Langsung ke konten utama

cara mudah jatuh cinta

TIDAK PERLU susah payah untuk jatuh cinta, kadang kala kamu hanya perlu duduk diam mengamati orang-orang. Mana kala ada perilaku dan tutur dari salah satu mampu menarik perhatian. Bahkan, tidak perlu sepengamat itu, simak saja baik-baik wajah sau per satu, apakah sesuai dengan 'kriteria keelokan'-mu? Bila sesuai, lantas tinggal bidik, panahi hatinya dengan asmara, putuskan untuk jatuh cinta. Atau mudahnya, tidak perlulah melakukan apa pun, tidak usah ada rencana untuk jatuh cinta. Toh, nanti juga takdir akan menuntunmu pada masa itu—masa itu akan datang, entah sadar atau tidak. Jalani saja hari-harimu, tanpa ikatan untuk harus mencintai. Lalui saja masalah-masalahmu tanpa ada pikiran berjibaku dengan masalah percintaan. Setidaknya, asumsi-asumsi itu harusnya mampu memahamimu betapa jatuh cinta itu mudah. Semudah kamu terbuai dalam perhatian dan kepedulian seorang lelaki yang sebelumnya tidak pernah ada seorang lelaki pun memperlakukanmu sebaik itu.

•••

LELAKI itu tertimpa sialnya pasti, bisa-bisanya niat baiknya dianggap berlebihan olehmu. Bukanlah cenayang, mana tahu dia kalau sebelumnya tidak pernah ada satu lelaki pun yang mampu memperlakukan dengan kepedulian penuh—ayahmu bahkan tidak pernah. Betapa tidak? Memangnya lelaki mana yang mau dengan senang hati mendekatimu dan paling tidak menjadi temanmu? Itulah pikiranmu setiap waktu. Ada masa di mana batinmu berbisik-bisik, menundukkan kepala melihat jemarimu saling dimainkan, sementara ekor matamu menangkap punggung teman perempuanmu bersenda gurau dengan teman lelakinya. "Dia memang cantik dan pandai bicara, wajar banyak teman baik perempuan maupun lelaki. Sementara aku? Tidaklah pandai bicara, wajah pun pas-pasan,"

Itu sudah menjadi makanan keluhan batinmu hari-hari, sehingga sudah terbiasa. Sampai suatu hari, kamu sudah lulus dari putih abu-abu. Tidak ada bekas lukisan warna-warni di baju seragammu. Bersih, tidak ada tulisan apa pun. Setelah pengumuman kelulusan, kamu hanya merayakan dengan bersyukur dalam hati dan melipir ke pinggir lapangan. Tidak ada yang menyadari gerakanmu. Semuanya sibuk bersorak sorai menggaungkan kelulusan. Geng satu dengan geng lain saling berhamburan, mengabadikan momen krusial. Kamu menunduk saja berjalan hingga sampai keluar gerbang sekolah. Tidak butuh waktu lama bagimu untuk berjalan ke jalan raya, menghentikan oplet, lalu pulang. Pulang begitu saja. Tidak ada yang mengajakmu untuk berkonvoi di jalan raya sambil mewarnai seragam di tugu kota. 

Sebetulnya, kamu tidak mempermasalahkan itu. Biarlah masa putih abu-abu penuh kelabu, terlalu datar. Di awal masa kuliahmu, kamu pun tidak banyak berharap tentang pertemanan. Mungkin sama-sama akan sekelabu masa putih abu-abu. Namun, itu lagi-lagi bukan masalah sampai kamu dilanda kepanikan. Berlari dari satu koridor ke koridor lain yang sudah kamu lewati—bahkan tempat yang jarang dilewati pun disinggahi. Terduduk lemas di sisi koridor, tidak mempedulikan tatapan orang lain ke arahmu. Ah, apa peduli mereka terhadap perempuan biasa-biasa saja sepertimu? Sejak dulu pun, tidak ada yang peduli dengan kepanikan, bahkan permintaan tolongmu hanya berujung kata maaf lalu pergi. Kali ini, dompetmu jatuh, memang tidak banyak uang di sana. Hanya saja, ada kartu-kartu penting. Salah satunya kartu perpustakaan daerah. Niatnya, kamu harus meminjam satu buku jurnal di perpustakaan daerah untuk menemukan informasi pada tugas kuliah. Sementara, tenggat tugas makin mendekat. 

Mendesah, sudahlah. Pasrahkan. Lupakan. Bahkan takdir pun tidak peduli padamu. Oleh karenanya, kamu beranjak dengan lunglai, wajahmu menekuk, air muka benar-benar keruh. Terpaksa pulang bertransportasi kaki. Pikiranmu membayangkan hari esok mengurus dan membuat kartu baru yang sudah hilang. Namun, kamu tidak benar-benar melangkah tatkala suara bariton memenuhi isi kepalamu yang runyam. Dinalikkan tubuhmu, sosok bertubuh kokoh yang menjauh kini tampak makin dekat. Perlahan-lahan, kamu dapat dengan jelas melihat bentuk dan postur wajah yang tepat berada beberapa meter di depanmu. Mata bulat teduh berbingkai kacamata, hidung mancung menyangga kacamata, bibir tipis itu melebarkan senyuman, pahatan manis itu terlukis dalam wajah tegas dan lonjong. Jangan lupakan rambut ikal yang membuat kesan manisnya bertambah. Sejenak kamu terpukau, melamun dalam keterpanaan. Inikah jatuh cinta pada pandangan pertama? 

"Ini dompetmu, 'kan?"

Pertanyaan berbalut suara bariton itu menyadarkanmu dari buaian asmara. Sontak kamu berkali-kali mengedarkan pandangan dan mencoba untuk mentradisir detak jantung. Cepat-cepat mengangguk dan mengambil dompet berwarna abu dari uluran tangan lelaki itu. "Terima kasih."

"Tadi aku menemukannya di lantai kelas sastra inggris, tepat di bawah meja. Maaf karena aku harus membuka isinya untuk melihat identitas pemilik supaya bisa kukembalikan ke kamu," ungkap lelaki itu. "Untunglah ada beberapa temanku yang mengenalmu. Jadi, tidak susah untuk menemukanmu."

Lagi-lagi, kali ini kamu lebih dibuat terpukau dan terharu. Kamu yakin sekali, apabila orang lain menemukan dompet itu mungkin tidak akan ada yang peduli—atau parahnya dibuang begitu saja berakhir di kotak sampah. Namun, untuk pertama kalinya ada seseorang—lelaki pula yang begitu peduli dan berusaha untuk mengembalikan dompet ini dan bertemu denganmu. Bahkan, dia sama tidak risi berbicara padaku, lihat saja katanya, tulus dan teduh. Lelaki itu tampak bersahabat. Jantungmu makin tidak bisa dikendalikan. Tatkala sebuah tangan terulur dan mendarat di pundakmu dan menepuk pelan.

Lelaki itu berucap, "Lain kali hati-hati, kartu-kartu di dompetmu itu sangat penting. Aku pergi dulu, lain kali kita akan bertemu lagi."

Dia lebih banyak berbicara daripada kamu, dia terlalu banyak bicara untuk ukuran seorang lelaki yang sedang berinteraksi denganmu. Biasanya seorang lelaki hanya berbicara sepatah dua kata. Lelaki itu tidak mengenal sepatah dua kata. Lantas, untuk pertama kalinya ada lelaki yang benar-benar peduli dan begitu baik bagimu.

•••

Komentar