Langsung ke konten utama

NAKA

NAKA, dia makhluk paling menyebalkan yang ada di muka bumi ini. Dia itu lemah, dia tidak bisa beradaptasi di dunia yang keras ini. Biar kukatakan bahwa tempat kita singgah ini tidak membutuhkan orang lemah. Lebih tepatnya, hidup ini tidak peduli mau kita lemah atau kuat. Sementara aku memilih untuk kuat dibanding harus lemah. Dan Naka, selain lemah dia juga berisik.

Biarlah Naka menganggapku egois atau manusia jahat sekali pun. Dia itu, tidak mengerti mauku, maunya dimengerti. Pengertian kami itu tidak sama, bahkan bertolak belakang. Naka selalu menuntut untuk menuntaskan kemauan diri yang sesungguhnya—katanya begitu. Sementtara, aku punya cara sendiri dalam menuntaskan apa yang kumau karena aku tahu apa yang kumau. Semudah itu sebenarnya, tetapi Naka tidak mudah. Orang itu tidak mudah untuk satu visi denganku, tetapi mudah sekali baginya membuatku tidak suka. 

Lihat dia, seperti tulang ekor yang mengekori ke mana pun aku berjalan. Aku tidak paham, bagaimana sistem otak Naka berfungsi. Wajah cemberut sekaligus judesnya itu benar-benar bebal, semakin jelek saja kalau dilihat-lihat. Namun, aku tidak akan pernah lagi melihatnya. Naka sudah tidak lagi menghargaiku seperti dulu saat pertama. Aku ingat betul dia berdiri di depanku seraya bertepuk tangan paling kencang, bahkan wajahnya begitu sumringah dan menampakkan kebanggaan. Sekarang apresiasi itu sudah terkikis, ah, lagipula aku sama sekali tidak butuh itu darinya karena orang-orang di sekitarku lebih memahamiku dibanding Naka.

Daripada mengutuk Naka yang membuatku kesal sendiri, lebih baik aku kembali menjadi berguna untuk orang lain. Kurasa membuat bahagia orang lain itu sebuah prestasi yang mulia. Aku tahu, dunia ini tidak secara gratis memberi teduh bagi para penduduknya. Pada kenyataannya, hari-hari yang dilalui di tempat berteduh ini, selalu dihampiri masalah-masalah yang tanpa sadar membuat keluh. Itu rasanya tidak mengenakkan sekali, ketika mesti berjalan di muka bumi, tetapi bumi menggelar ranjau di bawahnya. Sebagai sesama manusia, kurasa aku harus sedikit meringankan beban dan kesakitan mereka dari hari-hari yang penuh peluh.

Aku rela membagi tawaku pada siapa pun yang membutuhkan. Sering kali kutampakkan mimik wajah yang absurd, tingkah laku yang menggelikan, guyonan konyol, atau pura-pura menjadi bodoh. Semua itu kulakukan hanya untuk menjadi berguna bagi orang lain. Itu memang sangat memuaskan untukku, melihat mereka semua tertawa karenaku adalah pencapaian yang memuaskan Bahkan, aku juga akan ikut tertawa bersama mereka. Aku tidak segan-segan untuk membungkuk sebagai ucapan terima kasih kepada orang-orang yang menyebutku sebagai badut lucu—itu bukan masalah, serius.

Aku bukanlah pelawak atau komedian, tetapi aku suka membanyol. Entahlah, aku juga tidak tahu kapan persisnya memulai semua ini. Kalau diingat-ingat, aku sebenarnya takut untuk membawa ingatan ke masa itu. Kubiarkan orang-orang itu pergi dari hadapanku dan kembali pada ruangnya masing-masing. Harapanku hanya, mereka menjadi kuat menjalani hari-harinya, sampai punggung mereka hilang di balik pintu. Ruangan ini menjadi senyap dan sunyi, kosong. Rasa yang penuh tadi hilang, berganti menjadi kesendirian.

Suara helaan napas setidaknya membuatku sadar, ternyata aku tidak sendiri. Aku enggan mengakui keberadaannya. Aku jengah mendapati dia berada di dalam diriku. Kadang-kadang sulit bagiku untuk menerima bahwa Naka adalah aku. Namun, bagaimana bisa aku dan Naka menjadi dua sisi pada satu tubuh? Kadang-kadang aku berpikir, untuk bagaimana cara mengusir Naka dari diriku, kalau bisa dari hidupku. Dia benar-benar menggangguku, tahu? Sampai kulihat Naka berjalan melaju di depanku, menjauh dan semakin kecil di mataku.

Tidak bisa seperti itu, maksudku, aku tidak bisa diam saja, kakiku mengekorinya. Sial, kali ini mengapa aku yang seperti tulang ekor? Kuikuti ke mana pun Naka berjalan lesu, kepalanya menunduk dalam, pundaknya layu. Aku diam, aku tidak tahu ini perasaan apa, tetapi aku merasa bersalah karena tidak acuh dengan Naka. Satu hal kusadari, bahwa Naka tidak akan pernah bisa pergi dariku. Dalam satu garisan takdir, Naka adalah aku, Naka adalah diriku yang kuabaikan.


Komentar