Langsung ke konten utama

ibuku tidak gila

IBUKU gila. Pernah, malam hari dia melotot padaku. Pupil matanya dipaksa membesar, menyorotkan kemarahan atas ketidaksukaan padaku. Sebetulnya niatku baik, hanya ingin meminta ibu dian karena hari sudah malam. Orang-orang sulit terlelap, tetapi orang-orang itu memilih tidak acuh dan berusaha memejamkan mata. Aku tidak bisa seperti itu. Racauan ibu yang terus-menerus bersuara, tidak berhenti sama sekali. Aku tidak tahu ada maksud dari kalimat yang meracau berulang kali. Namun, aku yang masih berusia 15 tahun memahami bahwa keluarga kami sedang tidak baik-baik saja setelah ayah dipaksa mengaku oleh ibu. Pengakuan yang akhirnya menjadi bumerang sekaligus hantaman kasatmata. Itu menjadi asal mula ibuku berubah total, tidak lagi seperti ibu yang kukenal. Entah gila atau bagaimana, tetapi ibu benar-benar memprihatinkan. 

Aku tidak hanya memikirkan diriku sendiri, tetapi memikirkan orang lain. Takut sekali orang lain—para tetangga yang rumahnya saling berdempetan berpikiran bahwa ibuku gila. Ya, meskipun aku sedikit menganggapnya seperti itu. Akan tetapi, kami sekeluarga tidak benar-benar membawanya ke rumah sakit untuk memastikan apakah kejiwaannya terganggu? Apalah semua itu, tidak pernah terpikirkan karena masalah ini cukup menyita waktu dan perhatian. Belum lagi masalah-masalah internal di antara kami. Kompleks, tetapi apa yang bisa kuperbuat. Otakku tidak berkembang sama sekali dalam pemikiran. Jadinya, di tengah-tengah sunyi, masih dengan ibu yang menatap marah ke arahku, ibu terduduk di pinggir ranjang. 

"Ibu, ini sudah malam. Diam, ya, Bu? Jangan berisik," pintaku. Aku benar-benar merasa cemas. Tidur tidak tenang karena racauan ibu. Jantung dipacu tidak karuan karena ibu masih terjaga. Jauh di lubuk hati, aku khawatir pada ibu. Ibu sedang sakit karena telah melalui operasi tumor otak. Kalau ibu tidak terjaga, bagaimana kalau ibu makin sakit? Namun, apakah gila termasuk suatu penyakit parah? 

Ibu tidak menjawab dan masih melotot. Aku patah hati, sesuatu di hati mulai tercabik-cabik, dada terasa penuh dan sesak karena ibu seakan-akan tidak mengenalku sebagai anaknya. Buktinya, daripada menjawab permintaanku, ibu justru melayangkan satu tinjuan kuat di perutku. Ya. Detik itu pula aku memilih kembali ke tempat tidurku bersama dengan adik dan kakakku. Masih dengan memegang perut yang terasa sakit dan ngilu. Perlahan-lahan air mata membuncah, susah payah kutahan tangisku karena aku tidak mau orang lain mengetahuinya. Aku tidak mau orang lain menyalahkan ibu yang sedang tidak baik-baik saja. Sejenak aku kecewa dan marah pada ibu karena membuat nyeri di perut dak di hati secara bersamaan. 

Aku berharap ibu menyesali apa yang sudah dilakukannya padaku. Namun, saat aku berusaha terlelap dan bangun di esok hari, ibu masih di posisi yang sama dan perilaku yang sama, meracau tidak jelas.

***

Kurasa aku benar-benar sudah gila. Masalah yang diciptakan ayah berhasil mengguncang kejiwaannya. Ibuku sudah tidak hanya meracuni lagi, tetapi suka menangis. Lagi-lagi malam itu hujan turun deras, aku hanya berdua dengan ibu di rumah. Ranjang sengaja diletakkan di ruang tengah agar mudah memantau perkembangan kesehatan ibu. Entah bagaimana caranya, ibu berhasil meraih pisau dari dapur kemudian berusaha memasukkannya ke perutnya.

Lagi-lagi aku hanya remaja 16 tahun yang berusaha menarik pisau dari tangan ibu. Di tengah suara berisik hujan, aku dan ibu sama-sama menangis pilu. Menangisi kehidupan yang terlalu kejam kepada kami. Hidup ini tidak punya hati saat memberikan beban bertubi-tubi. Sampai ibuku berniat membunuh dirinya sendiri. Mengapa hidup harus setega itu? Dengan segala kesulitan, tarik-menarik pisau biadab dan akhirnya berhasil kulepaskan. Tersisa tangisan yang menggambarkan betapa perihnya luka tergores. Sebuah luka yang sulit diobati karena tidak ada yang bisa mengerti. 

***

Ibuku sudah pergi dari dunia sejak delapan tahun lalu. Di usia 24 tahun ini dengan masa lalu yang kelam, baru kusadari bahwa masa lalu ada pengalaman berharga dan bermakna. Masa lalu punya pesan yang begitu dalam. Perjalanan di masa lalu membawaku pada titik ini. Baru kusadari bahwa ibuku tidak gila. Aku bersumpah ibu tidak gila. Racauan ibu adalah bentuk luka dalam akibat pengkhianatan. Perilaku ibu saat itu adalah bentuk masih sayang yang sudah tidak ibu dapatkan lagi. Kebahagiaan ibu direnggut oleh orang ketiga. Ibu yang sakit dibuat makin sakit. Kini aku tahu,. peristiwanya di masa lalu membuat mental ibu terguncang. Ibu tidak gila, ibu hanya depresi. Bodohnya aku tidak memahami kesehatan mental kala itu. Ibu tidak gila, tetapi orang ketiga itu gila. 

***

Komentar