Langsung ke konten utama

she's not blinds

MATA ada, tetapi tidak dapat berfungsi dengan baik. Melihat, tetapi yang terlihat tidak begitu jelas. Orang-orang mengatakan buta, meski sejatinya orang-orang tahu aku tidak buta. Kelainan mata yang orang tahu hanya buta. Penglihatan buram dan tidak fokus, sering menabrak objek di depan pun, disangka buta. Padahal tidak, ini bukan buta, ini tentang penglihatan yang seharusnya masih bisa berfungsi, tetapi tidak normal. 

she can see, but she sees something blurry 

•••

"BUTA, YA?"

Ya, meskipun aku yakin sekali mereka—si pengolok tanpa dasar itu tahu bahwa tidak ada buta di mataku. Hanya perkara tidak sengaja menabrak tubuh sisi kanannya. Menurutku, olokannya hanya sebuah serangan untuk melindungi diri dia sendiri dari emosi negatif tidak terkontrol. Semua orang tahu, aku punya kekurangan di penglihatan, tetapi tidak buta. Tidak. Aku masih bisa melihat warna dan benda, meski tidak begitu jelas. Di balik bingkai lensa setebal ensiklopedia. Itu cukup membantu, tidak amat membantu, tetapi lebih baik daripada sama sekali tidak mengenakan lensa. Dan, semua orang tahu, sosok di hadapanku ini cukup mudah—amat mudah terpancing amarah. Tidak bisa disenggol sedikit, tidak peduli siapa yang salah, selama dia merasa terganggu, dia akan menyalahkan orang lain. Ya, seperti aku ini. Dia jalan di koridor sambil mengutak-atik ponsel. Dengan mataku seadanya tidak mampu menjangkau objek dari jauh, tiba-tiba saja dia berhenti tanpa menoleh sedikit pun. Sementara, aku tetap berjalan tanpa mengetahui keberadaannya dengan jelas. Terjadilah insiden sepele nan geger. 

"Maaf." Mau tidak mau, aku harus meminta maaf karena salahku tidak melihat sekitar dengan jelas. Namun, apakah itu sebuah kesalahan? Maksudku, aku sudah berusaha menajamkan mata yang istimewa ini, tetapi tidak objek yang tertangkap dengan jelas. Sementara, lelaki tidak berakhlak ini punya mata bagus dan normal, tidak digunakan dengan baik. "Maaf, aku enggak melihat kamu dengan jelas."

Lelaki itu berdecak. Wajahnya tampak serius ketika memandang ponsel lagi beberapa detik, kemudian menatapku tajam. Lihat saja, sorot matanya menusuk, seakan-akan tidak ada keselamatan bagiku. "Sana lu periksa mata, biar enggak nyusahin orang!"

Sebetulnya, dua tahun kuliah di kampus swasta ini. Hanya satu pantangan yang tidak boleh dilanggar. Tidak boleh berada di sekitar Darto—mahasiswa abadi yang penuh amarah dan kegelapan. Takut-takut kejadian seperti ini terjadi—tetapi sudah terjadi, 'kan? Ternyata aku tidak begitu takut, lebih ke keki dan berusaha untuk mengumpat dalam hati saja. Ditambah perkataannya barusan itu, mampu menghujam jantung, menusuk hati, seolah-olah ditampar realitas di siang bolong. Dalam hati terkekeh, dia mana tahu betapa sulitnya meyakinkan diri bahwa aku tidak menyusahkan orang dengan keadaan mata istimewa ini. Dia tidak akan pernah mau tahu, betapa tersiksanya masa-masa menyalahkan diri sendiri karena sering berbuat kesalahan karena mata istimewa ini. Namun, lelaki itu keterlaluan—tetapi, dia ada benarnya. Haruskan aku marah dan membuat perkara lebih jauh dengan mahasiswa veteran ini?

"Permisi, aku buru-buru."

Mundur selangkah dan berjalan terburu-buru, meski tersendat agar tidak kembali menabrak objek apa pun, terutama makhluk hidup bernama manusia. Pergi saja, tidak usah dihiraukan kalimat tanpa Zion santunnya itu. Biarlah—lagi-lagi—butuh waktu sendiri untuk kembali meyakinkan diri bahwa insiden tadi bukan sepenuhnya salahku, bukan salah mata istimewa. Kadang-kadang, menghibur diri dengan dukungan motivasi dari diri sendiri, lumayan membantu. Namun, kalimat 'menyusahkan orang lain' yang selama ini hanya asumsi belakaku, ternyata asumsi itu nyata adanya. Untuk pertama kalinya ada orang lain dengan serampangan—meski lelaki itu punya andil salah—memvalidasi asumsiku. Asumsi yang tadinya bisa kuhibur bahwa itu hanyalah perasaan semu. Hari ini asumsi itu adalah fakta. Fakta mengancam dan menakutkan. Tiba-tiba aku memikirkan orang-orang sekitar, mereka memang tidak pernah mengeluhkan itu. Akan tetapi, bukan berarti tidak membebani mereka, 'kan? Aku tersenyum kecut. Seharusnya sejak awal paham, siapa pun orang di sekitarku pasti akan terbebani dan susah karena mata istimewa ini. 

Melambatkan langkah, mengedarkan pandangan. Tidak banyak mahasiswa berlalu lalang. Aku menduduki bangku di samping, tempat biasa aku duduk menunggu seseorang menjemputku pulang. Kuhela napas, menunduk dalam. Sejenak aku mendongak, melihat sekeliling. Dengan bantuan lensa, meniti satu per satu objek. Pandanganku jatuh pada sebuah pot tanaman besar di sisi koridor. Membelalakkan mata, untuk mendapatkan cahaya lebih terang, tetapi pot dan tanaman makin buram. Menyipitkan mata, untuk membidik pot dan tanaman menjadi fokus dan jelas, tetapi tidak seterang membelalakkan mata. Kulakukan hal yang sama berulang kali di objek yang berbeda, jejak sepatu di lantai, tulisan motivasi di dinding, rumput basah di depanku, tong sampah yang hampir penuh. Hingga akhirnya menyerah. Kali ini kututup mata sebelah kanan dengan telapak tanganku. Tidak begitu berpengaruh. Kali ini kututup mata kiriku, berpengaruh, sangat. Semua buram. Tidak bisa menangkap objek apa pun. Berwarna, tetapi pudar. Kulepaskan kacamata, kututup mata kiri, jantungku berdegup kencang. Ini hampir buta. Aku yakin sekali, tahun lalu tidak sampai seperti ini. 

Cepat-cepat kupakai kacamata dan mengusir gusar, meski tetap resah dan takut. Jika dibiarkan akan makin parah. Aku tidak berani membayangkan sejauh itu. Aku masih muda. Ini harus ditangani. Namun, semua itu butuh banyak uang, 'kan? Aku meringis, bayar uang kuliah saja pontang-panting! Solusinya adalah mencari pekerjaan. Kutundukkan kepala seraya memikirkan segala rencana, membuat CV, melamar pekerjaan—apa pun itu yang penting halal, mendapatkan pekerjaan, menabung, periksa mata, operasi mata, dan aku akan sembuh! Aku akan melihat dunia sejelas-jelasnya! Ini tekadku. Aku akan bicarakan ini dengan seseorang. Ke mana dia belum datang juga? Aku berdiri dan maju hingga pinggir koridor untuk memastikan kedatangan seseorang itu. Sampai suara motor mendekat dan berhenti di depanku. Baru saja aku akan menghampirinya, dia sudah melotot dan memintaku berhenti. 

"Diam di situ, nanti jatuh pula!" serunya seraya turun dari motor dan mendekatiku. Digenggamnya tanganku dan menuntunku jalan kembali ke bangku tadi. Ya, begitulah, Kakakku satu ini memang cukup posesif dan takut sekali kalau aku terjatuh—dulu pernah terjatuh dan membuat luka di kening karena terbentur tiang. Dia benar-benar menuntunku seperti seorang nenek tua renta dengan mata sayu. Namun, aku sudah biasa dan tidak masalah. Toh, ini memang keadaanku, 'kan?

"Aku akan melamar pekerjaan!" seruku pada kakak perempuan di sampingku ini. Dia tadinya sibuk merogoh sesuatu di tasnya. Kemudian aktivitas itu berhenti dan beralih menatapku. Aku tahu wajahku amat antusias, senyum melebar, mata berbinar, alis terangkat. Berbeda sekali dengan cetakan ekspresi wajah di hadapanku ini. Kening berkerut, bibir bergaris datar, sorot mata tajam, tetapi sendu. 

"Mau kerja apa? Buat apa? Kuliah kamu biar Kakak yang pikirkan," katanya datar. 

"Bukan! Kak, aku mau berobat mata. Aku akan cari uang untuk benerin mata aku!" Masih dengan antuasias dan menyakinkan. 

"Mau kerja apa? Memangnya mata kamu bisa dibuat kerja? Dunia kerja—kamu tau sendiri, keras. Harus teliti, cepat, dan jeli."

Aku diam. Wajahku meleleh, berubah menjadi abu. Senyum lebar tadi kini runtuh, binar mata berubah menjadi kepatahan. Luruh. Itu menyakitkan. Namun, itulah keadaan dan kebenaran. Mengapa aku tidak berpikir sejauh itu? Bekerja untuk memulihkan mata. Memangnya pekerjaan apa yang bisa kulakukan dengan mata istimewa ini? Tidak ada! Ah, bahkan aku bukan hanya menyusahkan orang lain, melainkan juga menyusahkan diri sendiri. 

••• 

Komentar