Langsung ke konten utama

layar tipu-tipu

BUKAN terlalu percaya diri, tetapi kuberi peringatan sekeras-kerasnya. Perlu diketahui, di balik peringatan, ada penyesalan dan kekecewaan diri yang membuncah. Akhir-akhir ini menjadi momok, meneror mental diri. Ingin membenci apa yang menjadi pemicunya, tetapi aku butuh. Nyatanya, hampir sebagian hidupku ada di sana. Ini peringatan, agar kamu-kamu tidak usah jatuh karena ekspektasi yang dibentuk hanya dalam satu kali lihat di sebuah layar penipu. Layar itu penuh tipu daya, tolong jangan mudah tergiur dengan polesan-polesan sempurna. Itu semu, nyatanya itu adalah lawan kata sempurna. Kembali kugaungkan sebuah peringatan, bahwa aku tidak seperti apa yang ada di bayangan kamu-kamu, tetapi aku hanya akan membuyarkan, meluluhlantakkan, menghancurkan apa-apa yang begitu sempurna di dalam imajinasi. Aku hanya akan membuat kamu-kamu kecewa.

Aku juga. Setelah lama mengagumi diri di layar penuh tipu daya itu, akhirnya aku menyadari. Itu hanyalah rekaan yang dibuat agar diri tampak bahagia, tetapi itu semu, bahagianya ternyata tidak nyata. Baru kurasakan, selama ini aku tidak seperti apa yang terlihat di layar jahanam itu. Baiklah, itu memang meningkatkan kepercayaan diriku. Namun, fondasinya tidak kokoh, mudah runtuh dalam satu kali sentuh. Untuk apa kepercayaan diri dibangun atas dasar tipu muslihat yang pada akhirnya akan menjatuhkan kepercayaan diri pula? Percaya diriku selama ini ternyata masih memaknai sempurna seperti di layar, bukan kenyataan. Sejatinya, aku harus percaya diri karena menerima diri apa adanya. Selama ini aku belum menerima diriku pada kenyataan, aku hanya menerima diri pada layar penuh kepalsuan. Aku membencinya. Aku tidak mau lagi berhadapan dengannya!

Aku tertawa, sumbang sekali. Rasanya menggelitik, betapa bodohnya diri ini. Dibodohi oleh layar yang bahkan tidak memiliki otak untuk berpikir, tidak memiliki hati untuk merasakan! Namun, layar itu dibuat oleh sosok yang punya otak dan hati. Anehnya, para sosok itu tidak memakai otaknya untuk berpikir tentang layar yang seharusnya berlandaskan kejujuran. Para sosok yang punya itu seakan-akan mati rasanya  untuk sekadar merasakan bahwa layar itu hanya berujung pada rasa kecewa dan marah. Ah, mereka memang tidak perlu susah payah memikirkan dan merasakannya untuk orang lain yang notabenenya adalah sumber cuannya. Nyatanya, para sosok itu hanya tahu usaha untuk melangitkan produk dengan layar-layar kebohongan!

Kini aku terbahak-bahak. Para sosok itu memang sialan. Akan tetapi, aku lebih-lebih lagi sialannya. Dalam dunia serbadaring, apa-apa mesti berhadapan dengan layar tipu-tipu ini. Menjelajahi perantara tanpa wujud. Msnaungi segala macam kebahagiaan yang berterbaran, tetapi tidak begitu bahagia. Sesuatu di balik layar tipu-tipu ini begitu megah, begitu ajaib, begitu magis, membuat siapa pun akan terpikat dan rela berlama-lama berselancar di dalamnya. Salah satunya adalah aku. Aku adalah manusia yang hampir-hampir atau malah bisa jadi mendedikasikan diri sebagai manusia penganut layar tipu-tipu. Aku bersumpah, ini adalah peringatan bagi diri yang lebih sering mendekam di suatu ruangan daripada menjadi diri sosial di tengah-tengah makhluk sosial.

Bayangkan, bstapa bodohnya aku. Bisa-bisanya diri ini tersenyum lebar, bersemu-semu mengamati wajah yang begitu cantik, bercahaya, dan penuh pesona di hadapan layar tipu-tipu itu. Semwntara, aku akan menemukan pantulan diri yang jelek, gelap, dan kurang menarik untuk dipandang, yang ada hanya wajah cemberut, bibir datar—bahkan kedua sisinya sama-sama turun ke bawah di hadapan cermin yang menjujung tinggi nilai kejujuran. Baru kudapat momen bahwa jujur itu menyakitkan, tetapi kebohongan yang menyenangkan akan berujung pada sakit yang mematahkan segala ekspektasi kemudian menjadi kecewa dan marah pada diri sendiri. Untuk ke depannya aku memilih jujur meski menyakitkan, daripada harus menerima kesenangan yang semu, tetapi di akhir ada rasa yang lebih menyakitkan dari kejujuran. Ya, saat ini aku tengah dilanda akibat dari sebab kebohongan yang berhasil mengepakkan sayapku sampai ke langit. Namun, sayap itu juga semu dan akhirnya kesemuannya menjatuhkanku kembali ke tanah berlumpur dan bau. Seperti itulah aku.

Sekali lagi kumohon jangan mudah terpikat dengan apa yang terlihat di layar tipu-tipu milikmu. Itu terlalu sempurna, sementara aku tidak sempurna. Jadinya, dalam penyesalan yang dalam ini, aku akan belajar menerima diri seraya memperbaiki diri. Bukan untuk menjadi sempurna, melainkan menjadi perempuan yang sesuai dengan takdirnya. Aku hanya ingin mencoba untuk berseri-seri di cermin kejujuran dan biasa saja di layar tipu-tipu.



Komentar