Langsung ke konten utama

mengais premis

TUJUAN? Sebentar, kauambil napas panjang untuk kemudian tertawa seakan-akan reaksi natural terhadap pertunjukan lucu. Namun, bukankah itu benar-benar komedi kehidupan? Layaknya novel-novel, premis menjadi syarat utama cerita peran utama dapat berjalan. Itulah alasan mutlak kautidak mau buang-buang waktu untuk menyentuh—apalagi membaca blurb. Menurutmu, hidup itu memuakkan. Untuk apa manusia dituntut punya tujuan, sementara semesta mempersulitnya? Berkali-kali kau dijorokkan, dilempar, dituding, sampai-sampai tujuanmu dibuat mangkrak, tidak ada perkembangan. Baru saja merajut tujuan lama, semesta sudah merundung. Seperti, hidup dan semesta saling mendorong dan membuatmu terimpit. Sebab, hidup memintamu untuk bertujuan, tetapi semesta adalah musuh bebuyutan yang siap menghadang pergerakan majumu. Kausudah jengah berteriak ngotot, menghabiskan air mata, sampai-sampai mati rasa. Terserahlah, persetan dengan peran utama!

Manusia tanpa gairah dan hasrat. Begitulah orang-orang lain memberi istilah nyentrik—entah nyentrik atau miris, kautidak peduli. Orang-orang itu kauanggap bagian dari semesta, tukang perundung! Kauselalu mengumpat jika telingamu menangkap mulut-mulut itu dengan basi mengeluarkan diksi tidak berisi. Kasihan sebenarnya orang-orang itu, si paling punya tujuan, tetapi tidak ada etika sama sekali. Namun, kaujuga menyadari tidak lebih baik dari mereka, ya, kautidak punya tujuan. Ironinya orang-orang itu mengungkapkan kebenaran menohok. Kautidak punya tujuan. Akan tetapi, angin segar untukmu karena setidaknya etikamu tidak seburuk itu. Meski jauh di palung hati, dengan berat hati memiliki secercah perasaan ingin seperti orang-orang itu, punya tujuan yang didukung semesta. 

Kalau pagi, ditemani kicauan burung, berkendara tunggangan besi mahal pergi ke bangunan pencakar langit, duduk di hadapan layar kaca, berjibaku bersama angka. Ada pula sekadar berkeliling, tetapi mulutnya menjajakan mata pencaharian untuk menyambung hidup, meski surya tengah congkak. Bahkan muda-mudi berseragam saling bertaut menuju gedung pendidikan yang memiliki tingkatan, hingga seakan-akan tujuan mereka tiada habisnya.

Ada masanya, kauakan menertawakan dirimu sendiri, merana, suram, kelam, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Seperti saat ini, di pinggiran jalan, di tengah hiruk pikuk perkotaan, kau hanyalah seonggok dari banyaknya lalu lalang aktivitas tanpa batas. Duduk kaku, di barisan orang-orang dengan tujuan berbeda. Ada yang baru berangkat kerja, berangkat sekolah, berangkat berjualan, ada pula pedagang kaki lima. Satu per satu dari mereka mulai meninggalkan tempat dan hanya menyisakan kausendiri. Pedagang kaki lima pun telah mencari keramaian lain. 

Kauhela napas. Mengutuk diri, mengapa harus mengikuti kemauan diri yang ingin keluar di pagi hari. Jelas sekali itu waktu aktifnya para pengais tujuan. Sementara, kauhanya—sudahlah, akhirnya kautidak melakukan apa pun selain memandang kendaraan saling bersahutan di depan trotoar. Baru saja beranjak untuk pulang, pergerakan kecil terasa di sampingmu. Seorang lelaki mendaratkan diri, wajahnya sumringah, rambutnya cepak klimis, sorot mata sipitnya tampak menghadirkan keyakinan, tubuhnya tegak dan pasti dibalut kemeja putih bersih dan halus seperti disetrika berjam-jam, sementara kaki panjangnya dibalut celana dasar hitam, dan sepatu pantofel. Tegas sekali dia, seakan-akan optimis hari ini adalah hari terbaiknya. 

“Aku akan melamar pekerjaan di PT Telkom Indonesia, IndiHome, kautahu?” 

Seketika alismu berkerut. Apa-apaan lelaki itu? “Apa maksudmu?”

Seraya menata sedikit poninya ke kanan, lelaki itu menatapmu. “Tatapanmu tadi, seperti sedang melempar pertanyaan tujuanku hari ini.”

Kau berdecak. Ah, pilihan keluar rumah pagi hari ini memang keputusan yang salah. Bisa-bisanya kautidak menyangka akan bertemu dengan orang punya tujuan, tetapi menyebalkan. “Orang punya tujuan sepertimu itu, terlalu percaya diri.”

Lelaki itu mengangkat bahu, tidak mengindahkan celetukanmu. “Kadang-kadang kita memang harus percaya dengan diri kalau kita bisa meraih tujuan. Begitulah.”

Telingamu tiba-tiba merasa geli, mau tidak mau kau terkekeh sinis. Sering kali berbagai rentetan motivasi dengan kalimat serupa. Namun, itu hanyalah angin lalu yang diembuskan sampai tidak berjejak sekali pun. Tidak tahan,maka kau menimpal, “Basi. Bahkan, semesta telah mematahkan kepercayaan yang semestinya dijaga.”

Tidak ada jawaban. Kaulihat lelaki itu sempat berpikir, memilah-milah tanggapan atas timpalan yang barangkali sedikit keliru. Sebetulnya, kaubukan orang yang tidak mau mendengar pendapat, kautahu bahwa tiap orang berhak berpendapat. Pengalaman orang berbeda, ‘kan? Dengan tenang, kauingin mendengar sekali bagaimana apakah lelaki itu akan sama seperti kebanyakan orang?

“Benar.” Lelaki itu mengangguk kemudian lanjut berucap, “Kaubenar bahwa semesta memang tidak bisa dipercaya.”

Kau tersenyum lebar. Ini adalah kenangan atas tanggapanmu. 

“Benar kalau semesta sampai kapan pun tidak bisa dipercaya seratus persen dan kau,” Lelaki itu menatapmu, “kurasa sedang apes karena menaruh kepercayaan pada semesta. Kautahu? Dalam meraih tujuan, percayalah pada dirimu sendiri bahwa kaumampu melawan semesta yang menghambat. Bukan percaya pada semesta yang jelas-jelas lawanmu.”

Kali ini kaukalah. Tidak telak. Akan tetapi, berhasil membuatmu berpikir lebih jauh lagi. Perlahan-lahan pintu di ruang otakmu mulai terbuka. Tidak secepat itu juga. Namun, itu membuatmu membatin, “Selama ini aku salah menaruh kepercayaan.”

Situasi berubah menjadi kikuk. Lalu lalang kendaraan sudah tidak seramai tadi. Kicauan pedagang kaki lima sudah meredam, hanya sesekali bersuara tatkala keramaian tampak. Berganti semilir angin hangat dari surya, suasana agak begitu sepi.. tampaknya aktivitas bertujuan itu telah dimulai sak0ai senja menyapa nanti. Tiba-tiba kau merasa enggan untuk beranjak. Seluruh pancaindra sedang memaksamu untuk membiarkan lelaki itu bertutur, sementara kau diminta diam saja.

“Tadinya aku pun menyerah karena tujuanku tidak pernah ada wujudnya.” Kali ini nada lelaki itu sedikit merendah, seakan-akan masa lalu itu ada titik terendahnya. “Namun, menyerah hanya membuatku jauh dengan tujuan. Pada akhirnya, tujuan itu bukan masalah siapa cepat dia dapat, melainkan berpijak di waktu yang tepat.” 

Kau bersandar pada punggung besi, lelaki itu juga. Pandangan kau dan dia menitik fokus di arah yang sama, di mana tempat kaki kalian berpijak. Seraya pikiranmu menerima asumsi baru dari lelaki itu tentang tujuan, kau berujar, “Kalau tujuan datang di waktu yang tepat, lantas sampai kapan aku harus menunggu?”

“Kauini orang yang mudah menyerah, ya, Nona?” hanya lelaki itu yang jelas sekali tidak membutuhkan jawaban, daripada itu kau mendengar lelaki itu tertawa kecil. “Tujuan itu bukan ditunggu, melainkan diraih. Memang kaupernah dengar istilah menunggu tujuan? Bukankah kaulebih sering mendengar istilah meraih tujuan, ‘kan?”

Daripada memukul lelaki itu, kaujustru memikul baik-baik kalimat per kalimat yang dilontarkan. Diam-diam kau bertanya, apakah pemahamanmu tentang tujuan selama ini adalah kesalahan? Bukankah bisa jadi kauterlalu cepat menyerah dan berasumsi bahwa tujuan hanyalah malapetaka yang menyusahkan hidupmu. Sekalinya, masing-masing orang punya kesusahan tersendiri, ‘kan? Ya, kaupun baru menyadarinya. 

“Lalu, bagaimana kau mencapai tujuan?” tanyamu setelah menurunkan ego. 

“Tidak mudah, tetapi itu bukan masalah. Daripada melawan semesta, aku lebih konsen untuk melawan diriku sendiri karena menjadi penghambat utama dalam meraih tujuanku.”

Kau mengangguk. “Bagaimana dengan semesta?”

“Soal itu, mengapa kautidak berdamai saja? Semesta itu labil, kasang ia akan memudahkan, kadang pula akan menyulitkan. Itu hal biasa. Kauhanya perlu bersabar sedikit dengannya.”

Lelaki itu berpaling ke arah kanan, dari jarak beberapa meter sebuah bus berwarna hijau memperlambat lajunya dan berhenti di hadapanmu dan lelaki itu. Sebelum lelaki itu beranjak, dia menepuk pundakmu dan memberikan senyuman tipis. “Selamat meraih tujuanmu. Lihat dirimu untuk menaklukkan tujuanmu. Ibarat bus itu yang tepat berhenti di depanku karena aku adalah tujuannya dak bus itu akan membawaku pada tujuan.”

Dengan optimis, lelaki itu menghampiri kernet yang membuka pintu dan membiarkan lelaki itu menjadi penumpangnya. Sampai bus itu telah menghilang dari pandangan. Sesuatu dalam dirimu mulai bersorak. Akhirnya, ada yang mendengarkan suara hati kecilmu yang selalu kauabaikan. Rentang betapa kauadaoah peran utama yang harus menghalau segala halangan dan rintangan untuk mencapai tujuan. Untuk pertama kalinya, kautemui seseorang punya tujuan dan dia menyenangkan. Maka, kaubangkit meninggalkan halte yang haru saja menjadi tempat bersejarah dalam hidupmu. 

Hari ini adalh awal bagimu untuk kembali merajut tujuan tujuan setelah kian lama. Kali ini kaulebih siap untuk membiarkan semesta melawanmu. Sebab, semesta bukan lagi musuh utama dan terbesarmu. Caci maki orang lain bukanlah musuh untukmu. Dalam perjalananmu, kausadari betapa kausendiri adalah musuh paling terbesar. Semesta dihadirkan kehidupan sebagai ujian untukmu. Nyatanya, kau membiarkan semesta menang telak, sementara’kau dibuat kalah mutlak. Pikiranmu berkelana pada masa-masa hari kemarin, kemarin, dan kemarinnya. Betapa dirimu tidak punya kepercayaan diri. Melulu membandingkan diri dengan orang lain. Mengumpat pencapaian tujuan orang lain lebih dimudahkan daripada kausendiri. Hari-hari itu dihiasi dengan olokan pikiran sendiri terhadap dirimu sendiri.

Kau terkekeh hambar. “Sialan.”

Memang sial sekali, ‘kan? Bagaimana bisa dirimu sendiri ikut menjadi orang menyebalkan? Bagaimana bisa kau menjadi perundung atas tujuan dirimu sendiri? Pikiranmu sudah terlalu penuh dengan pesimis, sehingga tidak ada ruang untuk berpikir positif. Betapa, tujuan akan selalu menemui orang yang tepat di waktu yang tepat. Seperti hus yang menemui penumpang dan mengantarnya sampai tujuan.

Kau. Rakit kembali premis. Kauingin menjadi pejuang, tetapi dirimu adalah penghalang, solusinya adalah kauharus melawan dirimu yang garang dan menyelamatkan dirimu yang selama ini terkekang. Sudah saatnya peran utama menuntaskan satu novel untuk satu tujuan.

Bisa jadi, semesta hanyalah segelintir musuhmu. Pada kenyataannya, saking bencinya dengan semesta, mana kala kau melupakan bahwa musuh terbesarmu adalah dirimu sendiri


#IndiHomenulis











Komentar