Langsung ke konten utama

perempuan pukul empat sore

PEREMPUAN itu, dalam tutur lembut penuh penekanan, menguarkan aroma kejujuran berjanji untuk menemuiku pukul empat sore di halte dekat toko bunga. Aku tahu, perempuan itu amat menyukai harum bunga-bunga yang berbeda, bersatu padu dalam satu ruangan, tetapi tali aroma para bunga itu terjalin sampai halte tempatku duduk. Sayang sekali, toko itu berada di letak tidak strategis, para bus dan mikrolet berlalu lalang, mangkal di halte mencari mangsa untuk memenuhi isi perutnya. Kadang-kadang kendaraan pribadi juga berkontribusi mengeluarkan asap-asap dari bokong mereka. Nahas, netra berbingkai lensa bulat tebal ini tidak henti-hentinya menyimak bus atau mikrolet berpijak di depan, mengamati satu per satu penumpang yang sekiranya sudah sampai tujuan di sini. Tepatnya, menantikan perempuan membawa janji untuk menuju ke sini. Sebetulnya, itu tidak perlu karena ini masih pukul tiga lewat tiga puluh sore. Namun, mana tahu perempuan itu jauh tepat waktu, kan?

Dalam penantian mendebarkan, sumbu manis tidak bisa enyah sejak matahari pagi tadi menyembul. Kadang-kadang malu sendiri bila banyak pasang mata menatap keruh dan takut ke arahku. Akan tetapi, bila dibayangkan tentang perempuan itu akan datang, rasa malu menjelma ketidakacuhan. Perempuan itu, beberapa waktu lalu—masih dalam tutur sehalus kapas putih berkata padaku, “Tatapan tajam dan ujaran sinis orang lain tidak punya tempat di bagian mana pun dalam diri kita.”
Itu benar. Tidak akan ada ruang bagi kerusakan yang beracun untuk sekadar singgah, bahkan sampai merebak menggerogoti mental diri. Hebat, dalam satu kalimat tegas kemudian menempati dua ruang dalam diriku, pikiran dan hati. Tidak hanya tiap kalimatnya yang mampu meneduhkan tiap bagian dalam diriku, tetapi sosoknya yang lembut dan percaya diri seakan-akan menopang tulang-tulangku yang hampir-hampir luruh. Ingat betul, dalam pertemuan pertama kali di suatu sore bukan pukul empat, melainkan hampir petang—matahari kala itu terbirit-birit ke entah negara mana. Namun, langitnya diwarnai oranye dan kuning teduh, orang-orang menyebutnya senja. Aku menyebutnya cinta karena ia telah menjadi saksi tumbuhnya sesuatu magis dalam hati yang sudah lama kosong. 

“Ini,” katanya seraya mengulur kain merah muda, “kadang laki-laki memang paling mudah menangis kalau sudah patah hati terlalu dalam.”

Cepat-cepat kuhapus paksa lukisan air mata yang susah payah kukeluarkan sepenuh hati, tetapi itu percuma, bercak-bercak air justru merata memenuhi seisi muka. Tiba-tiba aku malu, aku berdiri hendak pergi saja dari sana sebelum kamu mengenal wajahku dengan baik. Gagal, tanganmu yang lembut, dengan kuat justru menarikku sampai membuat bokongku bertemu tatap kembali dengan kursi halte yang begitu panjang. Setidaknya, jalanan petang itu sudah sepi, toko-toko tidak begitu ramai—untuk kota kecil seperti ini, habis petang akan ditutup, begitu juga dengan toko bunga yang sudah siap-siap menutup diri. Harapannya, bahwa para orang di balik toko-toko itu tidak melihat bagaimana aku melukis air mata dalam diam dan sedu, amat memalukan seorang lelaki merana di sisian jalan. 

“Laki-laki juga manusia, butuh mengeluarkan air mata,” ujarmu dalam untaian suara yang selirih angin, tetapi begitu tajam menusuk. “Menangis itu bukan kelemahan, melainkan kekuatan.”
Aku menunduk, ada desiran yang mengalir dalam diri. Sampai-sampai bulu kuduk meremang, bereaksi begitu hebat menerima tuturan perempuan yang untuk pertama kalinya kudengar begitu perhatian. Ketika wanita yang melahirkanku memaksaku untuk diam di kala menangis, tetapi perempuan asing ini memintaku untuk terus mengeluarkan mata. Ketika banyak perempuan air mata lelaki adalah kelemahan, tetapi perempuan yang baru saja kutemui ini justru menjadikan air mata lelaki sebagai kekuatan yang manusiawi. Tiba-tiba dalam patah hati teramat dalam, memang lukanya masih basah, tetapi kehadiran perempuan itu #seakan-akan penawar termahsyur. 

Itu pertemuan pertama yang membuatku harus mengutuk diri karena tidak kukegahui nama dan asalnya. Sebab, terlalu sibuk menangis di balik kain merah muda, ketika mendongak tidak lagi kutemukan dia di sisik. Tiba-tiba makin hampa, perempuan itu baru saja di dekatku tidak sampai lima menit, tetapi kepergiannya menciptakan ruang kosong tersendiri. Esok sore, tiga puluh menit lebih awal sebelum petang, aku kembali lagi, duduk di halte, menggenggam kain merah muda. Mana tahu, perempuan itu akan kembali dan benar saja, dalam balutan dress biru laut senada dengan jepit yang menjuntai di sisi gelombang rambut panjang terurai. Dalam balutan sederhana, perempuan itu terpancar lebih indah dari sinar jingga di atas saja. Bukan pujian, melainkan begitulah mataku menyatakan tubuh berisi perempuan yang sudah duduk di sampingku. Semerbak vanila menguar dari dirinya, menenangkan pikiran dan hati semrawut karena beban hidup. 

"Kamu patah hati lagi?" tanyanya membuyarkan keterpanaan mengagumi makhluk hampir sempurna ini. Tiba-tiba jantung berdebar hebat, tidak mungkin ini jatuh hati setelah baru saja kemarin patah hati. Aku tidak mungkin jatuh semudah itu atau memang perempuan itu punya daya pikat kuat.

Kikuk dan kaku, aku membenci diri yang mudah gugup dan berkeringat dalam situasi seperti ini. Sejatinya, hanya ada dua pertanyaan penting, nahasnya sudah lenyap dari ingatan, entah ke mana angin senja membawanya. Bodohnya, kuusap bulir-bulir keringat akan jatuh dengan kain merah muda yang seharusnya kukembalikan. 

"Tidak. Aku hanya sedang duduk dan menunggu—" Apa harus kukatakan bahwa aku menunggunya di sini? Akankah perempuan itu tiba-tiba merasa takut dan menjauh karena terlalu cepat? Oh, tentu, tidak akan kulakukan perkataan penuh risiko tersebut. 

"Menunggu seseorang, ya?" Entah perempuan itu bertanya atau tidak, tetapi dia hanya mengangguk dan memahami. "Kalau begitu tunggulah, aku buru-buru sebelum petang."

Aku kelabakan. Tidak, perempuan itu seharusnya tidak pergi. Belum ada pertanyaan yang terjawab dengan baik. Biarkan tidurku lelap dalam damai tanpa rasa penasaran yang menyiksa. Jadi, aku ikut beranjak dan memintanya untuk berhenti. 

"Ya, ada apa?" Perempuan itu berbalik, kami saling berhadapan, berdiri di depan toko bunga. 

"Saya Atmaja, kamu?" Kuulurkan tangan. Tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan. Hari itu setidaknya aku membawa pulang nama yang siap memberi pertunjukan menari di ruang pikir kemudian membawa lelap pada mimpi indah. 

Kemudian, tangan lembut nan dingin karena udara ditembuskan angin malam, mulai menyambut uluran tanganku. Saat itu pula, hati yang berserakan saling berpijak dan menyatu satu sama lain. Patahannya tersamarkan oleh lilitan lembut yang menenangkan. Tatkala namanya menguar dari bibir tipis perempuan itu. "Saya Sukma."

Tidak pernah kudengar nama seindah itu. Dia benar-benar sukma yang merasuk dalam benak. Dia adalah jiwa yang ditakdirkan bertandang padaku. Maka kulepaskan uluran tangannya dan cepat-cepat berkata, "Mari kita bertemu kembali, Sukma."

Sukma tampak berpikir sejenak. Dalam hati takut perempuan itu akan padat waktunya. Namun, dia mengangguk dan berujar, "Besok pukul empat sore di halte tadi."

Itulah hari kemarin yang membuat peristiwa hari ini terjadi. Penantianku jelas hanya tertuju pada Sukma. Tidak usah ragu kukatakan bahwa aku hanya menunggu Sukma datang dan duduk di sampingku. Membicarakan tentang dia dan aku sampai akhirnya petang mengakhiri diskusi manis kami. Setidaknya, itulah yang tersusun dalam skenario kepala seorang Atmaja. Ya, aku Atmaja yang siap jatuh hati kembali dan memulai lembaran baru. Sampai sayup-sayup angin membawa suara riang Sukma, aku menoleh, dia tengah berpijak di depan pintu toko. Sementara, masih ada waktu sepuluh menit lagi sebelum perempuan itu menghampiri. Namun, sebagai laki-laki, beranjak dan kali ini lebih terlatih. Di dalam tas kertas berisi kain merah muda dan setoples cokelat untuk Sukma. Dalam tiap langkah yang begitu yakin, diiringi semilir angin, deru kendaraan yang begitu syahdu, bahkan langit sore yang siap menjadi saksi awal mula Sukma dan Atmaja berjalin kasih. Akan tetapi, aku berhenti ketika seorang lelaki berkemeja putih yang sedikit kusut pada bagian lengan, celana dasar yang menutupi kaki panjang, dan sepatu pantofel yang begitu tegas. Sukma menyambut laki-laki itu dan merengkuh dalam pelukan yang begitu hangat. Terpancar sinar yang lebih memikat dari kemarin saat Sukma memeluknya. Mata bulatnya terpejam, bibirnya terkembang, lengannya begitu kuat memeluk laki-laki itu. Aku pernah melihat pemandangan seperti itu, mereka seperti dua kasih yang sudah lama dipisahkan oleh jarak dan waktu. Menjadikan rindu terkikis dan berjanji tidak akan terpisahkan lagi. 

"Aku merindukanmu, Surya, amat rindu. Kutunggu di sini sebelum petang menyapa. Toko bunga ini menjadi saksi bahwa cinta kita tercipta, terpisah beberapa waktu, dan kini bertemu untuk bersama selamanya. Surya, aku benar-benar merindukanmu."

Perlahan-lahan aku bergerak mundur. Di bawah langit yang cantik, ada kekasih yang memantik kasih. Di bawah langit yang juga semdu, terdapat satu laki-laki yang merunduk pilu. Pukul empat kurang lima menit. Kutinggalkan tas kertas di atas bangku halte yang sepi. Sampai bus berhenti di hadapanku, biarlah aku menjadi mangsanya, biarlah bus ini membawaku tanpa tujuan asal tidak kembali ke sini. Aku menanti Sukma, tetapi Sukma menanti Surya. Terduduk di sisi dekat jendela, memandang jalanan begitu cepat supir melaju. Membawaku pergi menjauh dari perjanjian pukul empat sore yang sudah berlalu satu menit lalu. Aku tertawa sumbang, kali ini tidak ada air mata menderai karena Sukma tidak akan datang untuk membiarkan air mataku keluar. Lucu sekali, kupikir Sukma datang sebagai perempuan yang meluluhkan patah hatiku. Aku salah, dia hanyalah perempuan ajaib yang mengatakan air mata itu milik siapa pun baik perempuan maupun laki-laki. Biarlah Sukma tidak menemukanku, tetapi Sukma akan tahu ada hati yang tertinggal di halte pukul empat sore. Maka, aku Atmaja, berjanji tidak akan jatuh hati sampai cinta benar-benar berpihak padaku. 

Komentar