Langsung ke konten utama

KALAH

KADANG-KADANG kamu berpikir hidup ini adalah pertandingan. Tentang berlomba-lomba dalam merampas kebahagiaan. Orang-orang tadinya tidak berpikir sama sekali, tetapi semakin hari persediaan kebahagiaan semakin menipis. Sisa bahagia yang terkikis, membuat persaingan menjadi semakin sengit.

Tadinya mudah bagimu untuk setidaknya menikmati sedikit dari kebahagiaan yang ada. Namun, rasanya semakin pudar pula keyakinanmu untuk merengkuh satu per satu rasa bahagia. Segala strategi disusun sedemikian rupa. Merangkai lamat-lamat dan saksama, bagaimana sekiranya menyingkirkan para manusia kesiangan itu.

Semakin disingkirikan semakin berdatangan. Kamu kewalahan, tanganmu sudah tidak memiliki kekuatan untuk menghalangi mereka-mereka. Sudah layu, bahkan tubuhmu dibuat sempoyong ke sana kemari. Teriakan pekakmu pun tidak ada artinya, sudah tidak senyaring dulu kala. Kali ini, kamu seperti seonggok makhluk yang siap-siap akan roboh.

Tenagamu disedot habis-habis oleh usahamu yang sia-sia. Namun, ada yang tidak habis, bahkan menguasai dirimu utuh-utuh. Tentang kekhawatiran akan masa yang akan datang. Itu yang membuatmu memaksa berdiri kokoh. Sebuah ketakutan yang sejak awal sudah bertandang, kini tambah memupuk dan tergenang.

Kalut, tetapi tidak ada dayanya, itu kamu saat ini. Takut, tetapi tidak ada upayanya, itu kamu kali ini. Kemelut, tetapi tidak ada pahlawannya, itu kamu dari waktu ke waktu. Rungut, tetapi tidak ada ubahnya, itu kamu di wajahmu.

Lalu, apakah pesisir yang tadinya sunyi dan indah akan berubah menjadi lautan akibat ombak laut yang tidak kunjung kembali? Kalau dilihat-lihat, tidak akan ada surutnya, sejauh mata memandang tertangkap deretan siluet manusia tanpa celah bagaikan ombak yang serakah dan duduk di sisi lautan.

Dalam pertandingan ini, dengan rasa hormat dan harga diri yang masih berjaya. Kamu mengangkat tangan dan berkumandang dengan sisa-sisa pita suara yang kusut. Kamu tidak acuh terhadap apa-apa yang menabrak bahu kanan dan kirimu. Kamu hanya peduli tentang kekeliruan yang baru disadari.

Bahwa kebahagiaan bukanlah piala luar biasa yang mesti diperebutkan. Dia biasa saja, kebahagiaan itu terlalu biasa. Ya, pada akhirnya bahagia akan biasa-biasa saja jika kamu terus-menerus mengejarnya. Kebahagiaan itu mendongak songkak, mulai bersikukuh menjadi angkuh. Lagaknya meraja, seyogyanya dia adalah sisaan karena kebahagiaan yang lain sudah lebih dulu jatuh di tangan yang tepat.

Dan kebahagiaan itu tidak sehat untuk ketepatan tanganmu. Maka, kamu melambaikan tangan. Kamu berbalik melawan arah pasukan manusia kesetanan. Kamu melangkah ke arah manusia yang berbondong-bondong ke srahmu. Meski tertatih, tetapi kamu mulai membangun keyakinan dan kepastian. Perlahan-lahan mulai mengaku kalah.

Mengaku kalah adalah perbuatan terpuji untuk keluar dari pertandingan yang tidak sehat. Kali ini, kekalahanmu menuai rasa bangga karena menjadi satu-satunya manusia yang sadar. Sadar bahwa kebahagiaan adalah ketika kamu mengalah. Kamu sudah kalah di pertandingan ini, tetapi kamu akan menang pada realitas kehidupan tanpa pertarungan. Seyogyanya, dunia selalu tentang penyadaran dan pemahaman diri, bukan persaingan dan kemenangan.

Maka, berbungkuklah untuk para manusia yang mengaku kalah. Sebab, yang mengalah tidak melulu menyerah pada kemenangan. Kadang-kadang mereka mengalah hanya untuk menjaga kewarasan.


Komentar

  1. Padahal ini konten sajak, kok bisa bisanya ya aku jadi kepikiran buat konten artikel? Btw, thx for inspiration

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahh, makasih banyak udah mampir, Mass. Makasih juga karena udah mendmukan inspirasi di sini, merasa terharu, huhu.

      Hapus

Posting Komentar