Langsung ke konten utama

hilang

AKU telah siap akan kehilangan. Ini tentang raungan para manusia, melulu berkoar atas ketidakterimaan diri karena telah merasa kehilangan. Dalam teriak meraung, kudapati spektrum mengalun kacau mengabar pada telingaku. Kehilangan adalah masalah paling meresahkan, begitulah suara raung itu menggebu dengan emosional. Dihabiskan berhari, berminggu, berbulan, bahkan bertahun-tahun untuk akhirnya bisa menerima yang telah hilang. Itu pun yang hilang masih terngiang-ngiang. Menghantui masa dengan kisah di masa lalu. Maka, dari isakan tersiksa para manusia itu, kusiapkan diri menghadapi kehilangan. 

Hanya saja permasalahannya adalah, siapa atau apa yang bersedia menjadi objek untuk singgah di hidupku dan kemudian menghilang? Nyatanya, aku pun seorang diri di gumpalan bumi. Mengarungi hari-hari tanpa cerita, warnanya abu-abu. Siapa yang mau sejenak saja singgah. Bisakah aku merasai rasanya kehilangan? Bolehkah aku meresapi luka-luka untuk menggerogoti hati yang kosong? Maukah semesta menghadirkan sosok untuk kucintai, kemudian yang kucintai memilih menghilang dan akhirnya aku kehilangan. 

Kaki tiba-tiba melangkah. Menjajaki rerumputan halus nan hijau. Sementara, di sana sore tengah bersukacita akan segera bertandang kepada senja. Sepoi-sepoi angin melambaikan rambut panjangku. Entah ke mana langkah tertuju. Di hamparan rumput yang luas ini, begitu rindang, meski hanya ada satu pohon besar di tengah-tengahnya. Pohon itu sama hijaunya dengan rumput. Batangnya begitu besar dan kokoh. Rantingnya menarik diri untuk menjadi peneduh. Lantas, kaki pun berpijak di bawah pohon. Paparan matahari sore telah dihalangi daun-daun lebat. Jadi, aku tersenyum merasa tenang dan senang. Rasa kehadiran tiba-tiba mulai menyergap dan merengkuh. Kali ini atas kendali, kudekati batang pohon dan menjadikannya sandaran. Kupejamkan mata, akhirnya wku bersandar. 

Di kala angin menari, ada satu jari. Mengetuk pipi kananku tiga kali. Kubuka mata dan tepat di depanku berdiri sosok lelaki bertubuh tinggi. Dia bagaikan siluet karena membelakangi cahaya matahari. Namun, aku merasakan ada senyuman menyapaku. Kemudian, tangan lelaki itu terangkat mengusap-usap kepalaku. Kemudian lelaki itu mundur sampai aku benar-benar bisa melihatnya dengan jelas karena paparan sinar matahari. Dia masih tersenyum. Tidak lsma sesuatu mengetuk pundak kiriku. Aku menoleh dan menemukan seorang perempuan memiliki rambut yang hampir sama denganku. Dia berdiri di hadapanku, mengelus kepalaku, kemudian mundur berapa langkah dan berdiri di samping lelaki itu. 

Senyumku mulai pudar, meski mereka masih memberikan senyuman lebar. Tiba-tiba mataku menjadi sayu. Namun, belum sampai emosiku meraba-raba apa yang sedang terjadi. Dua telapak tangan kini menyentuh kepala dari sisi kanan dan kiriku. Aku tidak menoleh karena aku tahu dua orang itu akan berdiri di hadapanku. Namun, tidak. Selanjutnya kurasakan dua orang itu memelukku erat. Begitu lama. Aku merasai sebuah senyuman lagi-lagi menghampiriku. Akan tetapi, bibirku tidak bisa mengembangkan senyum. Yang ada terkatup, rasa sesak menyergap, pandangan mata makin sayu, mulai mengabur. Tatkala pelukan itu lepas, kemudian kedua orang itu mundur sedikit berdiri di hadapanku. Mereka adalah wanita dan pria paruh baya. Tidak lama kemudian, kedua orang itu kembali mundur dan berdiri di antara perempuan dan lelaki tadi. 

Aku terdiam. Sandaranku terasa basah. Aku tahu wajah-wajah itu. Aku tahu mereka. Mereka yang dulu pernah menjadi isi lalu pergi. Dua orang paruh baya itu pertama-tama pergi menghilangkan rasanya, tetapi kemudian kedua orang itu pergi dan menghilang karena takdir telah memutus usia mereka. Sementara, perempuan dan lelaki itu sampai saat ini kasih menghilangkan perasaannya. Seakan-akan kisah bahagia kami hanyalah dongeng sebelum tidur. Lamat-lamat tubuh mereka memudar, berbayang, dan menghilang. Aku telah kehilangan. 

Tidak.

Lebih tepatnya, aku telah merasa kehilangan sejak lama. Saking lamanya sampai-sampai lupa bagaimana rasa kehilangan. Sebab, telah nyaman berteman dengan sepi. 

Komentar