Langsung ke konten utama

ingkar

SURI tidak akan berjanji lagi, terakhir berjanji, berujung ingkar. Itu janji pada dirinya sendiri yang berjanji tidak akan pernah membuat janji kembali. Kalau-kalau keadaan memaksanya membuat janji, Suri siap angkat senjata setinggi mungkin. Harga dirinya sudah runtuh karena melulu ingkar. Kali ini, biarkan Suri menumpuk kembali harga diri yang telah berceceran tanpa nilai. 

Semua itu karena cinta. Tatkala hati terpatah-patah, saat itu janji tidak akan melanjutkan harapan mencuat. Tidak hanya berjanji pada dirinya sendiri, tetapi digaungkan pula kepada teman-teman yang jengah akan kelabilan Suri. Perempuan bertubuh pendek, tetapi labilnya setinggi atap langit. Rambut pendek hitam menutupi isi kepala—pikirannya serumit ikatan benang merah mati. Mata sipit berpendar menguarkan binar, menenggelamkan pilu. Hidung mungil yang setahunan ini mampu menahan sumbatan akibat patah hati. Belum lagi bibir setipis asa akan timbal balik perasaan tidak berkesudahan. Entah Suri yang tidak ingin usai-usai betapa lihai menyatu bersama membombardir hati hingga koyak. Katanya demi cinta. Cinta mesti diperjuangkan meski ribuan luka menjadi pajangan lukisan berdarah di dinding-dinding hati. Itu akibat dari sebab Suri ingkar pada janji-janji semu. Ketika hancur, mulai membuat janji. Ketika kehancuran dipulihkan orang yang menghancurkan, janji adalah ingkar. Begitulah Suri, dirinya dipenuhi belenggu-belenggu asmara, menyiksa hingga Suri lupa bagaimana rasa sakit karena cinta. 

Di bawah terik siang itu, Suri berhenti berjanji. Angin-angin lalu sekalinya lewat sembari membawa pergi janji-janji. Berdiri berpijak di sisian halte. Bangunan lantai satu, tetapi entah di mana sudutnya. Namun, mata kecil Suri mampu membidik sosok lelaki bertubuh tinggi. Lelaki berkulit sawo matang tampak berjalan santai ke latar bangunan, menghampiri bebek besi yang Suri pernah beberapa kali menungganginya. Berhenti di samping motor, lelaki itu membuka kemeja hitam yang menjadi ciri khas pakaiannya. Menyisakan kaos putih dengan sedikit basah di bagian belakang. Suri masih diam saja dan tidak sedikit pun berpaling. Bahkan tidak ada harapan untuk dibalas kembali tatapannya. Meski semesta mengirimkan angin untuk menolehkan kepala lelaki itu ke arah Suri. 

Selama beberapa detak, jantung Suri layaknya disetrum. Mata teduh di balik bingkai kacamata. Hidung bangir dan bibir tebal lelaki itu pernah mengucapkan kalimat menyalurkan kekecewaan mendalam dan berjangka panjang. Suri masih bertahan pada posisinya, sampai lelaki itu tersenyum simpul, menunggangi dan menyalakan bebek besi. Selama kegiatan itu, Suri sekali pun tidak berpaling, berekspresi pun tidak. Wajah datar Suri kali ini membuat lelaki itu mendaratkan bebek besi di hadapannya. Suri masih diam, ingin tahu bagaimana semesta kali ini mempermainkan alur dan plot yang rumit. Kali ini, Suri menyerah pada semesta. Lihat, apakah perempuan yang tengah meramu patah hati itu mampu untuk tidak berjanji dan tidak pula berharap. Terserah. Suri akan mengikuti bagaimana cerita melaju, bila Suri jatuh dia siap untuk jatuh, bila Suri disodorkan kebahagian—sudah dibilang, Suri tidak akan mengharapkan hal bodoh itu. 

"Mau ke kelas siapa, Ri?" tanya lelaki itu seraya menggulung asal kemeja yang tadi hanya disampirkan di lengan, kemudian dimasukkan ke dalam tas. 

"Pak Sumbali." Hanya ini yang ingin Suri jawab, meski hati berteriak untuk lebih ramah seperti biasanya. Namun, entahlah, kali ini Suri benar-benar pasrah. 

Ada yang berkata kadang seseorang akan berhenti ketika telah menemui titik paling melelahkan setelah mendapati dirinya berjuang seorang diri. 

Siapa pun yang berkata, Suri menganggukkan kepala dengan jelas dan pasti. Nyatanya, kalimat tersebut tengah menjadi kenyataan dalam apa yang sedang terjadi saat ini pada Suri. Kian lama menyekap perasaan cinta, mempersiapkan waktu sedemikian lama mulai dari keberanian dan diksi romansa agar perasaan dapat terungkap sampai ke hati sasaran. Lantas, ketika masa itu tiba, dengan pengharapan penuh dan kebahagiaan berkobar. Pada masa itu juga menjadi masa Suri kembali merasa kecewa setelah kian lama. Pada akhirnya, Suri hanya bisa menyalahkan dirinya karena terlalu berharap. Mana mungkin dia mengalahkan lelaki di depannya ini hanya karena tidak membalas cinta Suri. 

"Pak Sumbali lagi ada rapat dadakan. Tadi aku habis dari kelas Pak Jamil. Beliau keluar sama Pak Sumbali."

Suri menghela napas, jadi itu alasan mengapa ponselnya yang sejak tadi didiamkan berisik sekali. Suri melirik arloji di tangannya, masih pukul satu siang. Pulang ke rumah hanya akan mendatangkan rasa jenuh. Berlama-lama di sini, membuat kulit kuning langsatnya gosong dibakar matahari. 

"Baiklah, terima kasih," ujar Suri memalingkan tubuh, "aku duluan."

Lagi-lagi hatimu membentak karena Suri seenaknya pergi dari hadapan lelaki itu. Selama ini perempuan itu selalu antusias dengan kehadiran lelaki tersebut. Memupuk harapan untuk bisa terus bersama lelaki itu. Kali ini, hatinya memang membingungkan itu. Namun, Suri sudah benar-benar lelah mengikuti mau hati yang tidak ada habisnya. Banyak mau berujung melukai diri sendiri, dasar hati. Sudahlah. Suri hanya ingin jauh-jauh dari keputusan yang membuatnya jngkar terhadap janji. Cukuplah cinta tidak berbalas sebagai alasan kuat bahwa tidak ada yang perlu diharapkan lagi. Biarlah hubungan berlandaskan pertemanan, meski Suri harus bertahan pada waktu lama untuk memulihkan luka. Tidak usah ada hubungan romansa seperti yang pernah diharapkan Suri. Harapan-harapan itu hanya membuat Suri makin terjatuh. 

"Ayo kita jalan-jalan?" 

Suri berhenti sejenak. Tidak ada janji tidak ada harapan. Namun, lelaki itu seakan-akan mengujinya kembali untuk kembali berjanji dan berharap. 

Komentar