Langsung ke konten utama

sudah

KALAU SUDAH, ya, sudah. Sebetulnya sudah dari kala itu telah mencapai titik sudahnya. Namun, kamu tidak juga mau sudah. Pikirmu belum. Masih ada waktu, katamu. Entah memang masih ada waktu atau memang kamu memaksa waktu untuk ada. Ada membiarkan kembali mengusahakan apa yang sebetulnya benar-benar sudah. Dengan segala luka yang tidak ingin dirasai. Kamu hanya belum menerima bahwa semuanya menjadi berkesudahan. Kamu hanya tidak mau berkata, "Ya sudah." akan sesuatu yang telah menjadi sudah. 

•••

KAMU juga maunya sudah. Akan tetapi, percikan harapan tersisa tidak henti-hentinya beraksi. Dalam tiap interaksi sekecil apa pun, percikan bisa-bisa saja meledak dan akhirnya berkobar. Namun, kamu menikmatinya. Kamu merasainya. Kamu membiarkannya. 

Kamu tahu bahwa harapan itu tidak akan ada jawaban. Setelah kenyataan kamu ketahui, bahwa harapan telah raib ditampar kenyataan yang berbalik dengan ekspektasi. Memang dasar kamu bebal dan nakal. Memilih untuk terjebak dalam luka tidak berkesudahan. 

Kamu pikir kamu bisa bertahan dalam batas waktu yang entah kapan. Kamu benar-benar sudah hilang akal. Dirimu dikuasai rasa tanpa logika. Kamu lupa bahwa manusia tidak hanya punya perasaan, tetapi akal untuk berpikir. Saking membludak rasa, memenuhi ruang dalam dirimu. Sampai-sampai akal tidak punya tempat untuk bekerja. Pada akhirnya, kamu hanya mementingkan keinginan akan sebuah rasa yang semu. Dan pada akhirnya, kamu akan lelah karena memanjakan rasa. 

Itulah kamu. Masih saja berdiam diri, terduduk di sebuah bangku kayu dicat putih. Semilir angin tidak mempan membawa pergi harapanmu. Sebab, digenggam kuat sekali harapan itu, bahkan telah terikat dengan tubuhmu seutuhnya. Beruntunglah langit kala itu iba padamu karena tidak membiarkan terik surya memaparkan kulit sensitif itu. Di tengah-tengah taman bunga. Tidak diacuhkan lalu lalang orang di sekitar. 

Kamu hanya duduk saja. Tenang sekali. Matamu sesekali beredar ke sudut-sudut taman. Kalau tidak menemukan sosok yang kamu harapkan, bibir tipismu menjadi datar atau melengkung ke bawah, kemudian kepalamu tertunduk. Namun, kamu adalah si kuat yang tidak pantang menyerah. Entah pantang menyerah atau tidak mau menerima apa yang telah menjadi sudah. Kamu akan kembali mendongak setelah menormalisasi ekspresi wajah menjadi berseri-seri, mata nyala berbinar, senyum terkembang. Dan kamu menanti. 

Dalam genggaman, ada harapan yang setidaknya harus sampai di tangan sosok itu. Dalam harapan, ada harapan sosok itu akan menerimanya. Ya, untuk saat ini barangkali kamu berpikir bahwa sosok itu akan berubah pikiran dan memilih untuk menerima harapan dalam genggamanmu. Kamu, benar-benar bebal dan nakal. 

Sudah jelas sekali sosok itu tidak akan menerima. Sebab, kamu tahu sendiri, kan, beberapa bulan lalu. Harapan itu sudah pupus, sudah kandas, tatkala sosok itu bilang tidak dan sudah. Harusnya kamu balas, "Ya sudah.", terima dan rasakan, nanti akan raib sendiri. Ya, tetapi kamu tidak akan seperti itu, kan? Kamu memilih untuk kembali menggenggam harap dan melukai diri sendiri.  

Lihatlah dirimu. Terduduk lemah, dayanya menipis. Berbungkus luka sana sini yang tidak segera dipulihkan. Kamu lagi-lagi berkata, "Sosok itu akan datang dan aku akan pulih."

Sejatinya kamu tahu, sosok itu tidak akan datang dan kamu akan sekarat karena luka-luka babak belur atas rasa semu.

Komentar