Langsung ke konten utama

JENAKA

BISA JADI orang yang duduk diam sendirian, tidak benar-benar berdiam diri. Mungkin mulutnya terkatup, pandangan mata menitik lurus tanpa tuju. Tidak ada pergerakan berarti yang diaksikan orang diam itu karena tampaknya memang berdiam. Namun, di dalam diamnya, ada dialog yang tidak kasat.

Orang-orang tahunya dia berdiam karena memikirkan premis dan punchline. Namun, orang yang diam itu bukanlah pandai dalam berguyon, melainkan manusia yang menadah perasaan sumpek sampai penuh. Pada rasa yang penuh, wadahnya tidak bisa lagi menampung. Rasa sumpek yang tersisa akhirnya terjatuh ke tanah yang basah karena menadah rinai.

Orang itu akhirnya memilih duduk di tepian danau. Mata kosongnya menyaksikan permukaan air yang gelap karena langit tengah menyembunyikan primadonanya. Namun, itu bukanlah sebuah persoalan yang mesti dipermasalahkan, orang itu masih menunggu-nunggu suara lain untuk menemukan penerangan yang lebih terang dari bulan.

“Tadinya aku mau membiarkanmu pergi saja, kalau perlu tidak usah repot-repot menampakkan diri di pandanganku.” Orang itu berkata, tetapi dia tetap diam. Punggungnya bersandar pada batang pohon yang sejak tadi menemaninya.

“Jena memang akan selalu egois, sayangnya takdir membuatku tidak bisa lepas darimu.” Suara lain akhirnya bertandang dan sesuatu keluar dari tubuh Jena kemudian ikut duduk bersandar di samping Jena.

“Dan Naka yang tidak akan pernah bisa memahamiku. Memang, sayangnya takdir membentuk Naka dalam diriku.” Jena terkekeh dan bersungut ketika angin bergerak di hadapan mereka.

Orang yang berlalu lalang melihatnya dia adalah manusia dengan nasib buruk hari ini. Merana dan berpasrah pada alam, kentara sekali dari raut mukanya yang luruh. Namun, lagi-lagi, orang-orang itu tidak tahu bahwa Jena tengah bernegosiasi dengan Naka. Ah, sayangnya takdir tidak membuat orang-orang itu dapat melihat Naka. Mereka hanya melihat Jena sendirian.

“Gara-gara kamu, orang-orang menatapku iba,” keluh Jena. “Aku benci orang-orang dengan tatapan hina itu, tetapi aku lebih membenci sosok yang membuat mereka menatapku iba.”

Naka tertawa keras tiba-tiba, Jena yakin dia tidak sedang melucon. Akan tetapi, sosok itu masih tertawa dan memukul-mukul rumput di bawah mereka. Jena melihat sejenak, dia ingat terakhir kali Naka dapat tertawa bebas karenanya. Sudah lama sekali, kalau tidak salah itu saat Jena mulai beranjak dewasa dan mengenal dunia secara luas dan dalam.

Lama-kelamaan tawa Naka menjadi sumbang dan berubah menjadi helaan napas yang keras. Dia menoleh untuk menangkap wajah Jena. Seketika itu juga keduanya bertatap. Tangan Naka terulur dan menempelkan ujung jari telunjuknya ke ujung hidung Jena. Kemudian diketuk pelan beberapa kali.

“Hei, Jenaka. Kamu itu memang pantas dipandang iba. Tahu kenapa?” Naka berhenti mengetuk hidung Jena dan beralih ke hidungnya sendiri kemudkan mengetuk-ngetuk. “Karena kamu sudah mengabaikanku, karena kamu telah membuatku tidak suka padamu.”

Jena membuang muka, kembali mengarahkan pandangan pada permukaan air yang tenang. Selanjutnya dia berkata, “Wajar aku mengabaikanmu, kamu membuatku muak karena kamu lemah. Ah, ya, jangan sebut nama utuhku.”

“Sekadar mengingatkan, itu juga nsma utuhku,” timpal Naka.

Jena melengos, tetapi dia tidak daat berbuat apa pun. Itu sudah takdirnya. Takdir Jena untuk memiliki Naka dalam namanya. Semakin diselami pikirannya, semakin membuat Jena terhenyak bahwa bagaimanapun usaha mengabaikannya, dia tidak pernah bisa mengabaikan takdir. Lama-lama Jena jengah juga terus-menerus menghindari dari sesuatu yang sudah melekat dalam dirinya.

“Aku tidak suka, awalnya aku suka karena kamu begitu lihai menghibur orang sekitar. Kupikir kamu memang manusia paling berbudi pekerti. Namun, semakin hari aku semakin tidak suka karena kamu menjadi abai akan diriku. Kamu tidak mempedulikanku. Aku yang notabenrrnya adalah dirimu sendiri.”

Naka akhirnya angkat bicara pada pokok permasalahan. Jena kali ini diam saja, tidak seperti waktu itu yang menyumpal telinga dengan tawa sumbang orang lain. Namun, Jena kali ini sudah lelah, perasaan sumpek tadi tidak mungkin terus-menerus ditumpuk.

“Itu caraku membahagiaksnmu, membahagiakan diriku semdiri.”

Mendengar jawaban Jena, rasanya Naka benar-benar harus melayangkan tamparan. Akan tetapi, Naka tidak boleh menyakiti dirinya sendiri. Naka masih punya hati nurani, tidak seperti Jena.

“Bahkan, saat ini kamu berbohong. Banyak sekali, ya, dosamu.” Naka pasrah. “Kadang-kadang aku mengeluh mengapa takdir menyatukan aku denga manusia jahat sepertimu. Kamu bilang bahwa aku tidak memahamimu, nyatanya kamu sendiri yang tidak memahamiku. Kamu tidak pernah mau mencobanya, kamu hanya peduli membahagiakan orang lain, tetapi kamu tidak peduli padaku, aku yang notabenenya adalah dirimu.”

“Memang apa yang sal—”

“Jelas salah karena kamu tidak berubah membahagiakan diri kamu sendiri, Jena. Kamu memang bahagia saat orang tertawa karena kamu, tetapi aku tahu palung hati kamu. Tahu betapa sepinya dirimu, tahu betapa hampnya hatimu, aku tahu karena aku ada di sana.” Kali ini Naka berteriak, sampai-sampai berdiri dan menatap marah. Katakanlah, Naka sudah benar-benar marah. “Aku juga maunya pergi dari sana, Jena, tetapi aku adalah kamu yang selalu mengekori ke mana-mana. Aku tidak pernah sekali pun menyakitimu, tetapi kamu buat aku babak belur, Jena.”

Jena diam, kali ini dia benar-benar berdiam diri. Setelah melihat wajah Naka yang persis seperti miliknya, Jena menunduk dalam memperhatikan lembar rumput yang ikut menunduk. Untuk pertama kalinya, Naka marah hingga berteriak. Untuk oertama kalinya, Jena melihat dirinya marah dengan dirinya sendiri. Namun, Jena mendongak ketika Naka ambruk dN runtuh di hadapannya. Bahu Naka bergetar, perlahan-lahan Jena merasa terempas karena Naka menangis.

“Aku mohon, sudahi, Jena. Aku butuh kamu untuk diperhatikan, dipedulikan. Aku sumpah, aku tidak melarangmu membuat orang-orang tertawa, tetapi aku melarang dan menyayangkan karena kamu tidak mencintaiku, kamu tidak mencintai dirimu sendiri, Jen.”

Jena membisu, tetapi tangannya terulur menyentuh bahu Naka. “Naka, aku minta maaf, Jenaka.”

Malam itu, Jena akhirnya mulai peduli dengan Naka dan Naka kembali menyayangi Jena. Kisah Jena dan Naka sudah tidak ada lagi, hanya ada kisah Jenaka yang akhirnya berdamai dengan dirinya sendiri.

Namun, apabila kamu adalah Jena, jangan abaikan Naka-mu. Tidak ada yang salah dengan menyenangkan orang lain. Akan tetapi, apakah itu berarti kalau kamu masih mengabaikan dirimu sendiri?


Komentar