Langsung ke konten utama

pelangi yang tidak pulang

 NASIB jadi orang tua, makin masa, ruang gerak dibuat terseok-seok. Setelah salat subuh di musala—untung tidak begitu jauh dari rumah—Darto melangkah pelan menuju dapur, tangan kurus itu memegangi tembok, hadan sedikit membungkuk. Pelan-pelan, sampai di dekat meja makan. Darto sudah tahu apa yang ada di dalam tudung saji bambu, dalam ingatan pendek, lelaki paruh baya masih ingat lauk yang dia makan tadi malam. Perlahan ditariknya kursi kayu, duduk di sana, termenung saja. Hanya memandang tudung saji sekilas, kemudian beralih ke jendela tanpa tirai, menatap langit gelap di sana, bintang-bintang sudah mulai bepergian, mundur, giliran matahari yang akan menyongsong. Suara jangkrik di luar pun perlahan-lahan mulai menjauh malam. Tersisa embusan angin yang kadang-kadang menerobos masuk melalui ventilasi udara.

Andai Darto tahu, betapa langit tidak pernah sanggup ditatap mata nanar nan sayu. Betapa langit begitu tidak tega mendapati tiap subuh, wajah pilu di antara garis-garis keriput. Kadang-kadang langit pun ikut merintikkan air hujan, tatkala Darto menitikkan air mata dan jadilah hujan air mata di subuh hari. Sudah hampir beratus-ratus hari, langit menjadi saksi Darto bergumul bersama sendu, dalam diamnya yang meringkuk, langit tahu betul betapa Darto menyimpan perasaan besar di balik tubuh ringkih. Tentang, orang-orang yang dulu pernah membersamainya. Berbagai fase hidup, mereka saling menemani, sampai pada satu fase, akhirnya Darto tidak lagi ditemani, Darto harus mengalah untuk melepas. Namun, Darto sedikit terhibur karena ada janji untuk sering-sering menemaninya. Kini, hiburan itu semua, janji telah diingkari. Akan tetapi, Darto masih memilikinya harapan, Darto masih punya kesempatan, meski Darto tahu, usianya mulai terkikis, tinggal menunggu ajal.

Langit tidak hanya diam, berkali-kali dia kabarkan pesan Darto pada orang-orang itu. Hujanlah. Anginlah. Panaslah. Badailah. Tidak satu pun hadir, orang-orang itu menganggap semua hanya soklus yang biasa dilakukan langit. Orang-orang itu tidak menyadari dan tidak mengetahui ada tangis Darto di balik hujan, ada pesan rindu Darto di balik angin, ada amarah Darto di balik badai, ada kekecewaan Darto di balik panas. Langit menyerah, langit pernah meminta maaf, kemudian melukiskan pelangi, berakhir Darto sumringah mengingat kenangan-kenangan di masa lalu.

“Pa, pelangi itu kenapa munculnya jarang?” 

Darto tersenyum simpul, seraya memangku anak perempuannya yang mungil. Duduk di teras sore hari setelah hujan. Beruntung, dia dan salah satu anaknya menyaksikan pelangi itu bersama-sama.

“Justru yang membuat pelangi itu indah karena dia jarang muncul, ‘kan?”

Darto mendengus. Dirapikanmya sedikit rambut tipis putih. Anak-anaknya kini sudah seperti pelangi itu. Begitu indah, kehadiran dinantikan, tetapi jarang sekali muncul—bahkan sudah tidak pernah. Darto sudah tidak pernah lagi menemukan pelangi di katanya. Pelanginya lebih jauh daripada pelangi di langit. Darto bangkit dari kursinya, tatkala semburat oranye mulai melukis pelupuk bumi, sudah saatnya Darto menuju teras. Duduk di atas kursi yang sudah lapuk, dudukan dan sandaran busa yang sudah luruh warnanya, tetapi masih nyaman diduduki dan disandari. Membiarkan angin sejuk menerpa tubuh Darto, menjadi sarapan biasa baginya. Matanya mengitari lingkungan sekitar yang tidak bosan-bosannya ia pandangi. Namun, beberapa kali pandangannya tertuju pada pagar kayu. Siapa tahu, salah satu anaknya akan datang. Menit dan jam berlalu, suara decitan pagar membuat Darto selalu bangkit dari kursinya, tetapi dia akan kembali duduk setelah mendapati perempuan paruh baya yang lebih muda lima belas tahun darinya berjalan. 

“Kek Darto, ‘kan, saya sudah bilang jangan sering-sering duduk di sini nanti masuk angin, loh.” Perempuan itu berdiri di hadapan Darto.

Dengan suara lirih, Darto bertanya, “Kapan anak-anak itu pulang?”

Perempuan itu menghela napas, tidak punya jawaban apa-apa. Sebelum dia masuk ke dalam, perempuan itu berujar, “Suatu saat pasti datang, Kek. Saya masuk dulu, mulai beberes.”

Darto membiarkan perempuan itu berlalu. Meraup banyak-banyak udara masuk ke dalam tubuh yang tiba-tiba terasa sesak. Ratusan hari menunggu, ratusan hari pula tiada kunjungan. Dalam napasnya yang tersengal, Darto tidak pernah takut pada ajal, Darto bahkan siap menjemput ajal kapan saja. Bukan itu yang Datto takuti, melainkan bagaimana jika anak-anaknya datang saat Darto sudah tidak lagi bernapas? Bagaimana bisa Datto merasakan kehangatan anak-anaknya? Darto memejamkan mata, dia lagi-lagi berharap, sekejap saja datangkan pelangi, dia hanya ingin merasakan keindahan di masa akhir. 

“Papa!”

Darto tiba-tiba membuka mata. Napasnya seakan membaur bersama lega. Entah kekuatan dari mana, Darto segera berdiri. Di balik pagar, dia melihat dua perempuan dan satu lelaki menyerobot pagar kayu. Berlari ke arahnya. Darto merentangkan tangan, bersiap mendekap anak-anak, sebentar lagi kehangatan itu tiba. Namun, anak-anak itu melewatinya—tidak, tetapi menembus dirinya. Kehangatan itu hanya sekilas diraaa. Darto berbalik dan memasuki ruang tamu. Sudah penuh. Orang-orang menduduki sisi sudut. Anak-anak itu terduduk lemas di samping tubuhnya yang kaku. Suara tangis bersahutan mengiris hati. Marah. Marah karena dia sudah lebih dulu mati. Marah karena anak-anak itu terlambat datang. Marah karena ketakutannya benar-benar terjadi.

Darto mendekati tiga anaknya yang terus-menerus meminta maaf. Wajah mereka merah, mata sembab, anak kecil yang dulunya dia rawat kini sudah dewasa. Dielusnya satu per satu puncak kepala, kemudian dikecup. Darto berdiri, berbalik, berjalan keluar, kemudian bertutur, “Terima kasih telah menjadi pelangi terindah dalam hidup Papa.”

Komentar