Langsung ke konten utama

tatkala bait menjatuhkan hati

CINTA itu butuh perjuangan, siapa pun dirimu baik laki-laki ataupun perempuan. Begitulah untaian kalimat tegas dari para pujangga cinta yang kutemui di kala-kala sendu. Terkagum-kagum tatkala mereka mengusung dada, bertekad pada genggaman yang melayang di udara, wajah mendongak menegaskan keyakinan teguh, itulah gambaran para pujangga yang memperjuangkan cinta. Mereka adalah para laki-laki setia pada pangkuan cinta. Andailah, mereka menjatuhkan hati padaku, tersanjung pula aku sebagai perempuan beruntung. Namun, cinta memang begitu misterius, nyatanya dalam kisah ini akulah yang menjatuhkan hati kepada seorang laki-laki nun jauh dari pandangan. Meski jarak saling beradu seberapa jauh, tetapi cinta mampu membawa hatiku untuk jatuh di hadapannya. 

Ingatan melayang pada diksi kaku dan umum, seharusnya tidak ada estetika. Bukan sajak, apalagi puisi, tidak ada kutipan romantis yang tersusun. Hanya ada pikiran dalam, tetapi mampu menggugah hati. Dalam pantauan dekat, di tiap-tiap kata, seakan-akan mengetuk pintu hati, sampai turun di dua kata sebagai penutup dari tulisan penuh lautan pikir. Adipati Baswara, kemudian nama itu mampu merasuk sampai menduduki singgasana di ruang hati. Aku tidak tahu bagaimana rupa, apalagi perilakunya. Hanya saja, tutur tulisnya seakan-akan menjelaskan rupa dan perilakunya. Rupa yang begitu magis, senyuman manis, tatapan berbinar, wajah seserius cara pikirnya. Perilaku yang teguh, tidak mudah goyah pada bisik-bisik, kemudian dia begitu baik pada siapa pun sampai kebaikannya membuat orang-orang terjebak dalam kenyamanan. 

Itu yang tersalur dari tulisan tanpa wujud, tetapi ada sukma yang mampu merampas isi hati. Kadang-kadang pula, hari-hari dibayangi dengan tulisan-tulisan sederhananya, begitu hangat dan menyalurkan semangat. Dia adalah laki-laki kharismatik. Apabila aku bertemu dengannya, mampukah diri ini berpijak di atas tanah atau justru meluruh bersama tanah? Pesona yang menguar dari tulisannya begitu memikat, bagaimana bila takdir mempertemukan aku dan dia dalam satu ruang? Itu akan menyenangkan dan betapa menjadi kisah paling manis di antara kisah-kisah manis hidupku. Pertemuan itu akan menjadi saksi apakah aku dan dia seperti dua orang jauh dipertemukan untuk bersatu selamanya? Ataukah, aku dan dia hanyalah sebatas kenal, aku mengenal tulisannya dan jatuh hati, kemudian dia mengenalku yang jatuh hati pada tulisannya. Ah, lima puluh lima puluh, sekalinya bahagia aku akan menjadi perempuan paling bahagia sedunia. Sekalinya sedih, aku akan menjadi perempuan yang patah hati. 

Setidaknya, itu adalah rancangan skenario, memikirkan antara kebahagiaan dan kepatahan yang bisa saja kudapatkan dalam satu kali aksi. Bahkan sudah bisa dirasakan, bagaimana tatkala kebahagiaan memasang sayap untuk siap membawa diri terbang ke awang, melayang-layang tanpa takut Jatuh sakit karena akan ada dia yang menjaga dan melindungi. Pun, bagaimana tatkala kepatahan menghunuskan pedangnya untuk berperang, jelas-jelas aku yang kurang berpengalaman dan tidak mahir memegang pedang akan jatuh dan runtuh seorang diri, tidak ada dia yang menjaga dan melindungi. Maka, haruskah kusiapkan punggung untuk ditanami sayap atau belajar memegang pedang dan lihai memainkannya? Entahlah, itu terlalu samae san berisiko. Sejatinya, aku dan dia masih terpaut oleh ruang dan waktu. Aku dan dia masih dibentengi kota besar, kemudian kota besar lagi, lalu masih kota besar. Menyeberangi lautan dalam nun luas kemudian masih dibentengi kota kecil, kota kecil lagi, lagi-lagi kota kecil, dan kota besar tempatku mengadu nasib asmara. 

"Tidak ada cinta bagi mereka yang tidak bertemu!"

Muak sekali tatkala orang-orang di sekitar menyeru kalimat tidak senonoh tentang cinta. Tahu apa mereka itu perihal cinta? Jika cinta hanya terjadi karena temu, biarkan aku tertawa lebih dulu, ini komedi serta tragedi yang bersatu. Sempit sekali asumsi itu, cinta itu luas, di mana dan kapan pun, selama cinta berkehendak, tanpa temu pun cinta akan terjadi. Contoh nyata, aku mulai jatuh hati dan mencintainya melalui tulisan-tulisan penuh makna. Tulisannya mampu menduplikasi sosok penulisnya, Adipati Baswara—tuan yang bersinar. Betapa aku mendambakan rupanya, betapa aku mendambakan perilakunya, betapa mendamba tulisannya. Saking mendamba, kunanti-nantikan kembali, tulisan seperti apa yang mendeskripsikan Adipati Baswara. Ingat betul, tulisan awal sebelumnya yang membuatku terjebak dalam cinta pandangan pertama. 

Saya hidup bersama kehidupan, saya bernapas bersama kehidupan, saya berjalan bersama kehidupan. Saya mengikuti bagaimana kehidupan melaju, saya bukan pasrah, melainkan saya sedang tidak tahu arah — saya, Adipati Baswara. 

Aku langsung terpana pada satu bait milik Adipati Baswara. Aku sudah siap untuk terkesima dengan bait yang akan diutarakan oleh dia, kemudian aku akan jatuh hati lagi. Sampai akhirnya bait itu mengudara, kutahan napas, kufokuskan mata, kutenangkan diri. Ini adalah bait yang kembali membuatku berdebar. 

Hari ini begitu suntuk. Saya marah pada hidup, tetapi saya patuh akan alurnya. Tidak mungkin saya enyahkan, sementara saya masih butuh persinggahan untuk bernapas. Hidup ini memang kejam, tetapi kadang-kadang saya lebih kejam karena tidak pernah mau memahami dan mengerti hidup yang telah mengerti dan memahami saya — saya, Adipati Baswara. 

Kali ini ada kagum yang makin mendalam. Bagaimana bisa, tatkala benci dan sadar diri masih tertutur dalam satu untai bait? Betapa Adipati membenci hidup, tetapi laki-laki itu sadar diri akan kebutaan dan dirinya yang tidak jauh berbeda dengan kehidupan itu sendiri. Atau memang, Adipati-lah yang menuntut pengertian, tetapi tidak memberi pengertian. Ketahuilah, dia manusia dengan etika pekerti. Jarang-jarang ada manusia sadar akan kesalahan untuk kemudian diperbaiki. Namun, Adipati adalah salah satu di antara manusia jarang itu. Tidakkah itu mengesankan? Masalahnya saat ini hanyalah, ini pertanyaan, mungkinkah aku dan Adipati bertemu? Sebentar saja, tidak usah lama-lama. Aku tidak perlu Adipati balas mencintaiku, aku hanya butuh Adipati tahu bahwa aku mencintainya. Bila Adipati mampu membuatku jatuh hati hanya dengan bait-baitnya, bukankah bisa kulakukan hal sama?

Hidup tidak akan pernah kejam, Adipati. Selama manusia mau mengerti dan memahaminya. Bagaimanapun, kehidupan telah memberikan manusia hidup, memberi pasukan udara untuk bernapas, memberi jalan untuk berjalan. Kadang-kadang kehidupan memang tidak seindah keinginanku yang lekas bersua denganmu, tetapi kehidupan selalu tentang memperhatikan bagaimana caraku bersua denganmu, Adipati — aku Suri Nala. 

Maka, kutitipkan bait pada kehidupan dan cinta. Aku percaya cinta akan membawanya pada Adipati dan kehidupan akan menjaga cinta hingga sampai di pandangan Adipati. Adipati perkenalkan, aku Suri Nala. 


Komentar