Langsung ke konten utama

depresi

DADA itu sesak. Penuh api-api amarah, percikan kecewa memantik bakaran baru. Bak rumah dilahap si jago merah, air seakan-akan beringsut menjauh. Pisau di tangan siap-siap menancapkan diri di atas permukaan perut. Badai petir bersahutan bak melodi pengiring. Hujan deras malam itu menemani tangisan perempuan paruh baya yang sedang terluka hati dan pikirannya. Mana kala malam itu akan menjadi malam terakhir yang tragis. Marah pada takdir yang melulu buat tangis. Menyerah pada kehidupan yang begitu bengis. 

•••

Sudah tidak ada lagi alasan bagiku untuk membenci lelaki paruh baya yang tengah terbatuk-batuk. Tubuh yang dulunya berisi, kini mengkerut. Setidaknya setelah serangan jantung menyapa hidupnya. Kini yang ada hanya rasa sesal karena telah membenci. Ada iba kian merebak mengembalikan cinta yang dulu terempas. 

Kalau-kalau lelaki paruh baya itu tidak semena-mena pada perasaan. Kalau-kalau dia tidak mengkhianati cinta. Apabila saja manusia yang terbaring lemah itu tidak menodai sebuah komitmen. Namun, ah sudahlah, itu kisah di masa lalu. 

Kelam. Suram. Muram. Masam. 

Tidak saja jalan pulang paling nyaman selain keluar dari rumah. Tatkala hidup masih berwarna merah jambu, biru langit, hijau daun, sesekali abu-abu mendung, tetapi tidak sampai hujan. Sekalinya berubah warna langsing hitam pekat. Pekatnya menelan warna-warni yang ada. Hitamnya menenggelamkan kebahagiaan. 

Pasangan lelaki paruh baya itu sudah pergi sejak lama. Penyesalanku adalah, baru kusadari bahwa pasangannya depresi di sisa-sisa waktunya. Memejamkan mata tanpa terbuka sekali pun seakan-akan menyembunyikan mimpi buruk. Tubuh pasangannya terkulai lemas, tidak ada dayanya, dia hanya ingin menanti-nanti kapan saatnya tiba untuk pergi. 

Untungnya kala itu aku sudah ikhlas. Seakan-akan seorang anak yang menjaga ibunya dalam perjalan di kehidupan selanjutnya. Ini tidak mudah. Akan tetapi, lebih-lebih terasa tidak mudah melihat pasangannya tersiksa karena realitas. Perasaannya diserang. Otaknya diserang. Sarafnya diserang. Mentalnya diserang. Itu kejam untuknya. Dunia ini kejam untuk perempuan tidak memiliki salah apa pun terhadap cinta. 

Perempuan paruh baya itu hanya berusaha mengemban tugas sebagai ibu dan istri yang baik. Namun, yang perempuan itu terima adalah pengkhianatan. Lantas, mana di mana konsep ketulusan dibalas dengan ketulusan pula? Mana konsep cinta sejati dibalas cinta sejati pula? Malangnya perempuan' itu. Teganya lelaki itu. 

Apabila malam di kala itu tidak kucegah pisau dari tangan sang perempuan. Entah tenaga dan energi dari mana merasuki tubuh mungilku. Tidak kuacuhkan melodi-melodi rusak dari langit. Telingaku hanya menangkap tangis pedih antara aku dan perempuan itu. Ini malam paling seram yang pernah ada dalam hidupku. 

Sumpah. Aku tidak suka perempuan itu berakhir karena kemauannya. Biarlah, biarlah takdir menutup kehidupannya, mengantarkannya pada kehidupan yang lebih baik. Tidak apa-apa, aku ikhlas, aku benar-benar ikhlas. Sebab, aku tidak akan pernah ikhlas dia bertemu dengan lelaki itu. Lelaki yang kini tengah berjuang melawan serangan jantungnya. 

Tetap kucintai lelaki ini, akhirnya setelah menerima kesalahannya di masa lalu. Meski dia telah membuat luka besar yang tidak akan pernah bisa dipulihkan. Aku tetap mencintai lelaki itu dan belum siap untuk menghadapi kepergiannya.

Namun, takdir tanpa berkata apa pun main bawa pergi saja lelaki itu. Salah ketika kukatakan lelaki itu kuat karena mampu nyaris melawan takdir berkali-kali. Di serangannya terakhir, takdir jauh lebih kuat daripada lelaki itu. Bahkan sampai saat ini, kepergian lelaki itu menyisakan patah hati paling menyakitkan dibanding perempuan itu. 

Dua-duanya sudah pergi. Meninggalkan banyak pelajaran berharga. Terima kasih karena telah melahirkanku. Aku tidak pernah menyesal karena telah dilahirkan. Mereka berdua bukan orangtua yang sempurna. Akan tetapi, mereka seakan-akan menyempurnakan pembelajaran hidup yang mahal. 



Komentar