Langsung ke konten utama

perempuan di balik layar

PADA akhirnya, aku akan tenggelam juga dari ratusan nama-nama tertera pada layar kaca dalam genggamanmu. Perlahan-lahan, terkalahkan oleh realitas terdekatmu. Memutuskan untuk jatuh hati padamu di balik layar, hanyalah pengujian nyali yang sampai kapan pun tidak akan pernah menampakkan dirimu di hadapanku. Cinta memang butuh pengorbanan, tetapi itu berlaku bagi mereka yang saling mencintai. Kasus ini, hanya aku, kamu tidak, sama sekali tidak akan pernah. Seyogyanya, aku mudah terlupakan, layaknya satu butir pasir di hamparan pesisir pantai. Lamat-lamat, tentangku akan dilumat jarak dan sedikitnya interaksi. Kemudian, kamu sibuk bersama duniamu dan aku sibuk untuk berdamai dengan patah hati untuk ke sekian kalinya. 

•••

TATKALA kubuka mata dari mimpi tentang lelaki yang tidak kunjung datang. Maka, nama kamu kembali hadir kalau-kalau pagi menyapa. Sebab, kamulah lelaki yang kutunggu-tunggu di ujung bunga tidur. Tidak usah ditanya apakah kamu juga memikirkan hal sama denganku? Jawaban akan selalu tidak karena kamu tidak akan pernah membiarkan namaku sekedar singgah di tangkai saraf otakmu. Tidak apa-apa, cinta ini sifatnya sepihak, maka hanya aku yang bersikap meski tanpa pihak. Memikirkanmu seperti kebahagiaan dan kemirisan dalam satu waktu. Bahagia semu dalam harapan tanpa balas. Betapa nyata kemirisan tentang realitas kita tidak berjarak dan tidak satu rasa. Sebab, aku hanya ada di balik layar kacamu. 

Masih dengan namamu yang melekat, rutinitas hari dimulai. Kali ini berpindah ke dapur, meraih cangkir besar, meraih satu cup teh mentah, meraih termos, kemudian disatukan di atas meja yang sama. Sampai sini, namamu berkembangnya menjadi rupa-rupa muka, sebelah bibirku tertarik. Setelah cangkir berisi setengah air panas, kucelupkan teh dan membiarkannya membaur hingga berubah warna. Seraya meletakkan termos ke asalnya, kutimbun air panas dengan sedikit air biasa agar menjadi hangat. Bahkan, wajahmu makin jelas tercetak dalam bayanganku, itu lebih hangat daripada secangkir teh yang baru saja kuseruput.

Sejenak duduk di kursi. Membiarkan air teh memulai proses pencernaan hari ini. Keanehan ini selalu kulakukan, bibir menyunggingkan senyuman, sedikit saja lama-lama lebar sekali. Mataku menyentuh permukaan meja kosong, kemudian bergerak cepat melirik jam dinding. Ah, kamu pasti sedang sibuk menyiapkan diri untuk bertempur, ya? Kuletakkan kembali cangkir teh di atas meja, menopang dagu masih sambil menatap jam yang jarum panjangnya bergerak per detik. Tempo lalu, kamu mengatakan sedang menjadi perantauan di ibukota. Memulai hidup baru sebagai seseorang yang bekerja. Entah itu impianmu atau bukan, tetapi aku senang saat kamu sudah benar-benar selesai dengan urusan yang membuat kerumitan. Namun, aku menunggu-nunggu kamu berkabar tentang serumit apa kehidupan barumu saat ini. Tiba-tiba senyumanku berubah senyum hambar, tertawa kecil. Lagian, memangnya aku ini siapa kamu?

Sudahlah. Cepat-cepat aku meninggalkan dapur setelah mencuci bersih cangkir teh. Aku memang bukanlah perempuan yang ditakdirkan bekerja di luaran sana, meski ingin. Kadang-kadang hal ini membuatku minder, merasa tidak percaya diri jika disandingkan denganmu. Namun, sebagai perempuan yang mencintai diri sendiri, aku pun bisa berkarier melalui potensi yang kupunya. Ya, meskipun aku tidak begitu ahli, tetapi kupastikan aku bisa. Jadilah kubuka laptop setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian. Siap untuk menggali potensi dan asal kamu tahu, rupamu makin jelas di benakku. Betapa kamu sudah duduk tepat di depan layar komputer. Kamu bilang pukul enam sudah sampai di kantor dan sudah satu jam sepertinya kamu telah berkutat. 

Percakapan kita memang tidak pernah seintens itu. Akan tetapi, setiap percakapan mampu meletupkan percakapan api dalam hati, tidak bisa disangkal, percakapan sederhana bersamamu adalah waktu-waktu spesial bagiku. Sebab, hanya dengan itulah aku memastikan di dalam pikiranmu ada aku, meski tidak sepenting itu, tetapi bagiku itu menyenangkan. Sayang sekali, percakapan itu jarang sekali terjadi. Sering kali aku menerka-nerka, saat kita sedang tidak saling bercakap, sedang memikirkan apa kamu? Ada pemikiran anak-anak menelusup, sudah pastilah kamu akan mengemban asmara dengan perempuan di sekitarmu. Itu menyakitkan memang, tetapi ya sudahlah, aku bisa apa? Lagi-lagi, aku tanya perempuan di balik layar yang kalah telah dengan perempuan di realitasmu.

Hari-hariku dipenuhi dengan notifikasi pesan darimu. Itu jarang. Pernah sesekali itu darimu dan rasanya aku seperti lompat di atas trampolin. Itu harapan rutin dan kosong. Sering kali aku akn akan menyibukkan diri untuk belajar ngeblog atau upgrade diri. Sebab, hanya dengan itu aku dapat menyingkirkan namamu sejenak dari pikiranku. Namun, bayangan dirimu akan kembali hadir tatkala jadwal makan siang hadir, seperti saat ini. Kira-kira siang ini kamu makan apa dan dengan siapa? Aku selalu memikirkan skenario terburuk sebagai alasan untuk membuang jauh-jauh perasaan sepihak ini. Makin hari, makin terasa sulit, tetapi aku mwyakinkan bahwa aku dan kamu tidak akan pernah menjadi kita. Sehab, aku hanyalah perempuan di balik layar genggamanmu yang tidak akan pernah menjadi bagian dari prioritas. Ya, memangnya aku siapa? Tiba-tiba aku merasa sedih dan patah hati. 

Bolehkah aku mengeluh pada takdir, mengapa aku selalu mencintai seseorang yang pada akhirnya tidak mencintaiku? Akan selalu aku yang berjuang keras memulihkan patah hati dari rasa yang tidak bisa dimiliki. 

Setelah makan siang. Aku memilih untuk fokus di layar laptop. Belajar. Belajar mengembangkan kemampuan diri. Bukan mengembangkan perasaan. Belajar menggali potensi. Bukan menggali hati yang tidak akan pernah ditemukan. Belajar untuk berproses menjadi perempuan yang berkualitas. Bukan belajar menjadi Perempuan di balik layar genggamanmu untuk menjadi prioritas. Sebab, sejak awal aku sudah tahu, bahwa kamu tidak akan menyatukan perasaan di antara kita. Sementara, aku tidak ingin melaksanakan itu. Aku pun tidak bisa serta-merta semudah itu membuang perasaan yang sebelumnya sudah kubangun sedemikian rupa. Akan tetapi, perasaan ini tidak akan pernah kusesali karena aku senang mencintaimu, meski aku sedih karena patah hati. 

Perlahan-lahan, aku yakin, perasaan ini akan tenggelam seperti senja yang menemui malam. Kalau sudah senja, aku biasanya akan duduk santai di teras belakang. Menikmatinya angin sore. Dalam pergerakan semua, aku selalu berharap kamu pulang dengan selamat dan esok berbahagia dalam menjalani hari. Bersamaan dengan senja menemui ujungnya, aku pula berharap agar aku tidak lagi menjadi perempuan di balik layar genggamanmu yang mencintai kamu, tetapi aku akan menjadi salah satu perempuan di balik layar genggamanmu yang menganggapmu lelaki di balik layar genggamanku yang pernah menjadi spesial dalam hidupku. 

Komentar