Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2023

pelangi yang tidak pulang

  NASIB jadi orang tua, makin masa, ruang gerak dibuat terseok-seok. Setelah salat subuh di musala—untung tidak begitu jauh dari rumah—Darto melangkah pelan menuju dapur, tangan kurus itu memegangi tembok, hadan sedikit membungkuk. Pelan-pelan, sampai di dekat meja makan. Darto sudah tahu apa yang ada di dalam tudung saji bambu, dalam ingatan pendek, lelaki paruh baya masih ingat lauk yang dia makan tadi malam. Perlahan ditariknya kursi kayu, duduk di sana, termenung saja. Hanya memandang tudung saji sekilas, kemudian beralih ke jendela tanpa tirai, menatap langit gelap di sana, bintang-bintang sudah mulai bepergian, mundur, giliran matahari yang akan menyongsong. Suara jangkrik di luar pun perlahan-lahan mulai menjauh malam. Tersisa embusan angin yang kadang-kadang menerobos masuk melalui ventilasi udara. Andai Darto tahu, betapa langit tidak pernah sanggup ditatap mata nanar nan sayu. Betapa langit begitu tidak tega mendapati tiap subuh, wajah pilu di antara garis-garis keriput. Kad

cara mudah jatuh cinta

TIDAK PERLU susah payah untuk jatuh cinta, kadang kala kamu hanya perlu duduk diam mengamati orang-orang. Mana kala ada perilaku dan tutur dari salah satu mampu menarik perhatian. Bahkan, tidak perlu sepengamat itu, simak saja baik-baik wajah sau per satu, apakah sesuai dengan 'kriteria keelokan'-mu? Bila sesuai, lantas tinggal bidik, panahi hatinya dengan asmara, putuskan untuk jatuh cinta. Atau mudahnya, tidak perlulah melakukan apa pun, tidak usah ada rencana untuk jatuh cinta. Toh, nanti juga takdir akan menuntunmu pada masa itu—masa itu akan datang, entah sadar atau tidak. Jalani saja hari-harimu, tanpa ikatan untuk harus mencintai. Lalui saja masalah-masalahmu tanpa ada pikiran berjibaku dengan masalah percintaan. Setidaknya, asumsi-asumsi itu harusnya mampu memahamimu betapa jatuh cinta itu mudah. Semudah kamu terbuai dalam perhatian dan kepedulian seorang lelaki yang sebelumnya tidak pernah ada seorang lelaki pun memperlakukanmu sebaik itu. ••• LELAKI itu tertimpa sial

she's not blinds

MATA ada, tetapi tidak dapat berfungsi dengan baik. Melihat, tetapi yang terlihat tidak begitu jelas. Orang-orang mengatakan buta, meski sejatinya orang-orang tahu aku tidak buta. Kelainan mata yang orang tahu hanya buta. Penglihatan buram dan tidak fokus, sering menabrak objek di depan pun, disangka buta. Padahal tidak, ini bukan buta, ini tentang penglihatan yang seharusnya masih bisa berfungsi, tetapi tidak normal.  she can see, but she sees something blurry  ••• "BUTA, YA?" Ya, meskipun aku yakin sekali mereka—si pengolok tanpa dasar itu tahu bahwa tidak ada buta di mataku. Hanya perkara tidak sengaja menabrak tubuh sisi kanannya. Menurutku, olokannya hanya sebuah serangan untuk melindungi diri dia sendiri dari emosi negatif tidak terkontrol. Semua orang tahu, aku punya kekurangan di penglihatan, tetapi tidak buta. Tidak. Aku masih bisa melihat warna dan benda, meski tidak begitu jelas. Di balik bingkai lensa setebal ensiklopedia. Itu cukup membantu, tidak amat membantu,

ibuku tidak gila

IBUKU gila. Pernah, malam hari dia melotot padaku. Pupil matanya dipaksa membesar, menyorotkan kemarahan atas ketidaksukaan padaku. Sebetulnya niatku baik, hanya ingin meminta ibu dian karena hari sudah malam. Orang-orang sulit terlelap, tetapi orang-orang itu memilih tidak acuh dan berusaha memejamkan mata. Aku tidak bisa seperti itu. Racauan ibu yang terus-menerus bersuara, tidak berhenti sama sekali. Aku tidak tahu ada maksud dari kalimat yang meracau berulang kali. Namun, aku yang masih berusia 15 tahun memahami bahwa keluarga kami sedang tidak baik-baik saja setelah ayah dipaksa mengaku oleh ibu. Pengakuan yang akhirnya menjadi bumerang sekaligus hantaman kasatmata. Itu menjadi asal mula ibuku berubah total, tidak lagi seperti ibu yang kukenal. Entah gila atau bagaimana, tetapi ibu benar-benar memprihatinkan.  Aku tidak hanya memikirkan diriku sendiri, tetapi memikirkan orang lain. Takut sekali orang lain—para tetangga yang rumahnya saling berdempetan berpikiran bahwa ibuku gila.

saat kecil

SAAT KECIL kita tidak pernah tahu, bagaimana dewasa menjemput kita? Kita hanya tahu caranya tertawa dan bertikai. Kita hanya memahami, kita akan tumbuh makin tinggi. Akan bekerja seperti orang-orang besar. Akan sibuk seperti Kakak-Kakak kita. Saat kecil, kita bermain bersama, membuat isi rumah jadi berantakan. Kita sama-sama terkena amarah ibu. Kemudian, kita saling melempar tatapan tajam dan saling mengalahkan. Namun, besoknya—seperti keajaiban, masalah kemarin hilang dan kita kembali bermain bersama. Kadang-kadang kita saling melindungi dari Teman-Teman menyebalkan. Kita tahu bahwa kita saling menyayangi, tetapi kita tidak pernah ada waktu untuk mengungkapkannya. Bukan masalah waktu, melainkan masalah kesiapan. ••• PADA SUATU HARI yang tidak pernah terjadi. Aku duduk di tengah-tengah dua anak laki-laki. Lebih tepatnya memaksa keduanya memberikan tempat duduk di antara mereka. Sebagai kakak perempuan, tentu harus menjadi pusat. Kita sama-sama duduk di atas loteng, sementara matahari

perempuan di balik layar

PADA akhirnya, aku akan tenggelam juga dari ratusan nama-nama tertera pada layar kaca dalam genggamanmu. Perlahan-lahan, terkalahkan oleh realitas terdekatmu. Memutuskan untuk jatuh hati padamu di balik layar, hanyalah pengujian nyali yang sampai kapan pun tidak akan pernah menampakkan dirimu di hadapanku. Cinta memang butuh pengorbanan, tetapi itu berlaku bagi mereka yang saling mencintai. Kasus ini, hanya aku, kamu tidak, sama sekali tidak akan pernah. Seyogyanya, aku mudah terlupakan, layaknya satu butir pasir di hamparan pesisir pantai. Lamat-lamat, tentangku akan dilumat jarak dan sedikitnya interaksi. Kemudian, kamu sibuk bersama duniamu dan aku sibuk untuk berdamai dengan patah hati untuk ke sekian kalinya.  ••• TATKALA kubuka mata dari mimpi tentang lelaki yang tidak kunjung datang. Maka, nama kamu kembali hadir kalau-kalau pagi menyapa. Sebab, kamulah lelaki yang kutunggu-tunggu di ujung bunga tidur. Tidak usah ditanya apakah kamu juga memikirkan hal sama denganku? Jawaban ak

perempuan pukul empat sore

PEREMPUAN itu, dalam tutur lembut penuh penekanan, menguarkan aroma kejujuran berjanji untuk menemuiku pukul empat sore di halte dekat toko bunga. Aku tahu, perempuan itu amat menyukai harum bunga-bunga yang berbeda, bersatu padu dalam satu ruangan, tetapi tali aroma para bunga itu terjalin sampai halte tempatku duduk. Sayang sekali, toko itu berada di letak tidak strategis, para bus dan mikrolet berlalu lalang, mangkal di halte mencari mangsa untuk memenuhi isi perutnya. Kadang-kadang kendaraan pribadi juga berkontribusi mengeluarkan asap-asap dari bokong mereka. Nahas, netra berbingkai lensa bulat tebal ini tidak henti-hentinya menyimak bus atau mikrolet berpijak di depan, mengamati satu per satu penumpang yang sekiranya sudah sampai tujuan di sini. Tepatnya, menantikan perempuan membawa janji untuk menuju ke sini. Sebetulnya, itu tidak perlu karena ini masih pukul tiga lewat tiga puluh sore. Namun, mana tahu perempuan itu jauh tepat waktu, kan? Dalam penantian mendebarkan, sumbu ma

mengais premis

TUJUAN ? Sebentar, kauambil napas panjang untuk kemudian tertawa seakan-akan reaksi natural terhadap pertunjukan lucu. Namun, bukankah itu benar-benar komedi kehidupan? Layaknya novel-novel, premis menjadi syarat utama cerita peran utama dapat berjalan. Itulah alasan mutlak kautidak mau buang-buang waktu untuk menyentuh—apalagi membaca blurb. Menurutmu, hidup itu memuakkan. Untuk apa manusia dituntut punya tujuan, sementara semesta mempersulitnya? Berkali-kali kau dijorokkan, dilempar, dituding, sampai-sampai tujuanmu dibuat mangkrak, tidak ada perkembangan. Baru saja merajut tujuan lama, semesta sudah merundung. Seperti, hidup dan semesta saling mendorong dan membuatmu terimpit. Sebab, hidup memintamu untuk bertujuan, tetapi semesta adalah musuh bebuyutan yang siap menghadang pergerakan majumu. Kausudah jengah berteriak ngotot, menghabiskan air mata, sampai-sampai mati rasa. Terserahlah, persetan dengan peran utama! Manusia tanpa gairah dan hasrat. Begitulah orang-orang lain memberi i

sudah

KALAU SUDAH , ya, sudah. Sebetulnya sudah dari kala itu telah mencapai titik sudahnya. Namun, kamu tidak juga mau sudah. Pikirmu belum. Masih ada waktu, katamu. Entah memang masih ada waktu atau memang kamu memaksa waktu untuk ada. Ada membiarkan kembali mengusahakan apa yang sebetulnya benar-benar sudah. Dengan segala luka yang tidak ingin dirasai. Kamu hanya belum menerima bahwa semuanya menjadi berkesudahan. Kamu hanya tidak mau berkata, "Ya sudah." akan sesuatu yang telah menjadi sudah.  ••• KAMU juga maunya sudah. Akan tetapi, percikan harapan tersisa tidak henti-hentinya beraksi. Dalam tiap interaksi sekecil apa pun, percikan bisa-bisa saja meledak dan akhirnya berkobar. Namun, kamu menikmatinya. Kamu merasainya. Kamu membiarkannya.  Kamu tahu bahwa harapan itu tidak akan ada jawaban. Setelah kenyataan kamu ketahui, bahwa harapan telah raib ditampar kenyataan yang berbalik dengan ekspektasi. Memang dasar kamu bebal dan nakal. Memilih untuk terjebak dalam luka tidak berk

depresi

DADA itu sesak. Penuh api-api amarah, percikan kecewa memantik bakaran baru. Bak rumah dilahap si jago merah, air seakan-akan beringsut menjauh. Pisau di tangan siap-siap menancapkan diri di atas permukaan perut. Badai petir bersahutan bak melodi pengiring. Hujan deras malam itu menemani tangisan perempuan paruh baya yang sedang terluka hati dan pikirannya. Mana kala malam itu akan menjadi malam terakhir yang tragis. Marah pada takdir yang melulu buat tangis. Menyerah pada kehidupan yang begitu bengis.  ••• Sudah tidak ada lagi alasan bagiku untuk membenci lelaki paruh baya yang tengah terbatuk-batuk. Tubuh yang dulunya berisi, kini mengkerut. Setidaknya setelah serangan jantung menyapa hidupnya. Kini yang ada hanya rasa sesal karena telah membenci. Ada iba kian merebak mengembalikan cinta yang dulu terempas.  Kalau-kalau lelaki paruh baya itu tidak semena-mena pada perasaan. Kalau-kalau dia tidak mengkhianati cinta. Apabila saja manusia yang terbaring lemah itu tidak menodai sebuah k

diserang pikiran sendiri

PIKIRANKU sakit. Dia sakit jiwa, meski tidak berjiwa. Dia keji, meski tidak punya hati. Dengan tega, berulang kali menusuk, memukul, menyabet, merajam, apa pun kegiatan pencipta derita dan luka. Si paling lihai merangkai kalimat-kalimat kosong. Tidak ada artinya. Alih-alih solusi, tiap kata membuat pucat pasi. Ia memang songkak, hanya memikirkan dirinya sendiri. Tidak memikirkan hati yang dibuat porak poranda karena betapa suntuk pikiran berkecamuk. Kalau diam-diam saja membusuk, bila dibiarkan akan makin mengamuk. Tempurung sialan, beban bertambah hanya untuk mengurusi pikiran mematikan.  ••• Rasa-rasanya dia kesal atau marah padaku. Tiba-tiba saja perilakunya lebih banyak diam. Tidak begitu gubris pada sekitar, sebenarnya lebih padaku. Berkali-kali kudekati, mencoba bertanya basa basi yang akhirnya berakhir mengutuki diri sendiri. Mana suka dia basa-basi, Bodoh! Bisa-bisa makin kacau dan makin tidak berselera saja untuk sekadar melihatku.  Jadi, sedari tadi kuketuk-ketuk meja, resah

di pantai klara

 SABTU pagi saat sedang menyantap soto untuk sarapan. Papa—pamanku—mengajakku ke pantai besok hari Minggu. Tanpa pikir panjang aku langsung mengiyakan.  Dalam benak aku menimbang-nimbang, kira-kira bakal ikut berenang atau sekadar menikmati vibes pantai saja, ya? Mengingat agak ribet kalau harus bilas di bilik.  Setelah seharian berpikir, kemudian tidur di malam hari. Sampai esok pun tiba. Kuputuskan untuk tidak berenang dan menikmati vibes pantainya saja.  Tidak hanya itu, sambil menikmati vibes, aku pun sambil menulis artikel Travelling sebagai tanggung jawab tugas harus dikumpulkan hari ini juga.  Benar. Alasanku ikut ke lantai bisa dibilang karena aku ingin menulis. Omong-omong ini adalah artikel kedua yang kutulis di pantai sejak satu jam lalu.  Menyenangkan juga ternyata menulis di alam terbuka seperti ini. Merasa relaksasi dan pengalaman menulis jadi lebih tenang. Ditambah jarum pasir serta lautnya.  Kalau ke pantai, tujuannya pasti selalu Klara. Entahlah dari zaman aku kecil, s

hilang

AKU telah siap akan kehilangan. Ini tentang raungan para manusia, melulu berkoar atas ketidakterimaan diri karena telah merasa kehilangan. Dalam teriak meraung, kudapati spektrum mengalun kacau mengabar pada telingaku. Kehilangan adalah masalah paling meresahkan, begitulah suara raung itu menggebu dengan emosional. Dihabiskan berhari, berminggu, berbulan, bahkan bertahun-tahun untuk akhirnya bisa menerima yang telah hilang. Itu pun yang hilang masih terngiang-ngiang. Menghantui masa dengan kisah di masa lalu. Maka, dari isakan tersiksa para manusia itu, kusiapkan diri menghadapi kehilangan.  Hanya saja permasalahannya adalah, siapa atau apa yang bersedia menjadi objek untuk singgah di hidupku dan kemudian menghilang? Nyatanya, aku pun seorang diri di gumpalan bumi. Mengarungi hari-hari tanpa cerita, warnanya abu-abu. Siapa yang mau sejenak saja singgah. Bisakah aku merasai rasanya kehilangan? Bolehkah aku meresapi luka-luka untuk menggerogoti hati yang kosong? Maukah semesta menghadir

ingkar

SURI tidak akan berjanji lagi, terakhir berjanji, berujung ingkar. Itu janji pada dirinya sendiri yang berjanji tidak akan pernah membuat janji kembali. Kalau-kalau keadaan memaksanya membuat janji, Suri siap angkat senjata setinggi mungkin. Harga dirinya sudah runtuh karena melulu ingkar. Kali ini, biarkan Suri menumpuk kembali harga diri yang telah berceceran tanpa nilai.  Semua itu karena cinta. Tatkala hati terpatah-patah, saat itu janji tidak akan melanjutkan harapan mencuat. Tidak hanya berjanji pada dirinya sendiri, tetapi digaungkan pula kepada teman-teman yang jengah akan kelabilan Suri. Perempuan bertubuh pendek, tetapi labilnya setinggi atap langit. Rambut pendek hitam menutupi isi kepala—pikirannya serumit ikatan benang merah mati. Mata sipit berpendar menguarkan binar, menenggelamkan pilu. Hidung mungil yang setahunan ini mampu menahan sumbatan akibat patah hati. Belum lagi bibir setipis asa akan timbal balik perasaan tidak berkesudahan. Entah Suri yang tidak ingin usai-u