Langsung ke konten utama

saat kecil

SAAT KECIL kita tidak pernah tahu, bagaimana dewasa menjemput kita? Kita hanya tahu caranya tertawa dan bertikai. Kita hanya memahami, kita akan tumbuh makin tinggi. Akan bekerja seperti orang-orang besar. Akan sibuk seperti Kakak-Kakak kita. Saat kecil, kita bermain bersama, membuat isi rumah jadi berantakan. Kita sama-sama terkena amarah ibu. Kemudian, kita saling melempar tatapan tajam dan saling mengalahkan. Namun, besoknya—seperti keajaiban, masalah kemarin hilang dan kita kembali bermain bersama. Kadang-kadang kita saling melindungi dari Teman-Teman menyebalkan. Kita tahu bahwa kita saling menyayangi, tetapi kita tidak pernah ada waktu untuk mengungkapkannya. Bukan masalah waktu, melainkan masalah kesiapan.

•••

PADA SUATU HARI yang tidak pernah terjadi. Aku duduk di tengah-tengah dua anak laki-laki. Lebih tepatnya memaksa keduanya memberikan tempat duduk di antara mereka. Sebagai kakak perempuan, tentu harus menjadi pusat. Kita sama-sama duduk di atas loteng, sementara matahari mulai meninggalkan jejak oranye. Jarang sekali kita melakukan hal ini, duduk santai tanpa adu mulut. Damai sekali, seakan-akan angin sore itu mampu mencegah aku dan dua anak laki-laki itu saling bertikai. 

"Tempat kita main tadi, udah diberesin belum?" tanyaku. 

Selepas asar tadi, mami sudah mengeluarkan teriakan sebagai tanda sudah cukup waktu kami untuk bermain. Kami memang bermain bersama, seakan-akan membuat rumah dari kain dan meja serta kursi sebagai penyangga. Sementara, aku mandi lebih dulu—sebetulnya agar tidak perlu repot-repot membereskan ruangan yang berubah menjadi permainan seperti yang kami buat. Setelah mandi, aku bahkan tidak menemukan kedua anak laki-laki itu di tempat bermain tadi. Setelah kutanya mami tentang keberadaan mereka, dengan mencak-mencak mengatakan bahwa adik-adikku berada di loteng. 

"Udahlah," balas anak kecil sekitar usia lima tahun. Entahlah, aku memang membersamai mereka sejak lahir. Akan tetapi, aku tidak berniat menghitung sudah berapa lama kami bersama. 

"Siapa yang beresin? Kamu?" Aku menyipitkan mata ke arah Danis, anak kecil itu mana mungkin bisa membereskan kain dan mendorong kursi ke tempat semula. Kutatap begitu, wajah kecil Danis memerah, sempat bertemu pandang denganku, tetapi kemudian membuang wajah. Benar saja, bukan dia. 

Lantas pandanganku beralih ke kiri, tempat di mana adik laki-lakiku terdiam. Dia berusia sepuluh tahun. Mengapa aku bisa tahu? Ya, karena kami hanya berbeda satu tahun saja. Jadi, tidak usah susah payah kuingat karena aku hanya perlu mengurangi satu usiaku untuk menemukan usia adikku. "Kamu enggak mungkin beresin, 'kan?" 

Zidan menatapku sengit. "Mami yang beresin!"

Dia memang begitu, suka memancing keributan denganku. Bisa dikatakan aku dan Zidan paling sering bertengkar, tetapi akan paling saling melindungi jika salah satu dari kami dalam situasi tidak baik-baik saja. Kadang-kadang aku berharap, mengapa mami tidak melahirkan seorang adik perempuan untukku dibanding melahirkan Zidan. Kalau-kalau aku ada adik perempuan, akan kupermark adikku menjadi cantik jelita seperti aku. Aku akan mendandani adikku dengan pakaian serba pink. Tidak lupa sepatu kaca Cinderella. Sementara, Zidan? Apa yang bisa kuperbuat pada tubuh kurus kering karena susah makan dan tidak punya rambut karena botak. Apa yang bisa dihias dari rambut seuprit dan tajam-tajam? Kemudian, tatkala melahirkan Danis, ya, dia laki-laki. Lalu aku bisa apa? Sudahlah, lagian terlalu banyak perempuan di keluarga ini. Mbak Nada, Mbak Putri, Mbak Sela, aku, dan mami tentunya. Omong-omong ketiga mbak Perempuanku itu tidak pernah mendandaniku, ya, mereka seakan-akan hanya menganggap adik anak kecil dengan duniaku sendiri. Meski Zidan dan Danis bukan perempuan, aku tetap senang karena merekalah yang bisa kuajak main bersama di rumah. 

"Kenapa mami terus yang beresin?" sungutku. 

"Memangnya kamu mau beresin?" Aku terdiam sejenak ketika Zidan melontarkan kalimat skak mat. Itu cukup menampar, tetapi itu benar adanya. Lalu, aku dan Danis saling cekikikan. 

Kemudian kami kembali membisu. Sebentar lagi langit menjadi jingga. Matahari sebentar lagi akan sepenuhnya tenggelam. Biasanya sebentar lagi, kami akan kembali berteriak meminta kami turun dan salat. Benar saja, itu teriakan mami. Namun, kali ini berbeda. Tidak ada teriakan mami untuk memerintahkan kami turun. 

"Kalau sudah besar, apa kita masih bisa seperti ini?" Itu pertanyaan dari Zidan. . Keningku berkerut. Mencerna baik-baik pertanyaan yang keluar dari seorang anak laki-laki yang menyebalkan dan selalu mencari keributan denganku. 

"Memang kita kalau sudah besar kenapa?" Kali ini pertanyaan ambigu dan polos dilontarkan oleh Danis. 

"Kita akan berubah."

"Berubah seperti apa?"

"Seperti Mbak Nada yang sibuk. Seperti Mbak Putri dan Mbak Sela yang selalu meributkan masalah orang dewasa. Susah."

"Kita besar akan seperti itu?"

Zidan menaikkan bahunya. "Hanya kekhawatiran semata," katanya, tetapi kemudian Zidan menatapku, "Kenapa diam saja?"

Aku merenungkan, sebetulnya, aku sama sekali tidak memikirkan bagaimana saat aku besar. Aku tidak pernah membayangkan bagaimana tubuh menjadi tinggi. Aku tidak pernah memiliki bayangan masa depan tentang apakah aku akan banyak bertikai dengan adik-adikku? Dan baru saja aku mampu merenungkannya. 

"Aku sedang membayangkan diriku di masa depan," balasku. 

Di masa yang akan datang, aku akan sibuk bersekolah, kemudian kuliah malam dan sibuk dengan tugas-tugas menumpuk, lantas aku akan bekerja dan mendapatkan uang. Apakah aku dan adik-adikku alan meributkan masalah orang dewasa? Sebetulnya aku tidak benar-benar memahami bagaimana permasalah orang dewasa. Meskipun aku tidak ingin tahu betul. Melihat pertikaian kakak-kakak perempuanku saja sudah membuat kepalaku pecah. Belum lagi omelan mami yang ikut bergabung dengan pertikaian mereka. Ah, sudahlah. Kalau begitu aku tidak ingin menjadi dewasa. 

"Aku tidak mau menjadi dewasa!" putusku seakan-akan menantang takdir dan semesta. 

"Kenapa?" tanya Danis, "Bukannya kalau sudah besar kita bebas melakukan qpa pun?"

Aku menatap sengit Danis. "£Dasar anak kecil! Lebih enak tidak usah jadi orang dewasa. Seperti ini saja sudah cukup. Aku tidak ingin masa-masa kita bersama berlalu dan berganti masa-masa kita menjadi besar dan saling bertikai. Ah, memang susah!" 

"Kamu pikir masa-masa kita bersama ini nyata?" tanya Zidan. Aku berbalik menatap Zidan. 

"Apa maksud kamu?"

"Kamu pikir kita saat ini adalah kita di masa lalu kamu saat kecil?" Kali ini Danis menyambut pertanyaan Zidan. Maka, aku menatap bingung Danis. Kedua anak ini sama-sama menatapku dengan tatapan penuh arti. 

"Kamu hanya menyesali karena tidak menjadi dekat dengan aku dan Danis, 'kan?"

"Kamu memiliki hubungan tidak intens dengan aku dan Mas Zidan, 'kan?"

"Kamu pikir kita ini nyata?"

"Kamu pikir masa saat ini adalah nyata?"

Tiba-tiba duniaku berputar. Senja telah lenyap menjadi langit abu-abu. Aku terus menggelengkan kepala dan menutup telinga dari suara Zidan dan Danis yang menggema. Sampai suara itu berhenti ketika tiba-tiba ruangan kembali sunyi. 

Aku mendongak. Napasku terengah-engah. Tubuhku dibasahi keringat. Jantungku saling berpacu dengan perpaduan napas tidak beraturan. Kulirik sekitar. Kamarku. Kulirik jendela, cahaya matahari belum menampakkan diri.

Baru kusadari. Kenyataan kembali menampar. Tentang aku yang tidak begitu dekat dan adik-adikku. Tentang aku yang menyesali melalui banyak pertumbuhan mereka. 

Komentar