Langsung ke konten utama

seperti daun yang diembuskan angin

TIDAK ADA lelaki paling baik di dunia ini, setidaknya itu yang kusimpulkan setelah takdir menemput bapak di usia paling ujungnya. Setelah bapak menyatu bersama tanah, kemudian kutemui banyak lelaki membuatku jatuh, terpuruk, meringkuk di sudut. Tidak sedikit pula mengiris bagian hati sampai berkeping-keping. Pernah ada yang mengetuk, kemudian membawa dan memberikan harapan. Sebagai tuan rumah baik, maka kuterima harapan yang akhirnya dihancurkan oleh pemberinya sendiri. Kejadian itu membuatku harus membiarkan diri merasai hati yang terpatah-patah. Ada lagi, tatkala seorang lelaki berdiri di depan pintu, tidak mengetuk, tetapi senyumannya mampu membukakan pintu dan, ya, aku terjebak. Dengan pengalaman-pengalaman itu tidak lagi kubuka pintu untuk siapa pun—lelaki mana pun, kecuali siap untuk patah hati.

Kali ini kubuka pintu, tidak, jangan salah paham. Aku perempuan berpendirian. Kadang-kadang kalau penat berlama-lama di persinggahan, ada kalamya butuh menyegarkan mata dan napas di alam terbuka. Hanya berjalan-jalan saja, abaikan para lelaki yang berlalu, fokuskan pada melepas penat. Sore ini menyenangkan, sapuan amgin membawa guguran daun yang lepas dari tempat asalnya. Kalau dipikir-pikir, saat ini aku seperti daun gugur itu. Akhirnya lepas juga dari rumahnya. Kusimak baik-baik salah satu daun yang terjangkau, masih disapu angin, terbang di udara.

Dengan lembutnya, daun itu rebah di pangkuan seorang lelaki. Mendarat tanpa aba-aba, seakan-akan angin menakdirkannya untuk dimiliki lelaki itu. Pandangan kami bertemu, aku diam beberapa detik, tetapi sejak melangkah keluar dari pintu telah berikrar bahwa tidak ada lelaki sekali pun kuacuhkan. Biar dan lupakanlah tentang daun itu, ada objek lain yang lebih indah di sekitar sini. Misalnya, jalaman komplek yang sepi, deretan rumah yang juga sunyi, kadang-kadang beberapa kendaraan berlalu, atau pohon besar di ujung jalan sebagai pohon selamat datang. Jalan-jalan di sekitar sini, segalanya akan begitu menarik—lebih-lebih setelah kian lama mengabdi di persinggahan. Alasan lainnya, ya, selama tidak berkaitan dengan lelaki, maka selainnya lebih menarik.

Biasanya di bawah pohon itu akan berisik bapak-bapak dengan suara beratnya membicarakan para bintang politik—begitu yang kudengar dari ibu. Kali ini sepi, tidak kutemukan suara berisik yamh kuharapkan. Hanya ada bangku panjang yang ketika kududuki terasa dingin. Sudah berapa lama di sini tidak berisik? Dalam masa pengabdian di persinggahan, ibu berkata akan selalu ada orangtua yang sekadar lewat berjualan makanan ringan. Kadang-kadang anak-anak kecil akan memberi alunan tersendiri di taman yang terdapat di tengah-tengah komplek. Yang pasti, ibu akan bergumul dengan para ibu-ibu lainnya di sebuah warung milik Bu Sintia—sayang aku tidak melewatinya. Dari rumah, aku hanya berjalan lurus kemudian belok kanan dan bertemu dengan lelaki tadi, kembali berjalan lurus dan duduklah aku di sini.

Akan tetapi, mengapa kali ini amat berbanding terbalik dengan apa yang dideskripsikan oleh ibu? Bahkan dengan mudah tergambar jelas di pikiranku tentang lingkungan tempatku tinggal. Tiba-tiba aku mendengkus, baeu kusadari, ibu memang lihai dalam bercerita—lebih-lebih mendongeng, kuyakin ibu adalaj pembicara dan menghidupi suasana di perkumpulan ibu-ibu. Sibuk berinteraksi dengan pikiran sendiri, sesuatu yang basah mulai menyentuh puncak kepala, kemudian pipi, kulit tangan, dan ujung kaki. Aku mendongak, dari celah-celah dedaunan, setitik air menghunus mataku hingga aku harus terpejam. Ah, kurasa ini bukan hariku. Mungkin besok, entahlah. Segera aku beranjak untuk pulang, sebelum hujan benar-benar membuatku basah. Berlari kecil, tetapi langkah terhenti sejenak ketika pandanganku kembali bertemu dengan lelaki tadi. Kali ini dia berjalan santai di bawah payung abu-abu. Entah peraaaanku atau—ya, itu hanya perasaanku saja, dia tidak sedang melihatku. Kembali aku berlari kecil yang artinya makin dekat dengan lelaki itu. Namun, tujuanku hanya pulang, itu saja.

“Aku antar pulamg, ya?”

Seharusnya dia tidak mengeluarkan sepatah kata pun sama sekali. Tidak pantas untuk bahkan menawarkan seperti itu—lebih-lebih kami baru saja bertemu, kan? Namun, seharusnya aku tidak mengangguk dan bahkan berjalan bersamanya di bawah payung. Tiba-tiba aku mengejek dan tertawa bodoh dalam hati. Apa itu tadi? Tidak ingin mengacuhkan lelaki? Ini bukan lagi tentang acuh, tetapi sudah terlalu jauh.

“Dari banyaknya daun yang mendarat di pangkuanku,” lelaki itu membuka suara setelah beberaa menit hanya suara hujan beradu dengan apa pun yang ada di permukaan bumi, “tadi daun kesepuluh yang kuterima dan kubahagiakan.”

Aku diam saja. Jika berbicara, kurasa aku tidak hanya mengabdi di persinggahan, tetapi menyatu menjadi bagian dari persinggahan dan tidak akan menjadi seperti daun gugur yang bisa ke sana kemari.

“Tiba-tiba aku menyesal karena selalu membuang daun gugur pertama hingga kesembilan.” Lelaki itu terkekeh. “Andai saja daun pertama memberi tahu bahwa akan ada daun yang mampu memikatku, akan kusimpan mereka sebagai saksi.”

Kupikir dia menyukai daun, tetapi ternyata tidak juga. Aku jadi bingung, tetapi rasa penasaran mulai membuncah. Namun, kutahan baik-baik, biarlah lelaki itu melanjutkan cerita dengan daunnya itu. Untunglah, aku pendengar yang baik.

“Setidaknya sudah hampir seratus hari duduk di depan rumahku di kala sore. Ibuku berkata bahwa ada gadis paling manis di sekitar sini.” Lelaki itu menahan napas sebentar. “Namun, ibuku berkata juga kalau dia adalah gadis manis yang hatinya tengah teriris.”

Dalam diam aku ingin sekali tertawa remeh. Benar, kan, kubilang? Lelaki mana yang tidak membicarakan seorang gadis barang sehari pun? Bahkan, dalam pertemuan pertama, dia sudah membahas soal gadis manis menurutnya. Tiba-tiba aku menyesal, tiba-tiba aku lebih rela menemukan diri basah dan demam satu minggu dibanding harus menahan keki hati di bawah payung ini bersama lelaki ini.

“Kalau dipikir-pikir, gadis itu seperti daun gugur yang akhirnya lepas dari tangkainya juga, diembuskan angin, untunglah daun itu mendarat di lelaki yang tepat.”

Itu pemikiran yang sama dengan pikiranku tadi—tunggu dulu, aku berhenti melangkah dan menatap lelaki ini. “Apa maksudmu?”

Alih-alih menjawab, lelaki itu mengulurkan daun yang sama persis seperti tadi kulihat. Melihat gurat wajahku yang penuh ketidaktahuan, dia berkata, “Ini kamu. Daun ini, kamu. Gadis manis yang hatinya teroris itu kamu. Lelaki yang tepat itu, aku.”

Ini terlalu cepat, bahkan tidak pantas. Kali ini tidak akan kubuka pintu untuk lelaki mana pun. Namun, daun itu kubiarkan masuk. Tidak dengan lelaki itu. Mungkin nanti, tidak sekarang.


Komentar