Langsung ke konten utama

JENA

JENA, orang itu benar-benar menguji kesabaranku. Sejak awal sudah seharusnya kupaksa diam di rumah saja. Terserahlah, aku tidak acuh kalau-kalau dia menudingku pemaksa. Pada kenyataannya, dia sendiri adalah pemaksa—ah satu lagi, dia egois. Bahkan, saat ini dia tidak menganggapku ada. Kalau saja aku tidak sayang, akan kulayangkan tamparan dan memberikan bekas merah di pipi gembulnya itu.

Aku tahu bahwa Jena tidak akan mendengarkanku. Telinganya dibuat berkutat pada orang-orang di sekitarnya—kecuali aku, tentu saja. Orang yang sering kukutuk itu selalu melakukan hal-hal yang berguna, untuk orang lain bukan untuk dirinya. Kadang-kadang aku suka heran dengan bagaimana jaringan otak Jena berkaitan. Bagaimana bisa dia menjadi berguna untuk orang lain, tetapi di saat yang bersamaan dia tidak berguna untuk dirinya sendiri? Dia memang kurang ajar.

Aku mendelik ketika orang-orang di sekitar menertawakan Jena. Lelucon katanya, dia suka berguyon, berbingkah laku aneh, berekspresi jelek, apa pun itu yang memancing gelak tawa pendengarnya. Mula-mual, aku memang kagum dengan Jena, dia begitu lucu dan ceria karena menjadi pemantik dan pencipta riang di ruang yang pengap oleh printilan masalah hidup. Jena seperti pahlawan super yang menyelamat orang-orang dari hari yang sumpek dan berisik akan hingar-bingar kehidupan. Jena, orang itu memang memgagumkan sampai-sampai aku bertepuk tangan dan rela berdiri untuk mengapresiasi.

Namun, Jena, semakin lama semakin tidak sehat. Daripada terkagum-kagum, aku merasa miris sekali. Pada percobaan pertama, tawanya memang terlihat alami. Hanya saja, di bumi yang berputar sampai mengubah posisi matahari dan bulan, semesta pun tahu betul gelak tawa yang digema itu sumbang. Sudah sumbang, disumbangkan pula kepada para pemilik tawa sumbang. Benar-benar siklus yang monoton, tetapi aku tidak mengelak itu mengiris hati.

Aku tidak mengerti, mengapa Jena harus bersikap berbalik dengan apa yang tengah dirasainya. Tentang ksi kepala seperti benang kusut. Tentang isi hati seperti hunian terbengkalai. Tentang diri yang lemah, tetapi semakin lemari karena memaksa kuat. Entah kapan usainya, seakan-akan Jena tidak mau herhenti dari tabir semunya. Jena akan selalu melancarkan aksinya untuk membiarkan siapa pun tertawa karenanya. Rasanya ingin sekali kutarok orang itu kembali pulang dan mendududukkan dia di hadapanku lalu kupaksa dia mendengarkanku.

Hanya itu, tetapi Jena akan selalu menjadi Jena. Dia tidak mau melirikku sama sekali, memandangku sinis dan membuang muka. Jena menjadi orang yang baik bagi orang lain, tetapi Jena tidak baik padaku, sementara aku adalah bagian dari dirinya yang butuh perhatian. Jena tidak pernah mengacuhkanku, Jena tidak acuh dengan dirinya sendiri. Jena terlalu sibuk untuk iba dan bersimpati kepada orang lain, tetapi tidak dengan dirinya sendiri. Jena terpaku untuk menjadi badut demi msngusir penat orang lain.

Itulah Jena yang egois pada dirinya sendiri. Dialah Jena yang tega mengabaikanku. Dan akulah Naka, sisi lain Jena yang butuh dipahami dan dimengerti.


Komentar