Langsung ke konten utama

diserang pikiran sendiri

PIKIRANKU sakit. Dia sakit jiwa, meski tidak berjiwa. Dia keji, meski tidak punya hati. Dengan tega, berulang kali menusuk, memukul, menyabet, merajam, apa pun kegiatan pencipta derita dan luka. Si paling lihai merangkai kalimat-kalimat kosong. Tidak ada artinya. Alih-alih solusi, tiap kata membuat pucat pasi. Ia memang songkak, hanya memikirkan dirinya sendiri. Tidak memikirkan hati yang dibuat porak poranda karena betapa suntuk pikiran berkecamuk. Kalau diam-diam saja membusuk, bila dibiarkan akan makin mengamuk. Tempurung sialan, beban bertambah hanya untuk mengurusi pikiran mematikan. 

•••

Rasa-rasanya dia kesal atau marah padaku. Tiba-tiba saja perilakunya lebih banyak diam. Tidak begitu gubris pada sekitar, sebenarnya lebih padaku. Berkali-kali kudekati, mencoba bertanya basa basi yang akhirnya berakhir mengutuki diri sendiri. Mana suka dia basa-basi, Bodoh! Bisa-bisa makin kacau dan makin tidak berselera saja untuk sekadar melihatku. 

Jadi, sedari tadi kuketuk-ketuk meja, resah, gelisah, takut kalau-kalau dia memang sedang menjauh. Kucoba berlari ke waktu-waktu sebelumnya, ah, manakala aku berbuat sebuah kesalahan, kan? Bisa jadi dia tidak mau mengatakan apa salahku karena mungkin saja dia merasa tidak enak hati. 

Suasana kelas sastra kali ini lengang. Segelintir mahasiswa berkutat pada buku tebal. Beberapa sibuk berjibaku dengan gawainya, kadang-kadang melirikku dengan kening berkerut, kemudian kembali pada kegiatannya, tidak acuh. Aku pun tidak begitu menggubrisnya. Keheningan yang mendominasi, paling tidak, membantuku menemukan kesalahan tidak disengaja apa yang telah kuperbuat?

Namun, makin kupikirkan makin tercipta gulungan rumit di jaringan otak. Apa aku salah merespons pernyataannya, ya? Akan tetapi, apa dia akan marah dan sensitif? Setahuku dia cukup cuek dan, ya, dia seperti dinding kokoh yang hanya bisa dihancurkan oleh nuklir. Kalau dicerna-cerna, mana mungkin, kan? Namun, bukankah hati dan perasaan orang tidak ada yang tahu?

Aku mengerang pelan dan sedikit membenturkan kepala ke permukaan meja. Apa yang sudah kulakukan sampai-sampai membuat dia jadi berjarak padaku? Tidak tahukah dia bahwa aku berusaha maksimal untuk tidak mengikis jarak sedikit pun! Siapa yang dengan mudah jauh-jauh dari tempat ternyaman?

Kembali kuangkat kepala. Pikirkan kembali, apa salahku? Apakah ini tentang perilaku yang membuatnya risi? Atau bahkan dia jadi hilang feeling? Ya ampun. Ini fatal! Apa kemarin cara tertawaku terlalu bahak? Apa cara makanku yang berantakan dan langsung pakai jari, membuatnya jijik?

Dia memang tidak berkomentar apa pun. Akan tetapi, bisa saja terjadi, kan? Rasanya aku harus mengubah tawaku bak perempuan manis dan lembut. Pikirku aku harus mulai membiasakan makan menggunakan sendok, meski hilang kenikmatannya. Namun, itu tidak masalah dibanding harus membuat dia tidak nyaman. Sungguh, tidak rela kubiarkan dia pergi begitu saja tanpa alasan kuat. 

Baik. Sudah saatnya meminta maaf. Ya. Dia akan memaafkanku dan menerima perubahanku dalam berperilaku dan bertutur. 

Baru saja hendak berdiri. Suara langkah sepatu bersahutan memasuki kelas. Keheningan tiba-tiba direnyahkan perbincangan berbobot nan asyik dua manusia. Perempuan dan lelaki itu melangkah bersisian, merusak kesunyian, kemudian duduk berdampingan tepat di depan meja dosen. 

Aku diam di tempat. Duduk kaki, yang berkutik hanya mata. Menyorot tajam dan sanksi dengan dua sosok tersebut. Lebih-lebih terhadap lelaki berkacamata, rambutnya tersisir rapi, lihat saja tulang wajahnya begitu longgar menerima kata-kata keluar dari mulut perempuan di depannya. Tidak bisa kupungkiri, seakan-akan percikan api mulai terpantik, bila sudah menjadi bola siap-siap kuempaskan kepada perempuan itu!

Hidungku sudah kembang kempis. Dada sesak karena menahan ketidaksukaan akan pemandangan di luar ekspektasi. Ketika aku berusaha Instrospeksi diri, lelaki itu sibuk haha hihi. Ketika aku sibuk memikirkan cara agar tidak berjarak. Lantas, lelaki itu mendekatkan jarak dengan perempuan lain, bison denganku!

Saking tajam dan menusuknya tatapanku. Perempuan itu sontak menatapku dan mengerutkan kening. Kemudian berbicara pada lelaki itu tanpa memalingkan wajah. Tidak lama, lelaki itu menoleh ke belakang—arahku—tanpa ekspresi. Tiba-tiba wajah tegang melunak. Kubuang wajah. Dia sudah membuatku marah. Tega sekali dia! 

Baik. Aku memang tidak sepintar perempuan itu. Aku memang tidak seperti perempuan itu. Aku memang tidak secantik perempuan itu. Perempuan itu benar-benar berkualitas. Wajarlah jika lelaki itu nyaman berada di dekatnya. Mana ada orang nyaman berada di sekitar manusia bodoh dan tidak menarik sama sekali!

Setitik air mulai membendung di sudut mata kanan. Rasa sesak di dada mulai menjalar hingga ruang tenggorokan. Aku menunduk, tutup mulut dan jangan sampai menangis di sini, Bodoh! Malu, malu! Sabodo, aku berdiri dan hendak berjalan keluar kelas. 

"Kenapa?" Pertanyaan dari suara berat di sampingku mengurungkan niat untukku pergi. Namun, aku tidak ingin menoleh. 

"Enggak," jawabku seadanya. .

"Akhir-akhir ini lagi sibuk ngurusin tugas. Jadi, aku nemuin Kak Fitri untuk konsultasi."

Tahu? Ini seperti telah terjadi kebakaran akbar yang berhasil dimatikan oleh pemadam lebaran terbaik hanya dengan satu entakan. Air tidak lagi membendung, buru-buru masuk ke persinggahannya. Suhu yang tadinya memanas, berangsur sejuk. 

Namun, sedetik kemudian baru kusadari. Memangnya aku siapa harus sampai marah? Nyatanya, tidak ada yang saling memiliki antara aku dan dia. 

Tempurung benar-benar bodoh!

Komentar