Langsung ke konten utama

Bongkar Rumah

 TIAP HARI ada saja yang akan dipreteli dari bagian-bagian rumah yang tadinya kokoh bak istana megah. Berdiri angkuh memamerkan keutuhan tubuh dalam diamnya yang tegas. Seakan-akan berkumandang penekanan hunian ini tidaklah runtuh meski berbagai bencana alam bertandang. Benar saja, bisa dibuktikan ketika bumi bergoncang, ketika terjadi banjir, kala badai berusaha meluluhlantakkan keangkuhannya, tetapi sia-sia usahanya. Di kala bencana meratakan merusakkan hampir hunian-hunian di sekitarnya, tetapi hanya hunian itu yang tetap berdiri kokoh. Bukan hanya omong kosong, melainkan ada bicara yang berisi pembuktian.

Dari luar, orang-orang akan berdecak kagum seraya menggeleng-geleng. Tahu betul, hati mereka menyanjungkan mengidamkan berada di dalam hunian sempurna ini. Kadang-kadang ada dari mereka yang rela berdiam berdiri di hadapak gerbang yang menjadi langkah awal untuk menemui istana tersebut. Hanya diam saja di situ, mengamati kemudian menunduk, tidak lupa helaan napas yang pelan sekali. Namun, kentada sekali sorotan mata yang menyentuh tiap-tiap dinding penuh hasrat, tetapi ambisinya tidak meledak-ledak. Kemudian orang itu mundur teratur, pulang, tahu bahwa itu hanya dalam imajinasi belaka—lihat saja punggungnya merunduk, bahu pun merosot. Ada pula yang orang lain yang tidak segan-segan meminta masuk hanya untuk sekadar duduk-duduk di halaman berumput hijau nan lembut. Wajahnya cemerlang sekali, seakan-akan pptimis akan menjadi seperti orang di dalam istana ini, suatu hari nanti. Pulang-pulang pun segar sekali, seperti ketiban rezeki tiada tara. Sejatinya, itu masih dalam imaji belaka karena dia hanya membayangkan tanpa mengusahakan.

Setidaknya, hari-hari yang berbaris kemudian melaju satu per satu, tidak luput dari pandangan sarat makna dan tingkah laku dusun orang-orang sini ketika melewati istana itu. Istana itu tidak pernah absen dilalui para tetangga yang tiba-tiba membuat pasukan pengagum istana anti badai. Entahlah, sejak kapan semua itu dibuat. Akan tetapi, mereka itu kurang kerjaan—tidak ada kerjaan sama sekali. Dalam perkumpulan rutin seminggu hampir tujuh kali, tidak henti-hentinya menggoda kesolekan dinding-dinding berlapis pewarna anti noda, kaca-kaca tebal yang dihalangi tirai padat sehingga sulit untuk menelisik isinya, atap mengkilap menjulang bagai mahkota tersohor. Senetulnya, tidak begitu megah, tetapi ini satu-satunya hunian paling megah di antara hunian-hunian lainnya. Menjadi primadona dalam wilayah teesebut, belum lagi pagar tembok dan besi setinggi satu meter. Mereka selalu mengira-ngira ada kolam berenang yang luas dan menyegarkan. Bangunan dua lantai itu sukses membuat para warga jadi mendamba-damba. Sedikit sekali dari mereka yang kemudian membandingkan hunian mereka dengan hunian bak istana ini. Memisuh dinding bersemen, mengeluh lantai yang retak, mengolok atap yang bolong-bolong menyebabkan air hujan atau sinar matahari mudah bertandang. Mereka itu memang tidM bersyukur.

Sampai-sampai aku harus selalu menghela napas kasar, kasar sekali. Berdiri di belakang orang-orang yang menatap kemegahan hunian di hadapan mereka. Salahku juga, pulang di saat orang-orang dusun ini beraksi. Salah satu di antara mereka menyadari kehadiranku. Aku menatap pria kurus itu datar, dengan terang pria itu mencolek pundak semua orang. Setelah itu, aku menjadi pusat perhatian, tanpa komando mereka membelah dan membiarkanku berjalan. Jadinya aku berjalan, sebelum sampai menutup gerbang, aku berbalik, menatap wajah berhasrat mereka satu per satu, kemudian aku berkata, “Pulanglah ke istana kalian masing-masing.”

Kalau dipikir-pikir itu adalah interaksi pertamaku dengan orang lain di sini. Ada kelegaan disertai kekhawatiran, barangkali kalimatku melukai hati mereka. Namun, hati benar-benar sudah jengah memperhatikan tingkah laku orang-orang yang sama sekali tidak bermutu, ya, ini cukup melegakan. Kututup gerbang dan kemhdian menyisakan gumulan cakap, entahlah apa pun yang dibicarakan aku tidak tidak peduli. Aku hanya peduli tentang kejadian saat kubuka pintu utama. Jantung kembali mengalun dengan tempo cepat tidak beraturan. Rasa cemas kian bergulat dalam diri. Tangan kanan sudah menggenggam kenop yang terasa dingin. Sayup-sayup terdengar ingar bingar, meletup-letup bagai petasan yang kerasuka kembang api. Sementara, keningku berkerut, yakin sekali di dalam ada lapisan kedap suara yang mampu meredam satu patah kata pun dari dunia luar. Tiba-tiba aku menoleh, memastikan apakah orang-orang itu masih ada di sana. Alih-alih bernapas lega, mulut ini mengumpat. Sial, sial, sial! Kuvuka pintu yang kini terasa lemah, ketika akan dikunci sudah tidak bisa. Menolak terkunci sehingga terbuka lebar. Tidak ada harapan untuk menyembunyikan kejadian di dalam sini.

Aku berdiri di tengah pintu yang terbuka lebar. Harusnya sudah terbiasa dengan pemandangan ini. Manusia-manusia itu saling melempar sorot tajam dari mata yang menghunus. Mulut-mulut memuntahkan sunpah serapah, caci maki, hinaan, tetapi paling dahsyat tangan-tangan mereka menarik paksa tatanan hunian. Pilar-pilar yang dari kemarin susah payah kubenahi, kini kembali dirusaki berbaring di lantai bersamaan pecahan kaca-kaca—entah kaca vas, bingkai, piring, gelas, bahkan kaca jendela belakang, menyatu di atas marmer mahal. Ruangan ini gelap, menyisakan satu lampu kristal yang bergoyang hebat, pertarungan manusia-manusia di hadapanku ini bagaikan lindu yang memborbardir suatu wilayah. Cahayanya berperndar redup, malu untuk bersolek. Salah satu mereka mulai berlagak bak raksasa meraih perabotan untuk diangkat kemudian dilempar ke lawan. Melesat, ombasnya kaca tebal ruang tamu koyak terhantam. Pecahannya berserakan di halaman depan. Lawannya tidak mau kalah, diangkatnya teve tipis besar yang kemudian dilempar ke arah lawan. Tidak melesat, sedikit mengenai tubuh bagian kanan, tetapi dia cukup kokoh. Nahas, teve itu kembali mengenai satu-satunya pilar yang menopang. Aku bergerak mundur sampai akhirnya berdiri di halaman.

Percuma. Sia-sia kutarik manusia itu keluar. Tidak ada gunanya menghentikan manusia itu untuk tidak mengoyakkan hunian. Suaea gemuruh mulai bersahutan, tetapi manusia-manusia itu dirasuki setan yang berapi-api, makin tengkar makin berkobar. Gemuruh itu bukan dari langit bumi, melainkan langit istana di depanku ini. Bukan pula rintik air yang menghujani bumi, melainkan rintik reruntuhan atap dan semen yang menghujani isi hunian bersama manusia-manusia itu. Mata ini jelas sekali melihat atap itu dengan mudahnya runtuh tanpa aba-aba. Keangkuhannya meluruh, merunduk malu karena sombong, mengaku kalah karena tidak mampu menghalau bencana dahsyat di dalam rumah. Tidak tahu. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Istanaku sudah diruntuhkan pemiliknya sendiri. Aku berbalik membuka gerbang. Terdiam. Berdiri di hadapan lautan manusia dengan beragam rupa dan ekspresi. Tiba-tiba aku menyesal, salah, aku salah. Memang, mereka memang tidak bersyukur dengan hunian mereka sendiri. Namun, pemilik istana yang diprimadonakan lebih-lebih tidak bersyukurnya.

“Mengapa kalian tidak pulang ke istana kalian masing-masing? Apalah arti istana megah, tetapi isinya patah.”

Mereka saling pandang, buru-buru mereka pulang ke istana mereka. Setelah mendapat hanya seorang diri di sini, kumulai melangkah melalui istana-istana rapuh, tetapi masih berdiri dengan usaha dan pertahanan. Dalam perjalanan, kudengar para penghuni menangis menyesal karena merendahkan rumah mereka, ada pula yang berbahagia kemudian menjadi bersyukur memiliki rumah mereka sendiri, sampai aku terhenti di rumah yang sepi dan kosong. Kulangkahkan kaki ke sana. Pulang. Ini pulang yang sebenarnya. Memang, tidak akan ada yang menyambut, tetapi aku akan menyambut diri di rumah yang sama seperti bentuk rumah lainnya. Ini lebih menenangkan. Ini lebih baik. Malam itu, perkotaan sunyi, memperjelas dentuman yang berasal dari istana megah. Bahkan sampai rata dengan tanah pun, manusia-manusia itu masih di ambang kemakian. Biarlah. Esok akan kembali kubenahi istana itu.

-


Komentar