Biasanya orang baik akan mudah disukai oleh orang-orang di sekitarnya, bisa

like sad ending story

AKHIR-AKHIR ini aku suka menonton film dengan akhir menyedihkan. Dahulunya, sama sekali tidak kusukai akhir alur cerita yang membuang air mataku. Bahkan, sampai-sampai rela membeli beberapa paket tisu sebagai pelipur tangis—meski tidak mempan juga. Parahnya, kubeli beberapa kaset dengan syarat cerita mesti memaksakan air mata keluar. Anehnya, kalau tidak ada uang untuk membeli kaset terbaru dengan indikasi tadi—film akhir menyedihkan—akan kuputar ulang film-film yang kulabeli paling menyedihkan. Percayalah, dahulunya aku bukan penikmat film, apalagi penggila alur cerita sedih. Sama sekali kubenci film drama romantis, tetapi kini menobatkan diri sebagai salah satu pencinta film-film yang dahulunya tidak kusukai. Tidak segan-segan, aku melempar tatapan sinis dan ... jijik—bukan dalam konotasi buruk, melainkan itu reaksi spontan. Namun, kurasa aku meyakini bahwa roda tidak melulu di atas, nyatanya saat ini aku tengah berada di posisi sebaliknya. Posisi yang dahulunya kupandsng aneh, kali

tentang cinta yang aneh

NAMAKU CINTA ketika kita bersama, bahkan ketika tidak bersama pun, nama cinta itu makin semerbak menguar. Sebetulnya, kalau dipikirkan baik-baik, cinta itu bukan tentang kebersamaan yang akrab. Ketika dua manusia mengarungi hari-hari dengan kisah romantis. Di kala pagi dihiasi kicauan sayang satu sama lain. Sementara malam menjadi bintang-bintang dari kasih yang indah untuk dipandang. Tidak seperti itu juga, barang kali cinta itu tentang apa-apa yang tidak melulu membersamai. Bisa jadi cinta itu tentang rindu yang kemelut, tentang temu yang berkalut. Namun, apa pun itu, bahwa cinta bukan perihal bersama atau tidak bersama, cinta itu perihal ketidakadaan yang ada dan nyata. Biar kuceritakan tentang cinta tanpa temu yang terjadi. Ketika klausa menjadi perantara, ketika jarak menjadi sekat, tetapi bisa-bisanya cinta itu terajut pelan-pelan. Dalam dunia yang serbamudah ini, ketika bicara dapat dihantarkan melalui sinyal. Namun, aku cukup beri perhatian, meski berujung tanda tanya besar.

aku tidak bisa

AKU JUGA maunya berhenti, kalau bisa pergi jauh-jauh saja darimu. Pun, aku maunya mengempaskan saja dirimu ke arah yang raib dari pandanganku. Namun, aku ini siapa sampai-sampai berani bertindak layaknya punya kuasa atasmu? Jika kupegang kendali kuasa tersebut, aku tidak mungkin bisa menghunusmu dengan api kemarahanku. Nyatanya, ketika aku yang bukan siapa-siapamu, ketika aku yang tidak akan pernah memiliki kuasa atasmu, aku tidak punya nyali untuk mengusirmu. Bukan, maksudku, aku yang tidak mau kaujauh dariku. Ternyata aku sendiri yang tidak mau melakukan semua itu. Sederhananya, keberadaanmu di sekitarku itu sudah lebih dari cukup. Namun, aku menghadapi sebuah keputusan yang membutuhkan pertahanan diri lebih besar. Sering kali aku menjadi perempuan yang lara seorang diri. Dalam lara itu, aku membentuk pikiran-pikiran yang entah terjadi atau tidak sama sekali. Akan tetapi, aneh memang, rangkaian otak ini memilih untuk mengumpulkan asumsi buruk. Ia selalu menggertak pada hati yang u

seperti skenario

KITA duduk bersisian di atas rumput hijau yang mulai menguning. Ini sore yang dirimu janjikan untuk bersua, setelah kian lama kunanti-nantikan sore ini. Dalam skenario yang tersusun apik di kepala, bak proyektor yang memiliki perasaan. Dialog kita di sana bersahutan tanpa kendala, ekspresi kita sama sekali tidak padam, bahkan angin sungkan untuk sekadar bernapas di sekitar. Kita seperti dua manusia yang memendam cinta, tinggal tunggu tumbuhnya saja. Skenario yang kuciptakan memang indah sampai-sampai aku melupakan bahwa itu hanyalah skenario belaka. Lama sekali kita berkutat pada keterdiaman yang memakan waktu bermenit-menit. Sejujurnya, aku khawatir sekali waktu kita akan habis, sementara kata-kata belum juga memberontak keluar dari mulut yang terkatup rapat. Skenario yang kubikin tidak berjalan semulus yang kubayangkan. Hanya ada kita berdua, tidak ada sutradara yang mengendalikan skenarioku. Baiklah, tidak ada salahnya jika aku bertindak sebagai sutradara sekaligus pemeran, 'k

Skripsialan & Perbandingan Anak Tetangga

BERJALAN gontai setelah turun dari mikrolet ugal-ugalan. Selama perjalanan tadi, tak henti-hentinya mengumpat dalam hati. Sudahlah hari ini penuh cobaan, harapan awal dapat menyelesaikan bimbingan. Namun, dosen yang mulia sama sekali tak menampakkan wajahnya. “Pak, saya Eka, apa ada Bapak Sandi? Saya mau bimbingan, sudah membuat janji,” kata Eka tadi siang ketika memasuki sebuah ruangan berisi seorang pria paruh baya sibuk dengan laporan di meja. Pria itu mendongak sebentar memperhatikan Eka yang sedikit membungkuk di ambang pintu. Sebagai sikap penghormatan, taklupa mengembangkan senyum. Sebetulnya, perempuan itu sudah celingak-celinguk ke seisi ruangan yang takbesar ini. Sampai pandangannya jatuh di meja sudut kanan berhadapan dengan meja bapak itu. Eka melengos, meja milik dosen pembimbingnya kosong, takada kehidupan. Bapak itu menggeleng seraya kembali menatap laporannya. “Tidak ada, beliau sudah pergi beberapa menit lalu.” Eka menarik napas dalam-dalam dan membuangnya pelan-pel

rencana kabur dari rumah

SEBENARNYA aku mau-mau saja sih diajak kabur dari rumah. Kusimak baik-baik wajah serius adik di depanku ini. Dekil karena main layangan terus dan muram karena dimarahi habis-habisan sama bapak. Awalnya kesal, lama-lama kasihan juga. Aku mendengkus, tetapi gara-gara dia juga akhirnya aku kena damprat bapak. “Nanti lu ambil tuh pisang goreng sama bakwan di meja yang tadi dibeli sama bapak, buat pasokan aja sehari dua hari, Mbak.” Kali ini anak laki itu mulai berbisik dengan tajam seperti sorot matanya. Kuputar bola mata. “Gorengan mana kenyang sih? Nyangkut di tenggorokan doang.” Dia kembali terdiam, disapunya seisi kamar yang gelap, hanya ada cahaya lampu dari luar jendela. Kira-kira kami sudah terdiam di kamar sekitar setengah jam. Tidak berani untuk keluar kamar karena pasti akan disambut dengan pelototan bapak yang siap-siap menghunus kami. Aku tahu isi pikiran bocah tengik itu, menyelami sekiranya barang apa saja yang mesti dibawa untuk rencana kabur nanti. “Lagian ngapain sih

mengusutkan tali yang kamu buat sendiri

KATAKU jangan lagi coba-coba, itu tidak akan baik untukmu. Kalau-kalau dikosongkan dua hari penuh untuk sebuah persiapan. Tentang apa-apa yang nantinya berakhir pada keputusan. Sebuah tali terulur memanjang, pada tiap yang melaju ada keinginan, harapan, ekspektasi, risiko, dan konsekuensi. Kamu tahu, tali itu harus memiliki titik ujungnya. Jika tidak, dia akan tumbuh seiring waktu. Normalnya tali tidak akan pernah bisa tumbuh. Hanya saja, tidak dengan tali yang memberi garis-garis di permukaan hatimu. Itu tali yang kamu buat sendiri setelah keputusan dibuat dan dipastikan bahwa persiapan sudah siap seratus sepuluh persen. Begitu katamu, amat percaya diri. Sebenarnya segala spekulasi sudah memenuhi bongkahan otakmu, ‘kan? Namun, dari sumpeknya spekulasi itu, dengan dorongan hati untuk menyingkirkan semua itu berhasil. Bilangnya, tidak ada salahnya untuk mencoba, bukankah itu hal wajar? Itu lagi, argumentasi dikemukakan seakan-akan dilarang menanggapi. Bila hati sudah bergejolak, maka

pelajaran dari cinta

SIAPA yang tidak mau merasakan rasanya dicintai oleh seseorang yang kita cintai? Akan ada kebahagiaan yang membuncah ketika ekspektasi dan harapan berjalan lurus dalam tujuan yang sama. Menikmati perjalanan yang panjang, dari datar, mulus, berliku, menanjak, menurun, semuanya dilalui dengan jemari yang saling bdrkaitan. Sebab, ada komitmen yang menahan untuk tetap bersama. Komitmen yang didasari cinta dan sayang yang tulus. Hingga akhirnya, keduanya bersatu dalam sebuah ikatan yang menandakan tujuan itu telah tercapai dan mengembara ke bahtera yang lebih berisiko lagi. Setidaknya itu impian semua orang dalam mencintai. Merancang masa depan bersama orang terkasih, berikrar janji untuk tetap bersama-sama, bahkan sampai di kehidupan selanjutnya. Itu impian semua orang, itu impian aku akhir-akhir ini. Setelah lama menutup mata dalam roman percintaan. Setelah bertahun-tahun memandang remeh sosok cinta. Dahulunya bergidik ngerti apabila mendengar kata cinta, mengingat cinta pernah membuat

kamu yang membenci dirimu sendiri

SAMPAI kapan pun kamu tidak akan pernah bisa menerima dirimu sendiri. Tatkala mereka masih terus berkeluh dan mengumpat, sementara kedatanganmu tidak pernah bisa dielak. Aneh memang, kadang-kadang suka berpikir, mengapa mereka dapat dengan mudah mempengaruhimu? Di sisi lain, kamu adalah kamu yang tidak akan bisa disanggah. Daripada disanggah, kamu adalah sosok yang singgah di waktu-waktu tertentu seperti saat ini. Orang-orang bersungut bahwa kamu adalah sosok paling menyebalkan. Beberapa aktivitas menjadi runyam, bahkan banyak dari mereka yang harus menepi. Kehadiranmu selalu membawa sakit-sakit yang menular. Parahnya, kamu menyebabkan rusaknya bangunan, fatalnya kamu mengakibatkan seseorang merenggang nyawa. Memikirkan semua itu sepanjang hari, selama itu terus-menerus menangis dalam diam. Ketika lelah menyergap, kamu akan berkeluh, “Mengapa aku diciptakan untuk menyusahkan manusia?” “Bersiaplah, sebentar lagi kita akan bergegas!” Suara komando sontak membuat pikiran berlebih menjad

luka yang hanya pergi sebentar

KIAN LAMA mati rasa tanpa ekspektasi. Membentengi diri dari apa-apa yang dahulunya menghukum diri. Menyalahkan diri sendiri atas ketidaksadaran akan sebuah pilihan. Pada akhirnya menjejaki sesal di ujung kisah. Kisah yang nyatanya masih berlanjut dengan cerita baru. Bukan kisah sambutan suka-suka yang baru, melainkan tentang pemulihan duka-duka. Mengutuk-ngutuk diri dari waktu ke waktu, apabila diingatnya awal-awal cikal-bakal terjadinya fenomena kasih. Tentang diri yang tadinya sama sekali tidak tahu-menahu perihal perasaan. Hingga menjadi piawai dalam kasih-kasih yang berujung pelantaran. Tatkala pertama kali mengenal dan disambut dengan senang yang msnyergap. Namun, senang-senangmya berubah haluan menjadi luntang-lantung dalam membasuh luka. Anehnya, tidak ada kapoknya untuk kembali msnjalin kasih lagi dan lagi. Setidaknya sudah berjalan lima tahun, tidak lagi mengukir kasih. Katanya, hati sudah tertutup rapat-rapat. Enggan untuk sekadar membuka atau mengintip sedikit dari balikn

CEMBURU

 Jujur, ada satu hal yang kusesali di samping betapa bersyukurnya aku dengan sebuah keputusan yang kubuat sendiri. Entahlah, mungkin aku menyesal hanya di saat-saat tertentu. Di saat yang membuatku seperti orang bodoh dan egois. Contohnya pada saat ini, kejadian kecil yang akhirnya membuatku menyesal akan satu hal. Saat ini aku lagi cemburu. Klise. Gitu aja. Tapi memangnya aku bisa apa? Merasakan cemburu aja aku enggak punya hak sama sekali. Ah, pengin nangis jadinya. Terserah mau bilang aku kaya anak kecil atau bilang lemah atau bilang lebay. Terserah. I just act what I feel Aku Cuma pengin fase ini cepat-cepat selesai. Aku enggak bisa berlama-lama terjebak di dalam perasaan yang akhirnya menyakiti diriku sendiri. Aku enggak bisa lama-lama menahan harapan dan ekspektasi yang meledak-ledak. Itu enggak mudah, sekali saja mereka mencuat dan keluar dari ledakan, aku akan runtuh dan semakin jauh dari pulih. Sementara pulih butuh waktu yang lama. Butuh banyak hal yang dikuras. Butuh mene

KECIMPRING

KECIMPRING , bagi kebanyakan orang mungkin ia hanya keripik singkong biasa. Namun, itu tidak akan pernah menjadi biasa-biasa saja. Setidaknya hal itu terjadi ketika aku dan Ibuk tengah berbaring bersama di atas ranjang. Sementara layar teve menampilkan seorang bintang memerankan diri sebagai penjual kecimpring. Tidak ada yang lucu dari kecimpring. Tidak ada yang lucu apalagi remeh dari penjual kecimpring. Aku dan Ibuk sama-sama tahu, itu adalah pekerjaan yang mulia. Bahkan amat mulia bagiku karenanya aku menjadi tertawa bersama Ibuk. Pemeran penjual kecimpring yang membuatku memiliki kenangan bersama Ibuk. Aku sama Ibuk, meski memiliki perbedaan karakter, tetapi aku sama Ibuk sama-sama aneh. Mungkin otak aku dan Ibuk tidak sama, tetapi aku yakin ada satu jaringan yang persis terikat sampai bentukannya sama. Buktinya, aku dan Ibuk tiba-tiba saja menertawakan kecimpring. Aku benar-benar mau minta maaf sama kecimpring. Aku dan Ibuk sama sekali tidak ada berniat menyudutkan, kami hanya

aku ini cinta

AKU CINTA , pertama-tama aku dipertemukan dengan jatuh sejatuh-jatuhnya. Namun, tidak ada reaksi yang membuatku harus meringis kesakitan. Sebab aku adalah cinta, cinta yang akan menerima siapa pun, tidak segan-segan akan kurengkuh satu per satu bagi siapa pun yang datang kepadaku. Sebetulnya aku tidak meminta apalagi memaksa kamu-kamu untuk mendatangiku. Jadi, kalau-kalau ada yang mengatakan cinta itu datang tiba-tiba, rasanya aku ingin tertawa terpingkal-pingkal. Tolong perhatikan wajah beringas nan lucuku ini, cinta itu tidak akan pernah datang kepadamu. Seharusnya kamu sadar bahwa kamu tidak menyadari kamu sendiri yang mendatangiku. Aku ini tersebar luas di mana-mana, semua makhluk yang menghirup udara di dunia ini akan selalu membutuhkanku. Hebatnya aku, aku tidak pernah menjadi penguasa alam semesta. Ingat betul-betul, betapa baik dan sangat mulia akhlakku, ‘kan? Sudahlah berjiwa besar, baik hati, tidak suka mengatur dan memaksa, ramah dan membuat nyaman siapa pun yang datang. N

TRAGEDI

KANJURUHAN tengah menebar berita duka. Awalnya datang dengan sukacita, tetapi siapa yang menyangka bahwa mereka akan pulang dengan dukacita? Awalnya beberapa dari mereka pamit untuk memberi dukungan, tetapi siapa sangka itu adalah pamit untuk pulang? Namun, dari banyaknya simpatik yang beredar di laman media sosial, aku merasa bahwa ada beberapa yang sebaiknya ditahan lebih dulu. Itu tampak meresahkan, bisa jadi duka mendalam bagi para keluarga korban. Seperti contoh nyata ada pengguna yang menyalahkan oknum sekaligus korban atas pemicu kejadian tersebut. Tutur diksinya pun engga etis untuk dibaca. Kalau begitu, oknum tersebut tidak salah? Enggak juga, tetapi kita salah tempat dan salah waktu untuk menghujat—apalagi di media sosial. Memangnya siapa yang mau hari itu menjadi hari akhir mereka? Mungkin, mungkin mereka melakukan sesuatu yang salah sehingga membahayakan orang lain, bahkan diri mereka sendiri. Namun, dalam situasi yang enggak baik-baik saja seperti ini, apa pantas bagi k

TIRI

AKU BINGUNG bagaimana caraku harus menyayangimu. Sampai kapan pun ini tidak akan pernah mudah. Keberadaanmu di sekitarku, mau tidak mau membuka luka lama yang kelam. Luka yang sampai saat ini tidak tahu bagaimana memulihkannya. Aku benar-benar bingung, bagaimana harus menyayangimu seraya susah payah mengubur luka lama. Namun, aku masih punya nurani. Kadang-kadang aku merasa iba, kehadiranmu adalah kesengajaan yang tidak baik-baik saja. Kamu adalah kebahagiaan bagi orangtuamu, tetapi tidak bagi kami. Sulit bagi kami untuk menerima kenyataan yang bahkan aku tidak tahu kapan kamu lahir. Ini seperti penerimaan yang tidak memiliki pilihan. Bagaimanapun kamu telah diciptakan di dunia ini dengan dua sisi yang berdistraksi. Namun, bagaimanapun kamu telah diciptakan untuk berada di dunia ini. Kamu sudah ditakdirkan untuk menjadi bagian dari kehidupan ini. Bahkan, kamu telah menjadi bagian dari hidupku tanpa kutahu. Akan tetapi, apakah saat ini kita benar-benar satu kesatuan yang semestinya?