Langsung ke konten utama

di pantai klara

 SABTU pagi saat sedang menyantap soto untuk sarapan. Papa—pamanku—mengajakku ke pantai besok hari Minggu. Tanpa pikir panjang aku langsung mengiyakan. 

Dalam benak aku menimbang-nimbang, kira-kira bakal ikut berenang atau sekadar menikmati vibes pantai saja, ya? Mengingat agak ribet kalau harus bilas di bilik. 

Setelah seharian berpikir, kemudian tidur di malam hari. Sampai esok pun tiba. Kuputuskan untuk tidak berenang dan menikmati vibes pantainya saja. 

Tidak hanya itu, sambil menikmati vibes, aku pun sambil menulis artikel Travelling sebagai tanggung jawab tugas harus dikumpulkan hari ini juga. 

Benar. Alasanku ikut ke lantai bisa dibilang karena aku ingin menulis. Omong-omong ini adalah artikel kedua yang kutulis di pantai sejak satu jam lalu. 

Menyenangkan juga ternyata menulis di alam terbuka seperti ini. Merasa relaksasi dan pengalaman menulis jadi lebih tenang. Ditambah jarum pasir serta lautnya. 

Kalau ke pantai, tujuannya pasti selalu Klara. Entahlah dari zaman aku kecil, sudah diajaknya ke pantai Klara. Oleh karena itu, pantai Klara menyimpan banyak kisah bersama keluargaku. 

Kami sekeluarga biasanya akan pergi subuh-subuh sambil menunggu air laut surut baru bisa berenang. 

Sambil menunggu air surut, biasanya kami sekeluarga akan menyantap sarapan di pondokan. Tentu ini jadi kebiasaan yang tidak akan pernah terlupakan. 

Hari ini pun melakukan kebiasaan yang sama. Bangun pagi, berangkat, memakan waktu perjalanan selama satu jam, sarapan, dan berenang, ya, kecuali aku. Omong-omong aku jadi menyesal karena memutuskan untuk tidak berenang, haha, tetapi ada tugas yang harus diselesaikan. 

Untuk bisa masuk, Apa harus mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan. Nominal tersebut dihitung per mobil dan tidak bergantung jumlah orangnya. 

Kami mencari pondokan yang sekiranya strategis untuk bisa turun ke pesisir pantai karena kalau mau menuju ke pantai harus turun dan melalui bertumpuk karung pasir. 

Sambil menunggu Vio, Abang, Mama dan Papa berenang. Aku menulis artikel. Dari pukul 8 sampai setengah 11, aku sudah menyelesaikan sagu artikel. 

Melihat laut lepas, biru berkilau-kilau karena pantulan sinar matahari, serius, mata dibuat setenang itu. Perasaan relaksasi mulai menyergap diri. 

Sampai-sampai aku berpikir, mengapa pesisir pantai diciptakan untuk manusia? Dalam pikiranku adalah supaya manusia dapat berenang-renang dan bersenang-senang. 

Dari sisi kehidupan manusia, pantai akan siap menjadi penampangan beban-beban dari masalah hidup yang ada. Dengan keluasan air tidak berujung. Maka, rasanya wajar apabila pantai begitu muat menampung keluh kesah manusia. 

Memang, hidup selalu menghadirkan masalah dari segala sisi. Ketika masalah hadir dalam keluarga, tetapi dengan pergi ke pantai dapat menyatukan keluarga dalam kesenangan dan melupakan masalah sejenak dalam keluarga. 

Kejernihan airnya mampu menjernihkan pikiran dan seakan-akan semrawut di pikiran dibawa sepoi-sepoi angin berkelana. Meski akhirnya dikembalikan lagi ke pemiliknya. 

Aku akan menjadi pendiam di sini. Sebab, aku dapat menikmati wajah-wajah senang orang-orang tersayang. Tercetak jelas seperti buku romantis di rak-rak best seller. 

Kemudian aku menyatu bersama para keluarga yang saling bertukar tawa di pesisir pantai. Dalam benak aki takut untuk pulang dari pantai. Takut menghadapi masalah kembali. 

Namun, itu dulu. Saat ini yang tersisa hanyalah kenangan. Tumpukan ban menjadi saksi bahwa aku dan adik berebut ban. Perahu menjadi saksi bahwa kami berusaha menghindar perahu. Pasir pernah menjadi saksi dan sasaran empuk untuk membuat istana pasir, menimbun diri, atau sekadar mencari kerang. 

Meski hanya kenangan, tetapi itu cukup mengobati rindu yang tidak akan pernah bisa terpenuhi. 

Komentar