Langsung ke konten utama

JATUH

ENAM PULUH hari lebih, per detik ini akhirnya aku menyadari sesuatu yang tadinya tidak meyakinkan kini begitu nyata. Awalnya, aku tidak mau meneruskannya, ada ragu yang membentengi. Namun, dia punya pukulan kuat. Dalam satu pukulan, mampu meruntuhkan benteng yang kubangun begitu lama. Atau, kurasa dia mengendalikanku untuk menghancurkan bentengku sendiri?

Untuk yang satu itu, pun, aku masih meragukan. Katakanlah mungkin ini adalah pikiran egoisku. Apakah aku akan menjadi jahat karena telah egois? Sebetulnya ingin, tetapi kepalaku menggeleng keras—benar-benar baik hati. Aku banyak menghela napasnya, memikirkan tentang hal yang semakin nyata. Kira-kira sampai kapan akan terus seperti ini, ya?

Jalan-jalan sore di perkampungan jad salah satu pelampiasan penat terbaik. Pelan-pelan saja jalannya, tetapi pasti dan semakin jauh dari titik awal. Aku berhenti aejenak, tertegun. Berbalik badan dan memandang titik awal yang kini sudah memgecil. Aku tertawa kecil, bagaimana bisa perjalanan ini mnganalogikan polemik romansaku saat ini?

Titik awal tadi, ketika aku sama sekali tidak sadar bahwa dalam perjalanan yang melaju aku akan jatuh. Bukan, bukan jatuh yang menyentuh muka aspal #, melajnkan jatuh tepat di hadapan lelaki yang kala itu tengah tersenyum AnehnYa padaku. Detik ini kusadari lagi, aku jatuh sejatuh-jatuhnya.

Anehnya, jatuh saat itu tidak menorehkan luka sama sekali. Seteta darah pun tidak menyembul dari bakik kulitku. Seperti jatuh ke langit, serius aku tidak berbohong. Aneh, tetapi aku benar-benar menikmati jatuh di hadapannya. Hal yang paling membuatku semakin jatuh adalah ketuka dia membantuku berdiri dan membuatku kembali brrjalan melaju.

Namanya jatuh cinta, kan?

Aku kembali berbalik badan dan melangkahkan kaki langkah demi langkah. Tadinya aku tertawa kecil, saat ini aku tersenyum miring. Dalam pertemuan itu, aku dan dia tidak pernah berjalan bersama lagi. Ya, pernah waktu itu, setelah insiden jatuh yang seperti terbang. Aku dan dia hanya berjalan, hanya berjalan, tidak ada sesuatu yang spesial.

Ralat, maksudku ada, dia. Dia yang spesial. Lelaki yang kala itu berjalan di sampingku, dia spesial. Meskipun pada akhirnya aku dan dia harus berpisah di persimpangan jalan. Aku ke kanan, dia pergi ke kiri.

Berdiri di persimpangan yang ada di depanku. Aku pernah dihadapkan dengan situasi seperti ini. Saat itu, aku ksmbali sesaat setelah dia melesat ke jalan kiri. Rasa ingin tahu itu melonjak karena ada yang menelisik ke dalam hati. Aku hanya ingin tahu, ingin memastikan, tetapi dengan catatan tidak meminta dia untuk selaras denganku.

Aku berlari, lari saja sebelum lelaki itu terlalu jauh perginya. Sampai bola mataku menemukan punggungnya. Aku tersenyum, aku menahan diri supaya tidak jatuh. Daya pikat lelaki itu, membuatku sesak napas. Susah payah kupanggil nama dia.

Dia berhenti dan menoleh, tidak, jangan, jangan tersenyum. Itu akan bereaksi tidak baik untukku. Namun, dia melakukan lebih dari itu. Dia tetap tersenyum dan berjalan menemuiku. Lelaki itu lagi-lagi berdiri di depanku.

“Aku hanya memastikan, apakah jantung ini berdetak kencang karenamu,” kataku cepat.

Aku tahu, aku harusnya tahu, dia adalah lelaki baik hati yang hadir untuk semua orang.

“Lalu?” tanyanya.

Aku mengangguk, semakin kupandang lekat-lekat wajahnya, jantungku memacu semakin cepat. “Ya, memang karenamu.”

Aku pun tahu, bahwa aku bukanlah orang yang mampu membuat jantungnya terpacu. Bahkan, untuk membuatnya jatuh seperti terbang saja aku tidak memiliki daya tarik sama sekali. Aku tahu, aku harusnya tahu jawaban itu.

Dia tersenyum dan berkata, “Terima kasih. Namun, aku tidak merasakan itu padamu. Kapan-kapan kita jalan bersama lagi, ya?”

Tentu saja! Ya, tentu saja aku dan dia akan berjalan lagi dan tentu saja aku menerima jawaban yang pasti itu.

Aku mengangguk, mundur beberapa langkah, dan pergi. Aku melambaikan tangan. Sampai jumpa lagi. Aku dan dia sama-sama tersenyum. Setelah dia berbalik dan aku berbelok. Aku jatuh, aku menjatuhkan diriku sendiri. Jatuh yang tidak membuatku terbang, tetapi tidak ada darah karena lukanya tidak tergores di kulit, tetapi terasa di hati.

Kalau diingat-ingat, hatiku kembali terasa seperti jatuh di saat yang kedua. Sudahlah, sudah mau petang, aku harus kembali pulang. Perasaan ini biarlah berteduh. Entah berapa lama, barangkali ada keajaiban. Tidak, aku sama sekali tidak berharap. Tidak ada harapan, aku berjanji tidak akan ada harapan karena aku tidak ingin jatuh. Apa pun bentuk jatuhnya, aku tidak ingin merasainya lagi.


Komentar