Langsung ke konten utama

wedding nightmares

ALIKA tidak ingin menikah, di sisi lain Tante Isabel sibuk menanyakan tanggal pernikahan yang belum pasti. Sebetulnya Alika mau mengeluarkan sumpah serapah, tetapi itu tidak mungkin mengingat Tante Isabel adalah adik dari papanya. Kini, bagi Alika, pernikahan adalah mimpi buruk. Bagaimana tidak? Sebagai pendengar baik untuk teman-temannya yang sudah menikah. Tentu Alika mendapatkan berbagai cerita di balik pernikahan yang dia kira indah. Misalnya seperti saat ini.

Di sudut kafe minimalis, tidak begitu ramai. Hanya ada beberapa pengunjung sibuk dengan dunia sendiri. Alika tidak berhenti mengelus-elus bahu Selma. Perempuan berkerudung hitam itu berusaha menahan tangisannya sambil menunduk. Sementara, suaranya bergetar dan terhalangi sesak. Entah bagaimana, tetapi sesak itu merambat masuk ke dalam diri Alika.

“Gue cape sebenernya, Ka…* ujar Selma di tengah susahnya menahan pekik tangis seraya mengelus perut, “tapi gue enggak bisa lepasin Andre. Anak gue belum lahir.”

Dalam hati, Alika mengutuk Andre. Bagaimana bisa Selma menerima suami model Andre? Lelaki penganut patriarki. Berprinsip bahwa lelaki harus dihormati dan dilayani, tetapi dia seenaknya dengan perempuan yang notabene adalah istrinya. Ah, lelaki itu memang bodoh, tidak memahami bahwa perempuan merupakan makhluk mulia.

“Lo cerita ini ke ibu lo? Atau mertua lo enggak, Sel?” tanya Alika hati-hati.

Selma menggeleng. Perempuan itu menarik napasnya mencoba menetralisir rasa sesak. Dia mendongak, wajahnya merah padam, matanya sembab, pipinya lebih tirus saat setelah menikah. Alika tahu betul, Selma adalah perempuan ceria dan selalu tersenyum. Namun, semua itu hilang setelah Andre menikahinya.

Selma menjawab, “Gue enggak mau ibu gue khawatir, Ka. Dia udah tua dan gue menikah juga keinginan dia. Ibu gue pengin nimang cucu.” Selma menarik dan membuang napas. “Mertua gue? Lo tau sendiri, Ka, dia sayang banget sama anak lakinya. Jelas dia bakal belain Andre.”

Alika ikut mengembuskan napas, membuang emosi yang dia serap. “Enggak ngerti lagi gue, Sel, sama laki lo.”

Selma tersenyum hambar. Dia menggenggam tangan Alika yang tadi mengelus bahunya. “Ka, makasih banyak, ya, udah mau dengerin cerita gue. Gue mungkin bakal gila kalo enggak ada tempat cerita.”

Perlahan, Alika mengangguk dan tersenyum tipis. Memberi kekuatan dengan memeluk temannya. Sampai matahari hampir tergelincir, keduanya memilih keluar dari kafe dan pulang. Selma pulang untuk menghadapi kenyataan. Begitu pula Alika, baru sampai ruang tamu yang terbuka, dia sudah mengenal betul parfum mawar semerbak menusuk hidung. Gara-gara itu, Alika tidak suka mawar.

“Alika udah pulang?” Suara khas yang berusaha Alika hindari terdengar dari balik dinding sebelah ruang tamu. Seorang wanita dengan terusan serbamerah mendekati Alika. “Udah lama banget Tante enggak nengokin ponakan cantik satu ini. Gimana? Tadi abis nge-date, ya?”

Alika memutar bola mata, sambil berjalan menuju kamarnya. “Abis ketemuan Selma.”

Tante Isabel mengerutkan kening. “Kata papamu, kamu pergi sama cowok? Enggak? Gimana, sih, papamu itu. Ini beneran kamu ketemu Selma? Dia udah nikah, ‘kan? Kamu gimana?”

Tepat di depan pintu kamarnya, Alika berbalik dan menghadap Tante Isabel yang sejak tadi mengekorinya. “Tante Isabel, Alika ini masih muda, masih dua lima! Jadi, jangan suruh Alika nikah. Oke?”

“Loh, Tante dulu nikah umur dua tiga, Lika! Itu udah cukup umur. Mau sampe kapan coba?”

Alika berbalik dan membuka pintu kamarnya. “Tante Isabel. Maaf, ya. Alika cape seharian tadi kerja. Ketemu Selma. Mau istirahat dulu. Bye, Tante!”

•••

Minggu adalah waktu yang tepat untuk berleha-leha dan bersukacita. Biasanya Alika dengan antusias mengawali Minggu dengan bersiap-siap untuk menemui teman-temannya. Hari ini jadwal itu akan terjadi. Namun, Alika tidak bersemangat seperti biasanya. Euforia itu dirasakan setelah teman-temannya menikah.

Bukan Alika tidak suka bertemu teman-temannya. Bukan pula Alika tidak semang teman-temannya menikah. Akan tetapi, Alika perlu menyiapkan hati untuk mendengarkan berita rumah tangga mereka yang menurut Alika terlalu perih. Setelah mengenakan kerudung pasmina berwarna cokelat susu, dia meraih tas selempang hitamnya.

“Alika, ada Ray di depan!” seru papanya dari depan kamar.

Mendengar itu, alis Alika bertaut. Cepat-cepat dia keluar dari kamar dan menuju teras. Di kursi kayu, ada Ray dengan jaket jin andalannya. Buru-buru Alika bersuara, “Ngapain, Ray?”

Ray menoleh dan mendapati Alika sudah berdiri di depan pintu tepat di samping kirinya. Ray beranjak dan menghadap Alika. “Lo mau pergi, ya?”

“Gue ada janji sama temen-temen gue. Kenapa?” tanya Alika ketus. Bukan apa, tetapi Alika cukup risi dengan Ray yang akhir-akhir ini gencar mendekatinya. Alika malas menghabiskan waktu untuk meladeni cinta-cintaan. Jelas sekali, lelaki bertubuh tinggi ini menaruh rasa kepadanya.

“Ya udah, gue anterin, yuk.”

Alika menggeleng. “Enggak usah, Ray. Gue naik ojol aja. Thanks. Sori, gue enggak bisa nerima ajakan lo. Tuh, ojek gue udah dateng.”

Sebelum Alika melangkah, Ray menahan lengan Alika. “Lo kenapa, sih, enggak mau kasih gue kesempatan, Ka?”

Alika melepaskan genggaman Ray dan menatap tajam. “Apaan, sih, Ray? Gue udah bilang kalo enggak mau buah-buahan waktu. Dah, ya, ojek gue nungguin.”

Kali ini Alika berlari dan melewati gerbang. Dia bersyukur lelaki itu tidak mengejarnya. Sampai motor yang ditumpangi meninggalkan rumahnya, hati Alika mulai berseteru. Apakah sikapnya keterlaluan? Kalau dipikir-pikir Ray tidak memiliki kesalahan terhadapnya. Lelaki itu baik, hanya saja Alika masih belum bisa. Namun, sikap Alika tadi bukan tanpa alasan. 

Alika sampai di depan restoran yang menjadi basecamp setelah teman-temannya menikah. Menceritakan tentang keadaan rumah tangga butuh privasi. Restoran Jepang ini memenuhi kriteria tersebut. Biasanya mereka akan memesan special room untuk launch. Alika tidak perlu menanyakan ruangan, dia sudah hafal betul. Perempuan itu langsung naik ke lantai dua dan membuka pintu tepat di depan tangga.

“Alika, sini!”

Alika langsung disambut oleh perempuan bersurai panjang. Seperti biasa dia mengenakan terusan merah jambu, tampak lebih dewasa. Itu Indah, salah satu teman SMA-nya. Alika duduk di samping Indah dan membalas senyum. Tidak akan ada yang menyangka di balik tenangnya wajah Indah, menyimpan cerita pilu di baliknya.

“Hai, Ndah. Apa kabar?” tanya Alika.

“Gitu, deh,” balas Indah seadanya. “Selma lagi ke toilet, kalau Tiwi katanya masih otw.”

Alika mengangguk. “Queen sama ibu lo?”

“Iya, tadi gue ke rumah nyokap dulu.” Indah meletakkan ponsel ke dalam tas, kemudian menatap Alika. “Ka, lo jangan terlalu cuek sama Ray. Kasian dia. Enggak ada salahnya kalian jalanin dulu, ‘kan?”

Alika mengerutkan kening seraya merapikan kerudung yang sedikit berantakan. Sedetik kemudian dia tersadar arah pembicaraan mereka. “Ray ngomong apa sama lo?”

Indah tertawa kecil, dia membuka buku menu—yang Alika yakin hanya dipandang tanpa arti. “Ka, gue ngerti ketakutan lo. Tapi, enggak semua cowok itu kayak Surya, kok.”

Surya? Itu suaminya Indah. Kalau Alika bilangnya suami sialan. Tidak sekali dua kali, lelaki itu berkali-kali melukai hati Indah. Tabiat sejak SMA nyatanya tidak bisa diubah. Indah terlalu naif, mengharapkan perubahan dari lelaki yang suka selingkuh. Serong sana, serong sini. Sampai saat ini Alika masih tidak mengerti apa yang membuat Indah bertahan?

Alika tidak mau menjawab perkataan Indah. Jadi, kini ruangan itu cukup hening sampai suara pintu terbuka. Alika dan Indah menoleh, dua orang perempuan memasuki ruangan. Selma tampak merangkul perempuan berambut sebahu dengan wajah ditutup masker. Alika beranjak dan menutup pintu. Dia duduk kembali di tempatnya.

“Wi? Lo, kok, lemes begitu? Kenapa? Si Wahyu ngapain lo?” tanya Alika ketika melihat Tiwi di depannya menunduk. Namun, Indah segera menyentuh bahu Alika untuk lebih santai.

“Tadi pas mau ke sini gue ketemu Tiwi. Jadi, sekalian aja. Lo enggak apa-apa, ‘kan, Wi?” tanya Selma sekali lagi.

Masih menunduk, Tiwi melepaskan masker. Perlahan-lahan dia mendongak dan saat itu ketiga temannya terkejut setengah mati. Lebam biru menodai pipi putih Tiwi, menyisakan bengkak di era lebam. Mata perempuan itu pun bengkak dan menggelap. Air mata seolah-olah dihabiskan semalam suntuk. Pelan-pelan Tiwi berkata, “Gue enggak kuat. Gue mau lapor polisi.”

Sementara Tiwi, harus menelan kepahitan mengemban rumah tangga dengan lelaki yang ringan tangan. Tiwi tidak menyangka bahwa Dion, suaminya akan berubah jadi monster ketika marah. Sikap itu tidak pernah Tiwi deteksi ketika mereka masih berpacaran. Tiwi tidak pernah menyangka. Kehidupan pernikahan yang dalam bayangannya begitu menyenangkan, justru realitasnya seperti dunia perang. 

“Wi, Dion udah keterlaluan!” pekik Alika. Melihat itu Indah langsung mendekati Tiwi dan memeluknya. Sementara, Selma masih syok dan menutup mulutnya.

Baru saja Alika akan beranjak dari tempatnya, Selma langsung menarik Alika untuk kembali duduk. “Nanti dulu, Ka, biarin Tiwi tensngin dirinya.”

Selanjutnya, suara pintu diketuk terdengar dan seorang pelayan masuk membawa pesanan mereka. Tiwi buru-buru menutup wajahnya dengan masker. Indah kembali duduk di samping Alika. Mendadak suasana berubah hening, seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa. Keheningan itu terus terjadi sampai pelayan keluar dari ruangan. Empat perempuan itu menikmati makan dalam diam. Pikiran mereka sibuk sendiri-sendiri.

•••

Akhirnya, Tiwi benar-benar melaporkan tindakan kekerasan yang sudah sering dialami selama dua tahun menikah. Alika berharap temannya itu mendapatkan keadilan dan suaminya mendapatkan hukuman. Alika juga berharap permasalahan yang dialami oleh Selma dan Indah juga menemukan titik selesainya. Namun, masalah Alika tidak sampai di situ.

Baru saja Alika memasuki rumah, dia sudah mendapati Tante Isabel meminta untuk duduk di sampingnya. Sebetulnya Alika malas, tetapi kali ini dia mengalah dan terpaksa mendengarkan pertanyaan menyebalkan. “Tumben ke sini hari Minggu, Tan.”

Tante Isabel tersenyum geli. “Tadinya, sih, Tante mau bawain makanan aja buat kamu sama papamu. Tapi, ada si Ray lagi bengong di teras. Jadi, Tante samperin. Kasian, Ka, anak orang kamu anggurin begitu.”

“Tante ke sini jam berapa?” tanya Alika memastikan.

“Jam satu.”

Mendengar itu, Alika melengos. Apa-apaan si bodoh itu masih terdiam di teras rumahnya selama hampir satu jam setelah dia pergi? “Enggak usah diladenin, dia emang aneh.”

Tante Isabel berdeham. Alika jarang sekali mendengar dehaman tantenya, kecuali jika ada pembicaraan serius. Jika Tante Isabel telah memberi isyarat, Alika harus diam. 

“Tante sekarang tau, Ka, alasan kamu cuekin Ray. Tante juga paham kenapa kamu selalu marah kalau Tante tanyain kapan nikah.”

Alika bergeming, tetapi dalam hati dia mengutuk Ray. Lelaki itu pasti sudah bercerita banyak kepada Tante Isabel. Lihat saja, Alika akan makin cuek dan menganggapnya tidak ada sekalian!

“Enggak semua kehidupan pernikahan itu warnanya hitam, kok.” Tante Isabel berkata sambil memijat pelan lengan kanan Alika. “Tapi, bukan berarti pernikahan yang enggak hitam itu enggak ada masalah, ya, Ka.”

“Maksudnya?”

“Tante sama Om Iqbal, misal. Kami bisa bertahan lama bukan karena enggak ada masalah. Tapi, kami bisa menghadapi masalah itu bersama,” jelas Tante Isabel. “Syukur, Om Iqbal enggak kasar dan enggak merasa paling harus dihormati. Ya… walaupun pernah ketahuan mau selingkuh.”

Alika menoleh dan mengubah posisi duduk jadi menghadap Tante Isabel. “Hah? Om Iqbal pernah selingkuh?!”

Tante Isabel tertawa kecil. “Iya, dulu, udah lama banget. Zaman si Gia belum lahir.”

“Enggak usah jauh-jauh, deh. Mama sama papa kamu. Mereka masih bertahan sampai mama kamu enggak ada, ‘kan? Liat, tuh, papa kamu sekarang sibuk kerja, milih duda.”

Alika menunduk. Mulai mencerna kalimat Tante Isabel.

“Setiap rumah tangga itu akan selalu ada masalah, kok, Ka. Tinggal si pasangan bisa melaluinya bersama enggak? Cerita teman-teman kamu cukup jadikan pelajaran untuk berhati-hati dalam memilih pasangan, Ka. Tante cuma enggak mau kamu jadi ketakutan begini.

Hati Alika terenyuh. Itu artinya Tante Isabel mulai mengerti dan memahaminya. Alika akan mempertimbangkan keinginannya untuk menganggap Ray tidak ada.

“Jadi, enggak ada salahnya kamu coba jalanin dulu aja sama Ray. Kayaknya dia serius banget, tuh, sama kamu. Sambil jalanin, sambil diliat bebet, bibit, bobotnya.”

Tante Isabel beranjak dan mengelus kepala Alika. “Udah, ah, Tante mau balik dulu. Sambal kentang Tante taro kulkas, ya. Kalau mau dimakan tinggal dianget aja.”

Setelah Tante Isabel pergi, Alika mengeluarkan ponsel dan mencari satu nama dengan tiga huruf dalam aplikasi perpesanan. Dia mengetik satu kalimat di sana. Malem ini mau nemenin gue keluar enggak, Ray?

Komentar