Langsung ke konten utama

Postingan

Featured Post

beres-beres

MAMA meracau lagi, tiap kata yang ditutur adalah sumbang, tetapi bila ditelisik dengan rasa, tidak mampu dijabarkan. Kurang ajar, khianat, sakit hati, cape, saya, mati! Kata-kata yang tidak pernah luput dari bibir pucat Mama. Aku berusaha tidak mengindahkan, tetapi perempuan yang kian kurus itu tidak membiarkanku tenang barang sehari saja. Ada kalanya darahku mendidih saking muaknya menjadi tempat sampah. Namun, wajah Mama yang kusam dan seperti tidak ada kehidupan, membuatkuku mengurungkan niat untuk memarahinya. Pada akhirnya, aku mati-matian memendam amarah dan lelah di sudut hati. Aku tahu, lama-lama akan menumpuk dan suatu saat akan meledak. Namun, siapa peduli? Hidupku sudah tidak terarah, keutuhan telah berserakan menjadi puing-puing, masa depan begitu hitam. Apa yang bisa diharapkan dari perempuan yang hidupnya babak belur? Apa yang bisa dibanggakan dari kehidupan anak perempuan yang sosok ayahnya berselingkuh? Tidak ada. Harapan sendiri sudah termasuk pelecehan bagi hidupku y
Postingan terbaru

wedding nightmares

ALIKA tidak ingin menikah, di sisi lain Tante Isabel sibuk menanyakan tanggal pernikahan yang belum pasti. Sebetulnya Alika mau mengeluarkan sumpah serapah, tetapi itu tidak mungkin mengingat Tante Isabel adalah adik dari papanya. Kini, bagi Alika, pernikahan adalah mimpi buruk. Bagaimana tidak? Sebagai pendengar baik untuk teman-temannya yang sudah menikah. Tentu Alika mendapatkan berbagai cerita di balik pernikahan yang dia kira indah. Misalnya seperti saat ini. Di sudut kafe minimalis, tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung sibuk dengan dunia sendiri. Alika tidak berhenti mengelus-elus bahu Selma. Perempuan berkerudung hitam itu berusaha menahan tangisannya sambil menunduk. Sementara, suaranya bergetar dan terhalangi sesak. Entah bagaimana, tetapi sesak itu merambat masuk ke dalam diri Alika. “Gue cape sebenernya, Ka…* ujar Selma di tengah susahnya menahan pekik tangis seraya mengelus perut, “tapi gue enggak bisa lepasin Andre. Anak gue belum lahir.” Dalam hati, Alika me

ketika cinta tidak sesuai kebutuhan

 Katanya mencintai itu bagian dari kehidupan, hidup tanpa cinta tidak akan berjalan semestinya. Namun, bukan berarti harus mendewakan cinta, ‘kan? Awalnya berpikir bahwa cinta adalah segalanya. Sampai akhirnya merasa, selama ini terjebak luka dalam cinta. Cinta untuk tentang kebutuhan, bukan kebutaan. Cinta itu membuat kita merasa butuh, bukan buta. Kadang kala, manusia suka salah langkah, jatuh cinta lebih dulu sebelum memikirkan apakah yang dicintai sesuai kebutuhan? Pernahkah berpikir, selama mengemban cinta, mengapa makin mencintai justru mengenal patah hati—jika takpernah patah hati, abaikan? Sudah saatnya belajar untuk melihat dan menemukan apa yang sesuai dengan kebutuhan, baru kemudian belajar mencintai apa yang dibutuhkan. Sebab, kadang kala, kita terlalu mencintai sesuatu yang bukan kebutuhan. Pada akhirnya terluka karena tidak bisa bersama. Lantas, apakah jika mencintai sesuatu kebutuhan, akan terbebas dari luka? Tidak juga. Namun, mencintai seseorang yang tidak bisa memenuh

karena aku tahu rasanya, maka aku mengerti

AKU tempat pulang kamu, dik. Jangan ragu untuk pulang. Aku adalah anak keempat Di saat yang bersamaan... aku adalah seorang adik untuk kakak-kakak perempuanku ... dan seorang kakak perempuan untuk adik-adik lelakiku Secara tidak langsung Aku tahu rasanya... menjadi seorang kakak Dan aku tahu persis bagaimana rasanya menjadi seorang adik Setelah hampir dua puluh lima tahun Baeu kusadari... baru kurasakan... mengerti rasanya menjadi adik mengerti mesti bagaimana menjadi kakak Tahu caranya, mengerti kakak-kakak perempuanku mengerti adik-adik lelakiku Hari ini, kabar buruk datang lagi Aku tertawa hambae, tetapi, dik, percayalah aku sedang menangis  Mengapa hidup begitu kejam, ya? Aku memahami,  siapa pula yang mau terkenal musibah? Aku tahu ini bukan salahmu sepenuhnya Hanya saja, keadaan sedang mengujimu Bahkan, sedang mengujiku juga menguji kakak-kakak yang lain... Kita ini keluarga, Ujianmu adalah ujianku juga Aku takingin kamu merasa sendiri Mungkin dunia sibuk menghakimi Namun, dik...

gantung, sisanya hilang

KADANG aku berpikir diam-diam, apa iya semua lelaki sama saja? Menyemburkan rayuan gombal, bahkan tidak sedikit dari mereka yang terang-terangan mengungkapkan perasaan. Awalnya aku merasa tidak enak hati, sehingga berusaha menutur penolakan dengan halus. Namun, makin lama, aku terlatih menjadi galak dan jutek. Tidak tanggung-tanggung, sebelum keberadaan salah satu dari mereka mendekat, sudah lebih dulu kuberi peringatan berupa tatapan tajam, wajah garang, napas membara. Itu sukses, buktinya mereka langsung menyingkir dan mundur perlahan-lahan. Ah, seharusnya kulakukan saja hal konyol ini sejak awal, tidak usah susah payah sok baik—ujung-ujungnya aku juga yang repot. Setidaknya sudah beberapa hari ini hidupku jauh lebih tenang dari para lelaki tidak jelas itu. Jadi, aku lebih leluasa berkeliaran di area kampus ke sana kemari. Sebetulnya, tidak ada jam kelas—ya, dosen plontos selalu mengubah jam yang sudah ditentukan, tetapi tidak apa, paling tidak aku dapat bernapas dari mata kuliah pen

merayakan patah hati

  KINANTI terpingkal-pingkal, matanya tidak berhenti mengeluarkan air. Sesekali di sela tawanya, terdengar bengek. Tangan pun ikut bereaksi, memukul-mukul pelan bagian diri yang hisa dipukul sebagai bentuk luapan emosi. Ekspresi atas respons sesuatu yamg amat lucu. Bagi Kinanti, apa yang dialaminya sungguh lelucon. Susah payah mengumpulkan keberanian selama berhari-hari hanya untuk beberapa menit yang berakhir tragis—lelucon paling parah tahun ini. Tidak ada yang bisa berusaha menghentikan aksi Kinanti. Teman Kinanti berperan sebagai penonton, wajah temannya pilu mengabu, tidak ada bahagia-bahagia sama sekali. Ruangan kelas yang hanya terisi mereka berdua terus memantulkan gelak tawa dari satu sudut ke sudut lain. Sahutan gema itu begitu miris, mengiris siapa pun yang mendengar dan mengetahui peristiwanya. “Cowok itu emang gila, sih!” Kinanti bersahut di tengah-tengah tawa. Dia sampai merunduk saking lelah dan sakit karena banyak tertawa. *Bayangin aja, njir, enam bulan gue sama dia s

pelangi yang tidak pulang

  NASIB jadi orang tua, makin masa, ruang gerak dibuat terseok-seok. Setelah salat subuh di musala—untung tidak begitu jauh dari rumah—Darto melangkah pelan menuju dapur, tangan kurus itu memegangi tembok, hadan sedikit membungkuk. Pelan-pelan, sampai di dekat meja makan. Darto sudah tahu apa yang ada di dalam tudung saji bambu, dalam ingatan pendek, lelaki paruh baya masih ingat lauk yang dia makan tadi malam. Perlahan ditariknya kursi kayu, duduk di sana, termenung saja. Hanya memandang tudung saji sekilas, kemudian beralih ke jendela tanpa tirai, menatap langit gelap di sana, bintang-bintang sudah mulai bepergian, mundur, giliran matahari yang akan menyongsong. Suara jangkrik di luar pun perlahan-lahan mulai menjauh malam. Tersisa embusan angin yang kadang-kadang menerobos masuk melalui ventilasi udara. Andai Darto tahu, betapa langit tidak pernah sanggup ditatap mata nanar nan sayu. Betapa langit begitu tidak tega mendapati tiap subuh, wajah pilu di antara garis-garis keriput. Kad