Langsung ke konten utama

beres-beres

MAMA meracau lagi, tiap kata yang ditutur adalah sumbang, tetapi bila ditelisik dengan rasa, tidak mampu dijabarkan. Kurang ajar, khianat, sakit hati, cape, saya, mati! Kata-kata yang tidak pernah luput dari bibir pucat Mama. Aku berusaha tidak mengindahkan, tetapi perempuan yang kian kurus itu tidak membiarkanku tenang barang sehari saja. Ada kalanya darahku mendidih saking muaknya menjadi tempat sampah. Namun, wajah Mama yang kusam dan seperti tidak ada kehidupan, membuatkuku mengurungkan niat untuk memarahinya.

Pada akhirnya, aku mati-matian memendam amarah dan lelah di sudut hati. Aku tahu, lama-lama akan menumpuk dan suatu saat akan meledak. Namun, siapa peduli? Hidupku sudah tidak terarah, keutuhan telah berserakan menjadi puing-puing, masa depan begitu hitam. Apa yang bisa diharapkan dari perempuan yang hidupnya babak belur? Apa yang bisa dibanggakan dari kehidupan anak perempuan yang sosok ayahnya berselingkuh? Tidak ada. Harapan sendiri sudah termasuk pelecehan bagi hidupku yang terlalu antah berantah! Apa lagi impian?! Itu penghinaan namanya!

Aku menarik dan membuang napas yang terasa berat. Kuperhatikan kembali seisi rumah. Lantai berdebu, tirai tertutup menghalangi matahari menyelinap, meja ruang tamu menjauh dari koloninya. Saat masuk ruang tengah, makin tidak terkendali. Teve menampilkan telenovela, selain berdebu lantai berserakan kudapan sisaan, nasi, dan lainnya. Di depan teve, Mama duduk dengan tatapan kosong. Tidak jangan perintahkan aku menuju dapur!

Kulepas tas ransel dan kulempar ke kursi tempat Mama duduk. Perempuan itu masih bergeming, seolah-olah aku hanyalah angin yang menyebarkan debu ke segala arah. Aku meraih sapu di sudut dapur—parah, meja makan dipenuhi kulit telur, tumpahan minyak dekat kompor, kotak sampah dihinggapi lalat, sudah berapa hari Mama tidak membuangnya?

Aku menyibak tirai dan membiarkan sinar Matahari dengan brutal menyerbu seisi rumah. Mama masih tidak berkutik, berkedip pun tidak, tetapi kupastikan masih bernapas. Aku menarik meja kayu hingga menyatu kembali dengan koloninya. Merapikan bantal sofa hingga saling berjejer. Aku menuju ruang tengah, menimang-nimang apa perlu kubuka tirainya? Khawatir pupil mata Mama terkejut dan mulai menyerangku dengan kata-kata andalannya. Membayangkan saja mentalku goyah.

Aku memilih merapikan buku-buku pada bufet teve. Merapatkan figura yang menampilkan foto aku, Rian—adikku yang entah ke mana, dan … Papa. Terdapat satu bingkai yang lumayan besar, menampilkan foto kami berempat. Senyum di sana tampak semringah, kalau diperhatikan seperti keluarga cemara. Realitasnya? Aku terkekeh hambar dan meletakkan figura besar di paling belakang agar tidak mudah dijangkau pandangan—kasihan Mama. Aku berbalik dan menatap Mama, kali ini Mama merebahkan diri menjadikan tasku sebagai bantal. Namun, pandangan katanya masih kosong.

Aku mengambil bantal di kamarku—satu-satunya ruangan yang rapi, aman, dan nyaman. Aku kembali ke ruang tengah, berjongkok di hadapan Mama. Perlahan, aku mengangkat sedikit kepala Mama dan menumpunya dengan bantal. Mama diam saja, sesekali berkedip. Aku beranjak, tetapi lenganku ditahan Mama. Aku balik berjongkok dan menghadap Mama. “Kenapa, Ma?”

Satu dua detik tidak ada jawaban, tetapi di tengah bisik pariwara teve, aku mendengar Mama melirih, “Papa, mana?”

 Aku mengerjap sebentar, mencerna frasa tanya yang baru saja Mama lontarkan. Pasalnya, Mama tidak pernah berbicara kecuali meracau dan mengumpat Papa—lelaki yang telah membuat Mama kehilangan jati diri. Namun, kali ini Mama mencari keberadaan Papa yang beberapa hari lalu telah diusir. Di akhir tanya, ada pilu dan luka mengikuti. Menusuk indra pendengar yang kemudian mengetuk hatiku. Runtuh, Mama telah rapuh setelah kian lama berteriak kesetanan. Aku menggenggam tangan Mama, mengembangkan senyum aku menjawab, “Fia beres-beres rumah dulu, ya. Mama istirahat saja.”

Memangnya apa lagi yang harus kujawab? Bahkan lelaki yang kupanggil Papa pun tidak menunjukkan tanggung jawabnya sama sekali. Entah ke mana dia perginya, mungkin sibuk tertawa dan bersenda gurau dengan keluarga barunya? Ah, sialan. Membayangkan saja membuatku ingin memakinya! Coba lihat, akibat perselingkuhannya, suasana rumah berubah drastis! Mama jadi melupakan peran sebagai ibu. Rian jadi anak berandalan. Sejauh ini, aku berusaha menjadi waras. Kalau aku ikut-ikutan seperti Mama, rumah ini akan menjadi rumah hantu! Kalau aku ikut-ikutan berandal, Mama akan menjadi satu-satunya penghuni rumah hantu.

Papa memang benar-benar keterlaluan!

Aku beranjak dan menuju dapur. Membuang sisa makanan ke dalam plastik. Mengelap tumpahan minyak dengan kain basah yang direndam air sabun. Memindahkan piring kotor, gelas kotor, sendok kotor, dan wajan kotor ke cucian piring. Banyak sekali tugasku—tidak ini harusnya tugas Mama, tugasku hanya merapikan ruangan kamar dan mencuci-menjemur-mengangkat pakaian. Akhir-akhir ini aku juga membersihkan kamar mandi yang notabenenya tugas Rian. Sudahlah! Memikirkan anak berandal itu membuat kepalaku ingin pecah!

“Lo nyuci piring aja sana. Gue yang nyapu.”

Sebetulnya aku terkejut dan aku ingin segera melayangkan satu hamparan saja di pipi anak ini. Seenaknya menghilang di saat rumah sedang carut-marut. Namun, untuk kali ini dia datang dan bertindak di waktu yang tepat. Tanpa menoleh, aku memilih melipir ke cucian piring yang menunjuk. Selain suara bisik telenovela, kini rumah yang tadinya sunyi bertambah suara sapu diseret, gemercik air, aduan piring dan wajan. Setidaknya masih ada kehidupan dari saksi bisu.

“Mama harus ke psikiater,” kata Rian.

Aku berhenti ketika sedang menyapu bersih busa sabun di bawah pancuran air mengalir. “Lo pikir Mama gila?”

“Mama hampir gila.”

Rasanya aku ingin melempar piring ini ke wajah Rian. Akan tetapi, hati Mama sudah rapuh, tentu suara piring pecah akan membuat Mama makin hancur. Seraya lanjut mencuci piring, kemudian aku mendesis, “Jaga mulut lo!”

“Kita enggak bisa biarin Mama begitu terus, Mbak,” ujar Rian. “Rumah yang berantakan ini udah cukup gambarin mental Mama.”

“Itu juga karena lo hilang entah ke mana!”

Tidak ada jawaban, kecuali suara sapu beradu dengan lantai. Selanjutnya, Rian menjawab, “Itu memang kebodohan gue. Gue udah ngumpulin uang buat bawa Mama ke psikiater.”

Cepat-cepat kumatikan keran air dan berbalik menatap Rian yang kini juga berdiri menatapku. “Maksud lo? Uang dari mana?”

“Kerja apa pun gue ambil. Tenang aja, ini uang halal.” Rian meyakinkanku dengan pandangan langsung membidik mataku. Setelah itu dia kembali menyapu ke ruang tengah.

Dari balik punggungnya, mataku memotret postur tubuh tinggi yang kian menyusut. Aku ingat betul, anak lelaki yang tadinya berisi, kini berubah kurus—seperti Mama. Aku berbalik dan kembali mencuci peralatan dapur. Diam-diam aku menyesali umpatan kepada Rian. Adik kecilku yang sudah besar. Anak berandal yang malang. Anak nakal yang sama rapuhnya dengan Mama. Bukankah aku harus melindunginya? Aku benar-benar dihinggapi rasa bersalah. Kunyalakan keran air untuk membersihkan panci. Saat itu juga, air mata tidak bisa kubendung. Bersamaan dengan air mengalir, air mataku ikut mengalir. Aku berharap air mata ini dapat membersihkan diriku dari kepiluan, seperti keran air yang menghapus kotoran pada wajan.

•••

Andai aku tahu kesehatan mental sejak dulu. Andai aku tahu gejala dan dampak depresi berat sejak dulu. Andai otakku saat itu sudah berkembang. Andai saat itu aku dapat berbuat sesuatu. Andai aku tahu Mami bukan hanya sakit keras pada fisik, melainkan sakit hati pada mental. Andai aku tahu …! Mi, maaf, Vina baru menyadarinya. Maaf, Vina terlambat menyadari semua ini setelah enam tahun kepergian Mami. Mi, ini Vina. Berusaha jadi anak yang baik. Mi, maafin Vina, ya?

Komentar

  1. Turut berduka cita atas kepergian mama Kak Vina.

    Oh ya, kesehatan mental itu sangat penting kak. Kalau sakit hati dibiarkan memenjara hati, maka akan menyerang pikiran. (itulah yang menyebabkan gangguan mental), gangguan mental itu nggak cuman gila. Tapi, ada tingkatannya kak.

    Semangat ya, Kak.

    BalasHapus

Posting Komentar