Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2022

KALAH

KADANG-KADANG kamu berpikir hidup ini adalah pertandingan. Tentang berlomba-lomba dalam merampas kebahagiaan. Orang-orang tadinya tidak berpikir sama sekali, tetapi semakin hari persediaan kebahagiaan semakin menipis. Sisa bahagia yang terkikis, membuat persaingan menjadi semakin sengit. Tadinya mudah bagimu untuk setidaknya menikmati sedikit dari kebahagiaan yang ada. Namun, rasanya semakin pudar pula keyakinanmu untuk merengkuh satu per satu rasa bahagia. Segala strategi disusun sedemikian rupa. Merangkai lamat-lamat dan saksama, bagaimana sekiranya menyingkirkan para manusia kesiangan itu. Semakin disingkirikan semakin berdatangan. Kamu kewalahan, tanganmu sudah tidak memiliki kekuatan untuk menghalangi mereka-mereka. Sudah layu, bahkan tubuhmu dibuat sempoyong ke sana kemari. Teriakan pekakmu pun tidak ada artinya, sudah tidak senyaring dulu kala. Kali ini, kamu seperti seonggok makhluk yang siap-siap akan roboh. Tenagamu disedot habis-habis oleh usahamu yang sia-sia. Namun, ad

KAMU

KAMU , hai, apa kabar? Kuharap kamu hari ini baik-baik aja, ya. Meskipun ada hal-hal yang bikin kamu jadi enggak baik-baik aja, kamu bisa ceritain ke aku. Enggak perlu ceritain masalahnya kok, cukup berbagi terkait perasaan kalutmu. As long as you need, I’ll be stand to listen your feel, xixi. Sampai saat ini, rasa itu masih ada. Kamu tahu, tetapi aku enggak berharap kok. Lebih tepatnya, aku berusaha untuk menekan harapan. Aku bohong kalau aku enggak berharap. Pada akhirnya—tanpa disadari harapan itu secara otomatis akan tumbuh, tinggal bagaimana kita mengelolanya aja, ‘kan? Aku enggak tahu mau sampai kapan rasa ini terus-menerus singgah. Move on bukanlah hal mudah, sama sekali enggak mudah. Sebelumnya, aku pernah, mengalami kecewa yang akhirnya butuh waktu lama untuk pulih. Bahkan sampaj luka itu hilang—ternyata luka hati bisa hilang juga, wkwk. Kali ini, mungkin karena aku udah lebih dewasa dan lebih bisa mengontrol perasaan. Aku optimis bisa cepat pulih dari sebelumnya. Aku udah de

JENAKA

BISA JADI orang yang duduk diam sendirian, tidak benar-benar berdiam diri. Mungkin mulutnya terkatup, pandangan mata menitik lurus tanpa tuju. Tidak ada pergerakan berarti yang diaksikan orang diam itu karena tampaknya memang berdiam. Namun, di dalam diamnya, ada dialog yang tidak kasat. Orang-orang tahunya dia berdiam karena memikirkan premis dan punchline . Namun, orang yang diam itu bukanlah pandai dalam berguyon, melainkan manusia yang menadah perasaan sumpek sampai penuh. Pada rasa yang penuh, wadahnya tidak bisa lagi menampung. Rasa sumpek yang tersisa akhirnya terjatuh ke tanah yang basah karena menadah rinai. Orang itu akhirnya memilih duduk di tepian danau. Mata kosongnya menyaksikan permukaan air yang gelap karena langit tengah menyembunyikan primadonanya. Namun, itu bukanlah sebuah persoalan yang mesti dipermasalahkan, orang itu masih menunggu-nunggu suara lain untuk menemukan penerangan yang lebih terang dari bulan. “Tadinya aku mau membiarkanmu pergi saja, kalau perlu ti

NAKA

NAKA , dia makhluk paling menyebalkan yang ada di muka bumi ini. Dia itu lemah, dia tidak bisa beradaptasi di dunia yang keras ini. Biar kukatakan bahwa tempat kita singgah ini tidak membutuhkan orang lemah. Lebih tepatnya, hidup ini tidak peduli mau kita lemah atau kuat. Sementara aku memilih untuk kuat dibanding harus lemah. Dan Naka, selain lemah dia juga berisik. Biarlah Naka menganggapku egois atau manusia jahat sekali pun. Dia itu, tidak mengerti mauku, maunya dimengerti. Pengertian kami itu tidak sama, bahkan bertolak belakang. Naka selalu menuntut untuk menuntaskan kemauan diri yang sesungguhnya—katanya begitu. Sementtara, aku punya cara sendiri dalam menuntaskan apa yang kumau karena aku tahu apa yang kumau. Semudah itu sebenarnya, tetapi Naka tidak mudah. Orang itu tidak mudah untuk satu visi denganku, tetapi mudah sekali baginya membuatku tidak suka.  Lihat dia, seperti tulang ekor yang mengekori ke mana pun aku berjalan. Aku tidak paham, bagaimana sistem otak Naka berfungs

JENA

JENA , orang itu benar-benar menguji kesabaranku. Sejak awal sudah seharusnya kupaksa diam di rumah saja. Terserahlah, aku tidak acuh kalau-kalau dia menudingku pemaksa. Pada kenyataannya, dia sendiri adalah pemaksa—ah satu lagi, dia egois. Bahkan, saat ini dia tidak menganggapku ada. Kalau saja aku tidak sayang, akan kulayangkan tamparan dan memberikan bekas merah di pipi gembulnya itu. Aku tahu bahwa Jena tidak akan mendengarkanku. Telinganya dibuat berkutat pada orang-orang di sekitarnya—kecuali aku, tentu saja. Orang yang sering kukutuk itu selalu melakukan hal-hal yang berguna, untuk orang lain bukan untuk dirinya. Kadang-kadang aku suka heran dengan bagaimana jaringan otak Jena berkaitan. Bagaimana bisa dia menjadi berguna untuk orang lain, tetapi di saat yang bersamaan dia tidak berguna untuk dirinya sendiri? Dia memang kurang ajar. Aku mendelik ketika orang-orang di sekitar menertawakan Jena. Lelucon katanya, dia suka berguyon, berbingkah laku aneh, berekspresi jelek, apa pun

NADIA

NADIA, perempuan cantik yang gue kenal dalam kehidupan ini. Seorang Mbak yang gue tau enggak mudah untuk menjadi sulung. Ada beban-beban yang akhirnya harus ditumpu. Apalagi setelah mami dan papi sama-sama pergi untuk selamanya. Mbak, kalau mau kita kilas balik, ada enggak, ya, momen paling menyenangkan di antara kita? Sayang banget, sih, kita enggak begitu dekat. Komunikasi kita sebagai hubungan saudara kandung, pun, kurang. Tapi, ada beberapa momen yang masih kuingat sampai saat ini. Mbak inget enggak? Waktu lo nganterin gue les malam ke rumah Mbak Endang? Waktu itu lo belum lancar buat nyetir motor, tapi maksa buat nganter gue, wkwk. Gue sih seneng-seneng aja, ya, soalnya kan mager juga jalan kaki, haha. Hampir mau nyampe rumah Mbak Endang, tapi tiba-tiba motor mati. Bukan karena motornya eror, tapi lo-nya yang eror, wkwk. Terus lo peritahin gue untuk jangan kasih tau papi, ya, Vin. Gue sih manggut aja, ya, wkwk. Akhirnya sampe deh ke rumah Mbak Endang. Terus otak lo kan encer ya

JATUH

ENAM PULUH  hari lebih, per detik ini akhirnya aku menyadari sesuatu yang tadinya tidak meyakinkan kini begitu nyata. Awalnya, aku tidak mau meneruskannya, ada ragu yang membentengi. Namun, dia punya pukulan kuat. Dalam satu pukulan, mampu meruntuhkan benteng yang kubangun begitu lama. Atau, kurasa dia mengendalikanku untuk menghancurkan bentengku sendiri? Untuk yang satu itu, pun, aku masih meragukan. Katakanlah mungkin ini adalah pikiran egoisku. Apakah aku akan menjadi jahat karena telah egois? Sebetulnya ingin, tetapi kepalaku menggeleng keras—benar-benar baik hati. Aku banyak menghela napasnya, memikirkan tentang hal yang semakin nyata. Kira-kira sampai kapan akan terus seperti ini, ya? Jalan-jalan sore di perkampungan jad salah satu pelampiasan penat terbaik. Pelan-pelan saja jalannya, tetapi pasti dan semakin jauh dari titik awal. Aku berhenti aejenak, tertegun. Berbalik badan dan memandang titik awal yang kini sudah memgecil. Aku tertawa kecil, bagaimana bisa perjalanan ini mng